Opini
Industri Otomotif Eropa Diterpa Badai Tarif Trump

Di Eropa, mesin-mesin pabrik berputar lambat. Asap industri mulai menipis bukan karena teknologi bersih makin dominan, tetapi karena ketidakpastian ekonomi membuat pabrik-pabrik raksasa seperti Mercedes-Benz dan Volkswagen lebih sering mengatur ulang strategi ketimbang lini produksi. Di tengah tekanan global, badai datang dari arah yang—ironisnya—dulu dianggap sebagai sekutu paling setia: Amerika Serikat. Tepatnya, dari jari telunjuk seorang presiden bernama Donald Trump yang dengan semangat proteksionisme klasiknya kembali memainkan tarif sebagai senjata diplomasi dagang.
Presiden Trump, seperti biasanya, tak setengah-setengah. Pada Maret lalu, ia menjatuhkan tarif 25% atas kendaraan buatan asing. Mobil Jerman yang dulu meluncur anggun di jalanan Florida dan California kini dikenakan “biaya masuk” seperti barang ilegal. Untuk negara seperti Jerman, yang sektor otomotifnya menjadi tulang punggung ekonomi, ini bukan sekadar gangguan—ini luka terbuka yang menganga. Dalam bahasa kasarnya: ini bukan perang dagang; ini penyanderaan ekonomi dalam balutan retorika nasionalis.
Tak butuh waktu lama untuk menyaksikan dampaknya. Menurut data dari Visible Alpha, Mercedes-Benz yang sebelumnya menikmati cash flow hampir $11 miliar, kini diperkirakan hanya mampu meraih sepertiganya—sekitar $3 miliar. Volkswagen, yang dikenal sebagai lambang stabilitas otomotif Eropa, mengalami penyusutan keuntungan menjadi hanya $3,8 miliar dari tahun sebelumnya sebesar $9,5 miliar. BMW, yang mungkin sedikit lebih beruntung, tetap tak luput dari pelambatan, hanya mampu mempertahankan sekitar $5 miliar.
Jerman bukan korban tunggal. Dampaknya menyebar bak virus ke seluruh ekosistem industri otomotif Eropa. Pemasok komponen, produsen baja, dan pengusaha kecil yang bergantung pada ekspor ke pasar AS kini terengah-engah. Biaya bahan baku melonjak karena tarif juga dikenakan terhadap logam seperti aluminium dan baja. Maka dari itu, bukan hanya mobil yang dibebani bea, tapi juga mimpi dan masa depan pekerja pabrik dari Stuttgart hingga Turin.
Yang lebih menggelikan, atau mungkin menyedihkan, adalah cara Uni Eropa merespons. Setelah berbulan-bulan diplomasi yang tampak seperti orang memohon sambil tersenyum, akhirnya tercapailah sebuah “kompromi.” Kesepakatan antara Trump dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menetapkan tarif 15% untuk ekspor mobil, sementara tarif baja dan aluminium tetap di angka menyakitkan: 50%. Lalu mereka menyebutnya “terobosan kuat.” Di sisi lain, para pejabat di Eropa menggigit bibir, menyebutnya “skandal” dan “kompromi yang tak cukup.”
Bisa dibilang, ini adalah contoh klasik dari kekuatan politik yang lebih sibuk menjaga wibawa di panggung diplomasi ketimbang memperjuangkan kepentingan ekonomi riil jutaan rakyatnya. Bagi yang masih berpikir Eropa punya posisi tawar yang kuat, sebaiknya menyimak data IMF yang menyebut ekonomi Jerman akan tumbuh nol tahun ini—satu-satunya negara G7 yang mengalami stagnasi. Dari negeri yang dulu dikenal sebagai mesin ekonomi Eropa, kini tinggal bayang-bayang yang menggantung di langit suram.
Trump, tentu saja, memainkan kartu ini bukan semata karena benci pada mobil Jerman. Ini adalah bagian dari doktrin ‘America First’ yang kini secara aktif dijalankan dari Gedung Putih—seolah ‘Europe Last’ menjadi efek samping yang dikehendaki. Dengan tekanan ekonomi global sebagai panggungnya, Trump terus memainkan irama favoritnya: menyalahkan produk asing, menyerang mitra dagang, dan memulangkan pekerjaan ke Detroit, walau kadang hanya dalam imajinasi para pendukungnya. Dalam dunia nyata, pekerjaan itu tetap hilang—atau lebih tepatnya pindah ke China.
Karena ya, jangan lupakan satu aktor penting dalam drama ini: Tiongkok. Ketika Eropa dan AS sibuk saling menjatuhkan tarif dan membangun benteng, Tiongkok justru semakin lincah. Mobil listrik buatan China kini memasuki pasar-pasar global dengan harga dan teknologi yang makin sulit disaingi. Dalam kompetisi ini, Jerman tampak seperti pejuang lama yang kehabisan peluru, sementara AS sibuk menggali parit sendiri dan mengira itu akan menghentikan serangan.
Situasi ini seperti memaksa kita bertanya: apakah kita sedang menyaksikan senjakala industri otomotif Eropa? Atau justru ini hanya satu episode getir dalam transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan otonom? Sulit menjawabnya tanpa mencampur aduk antara data dan rasa frustrasi. Karena satu hal yang pasti: dari luar tampak seperti perang tarif, tapi dari dalam, ini adalah benturan antara dunia lama yang tak mau mati dan dunia baru yang belum lahir.
Coba bayangkan, jika Anda seorang buruh pabrik di Wolfsburg yang telah bekerja 20 tahun, lalu mendengar bahwa perusahaan Anda kehilangan miliaran euro karena “perjanjian dagang yang tak menguntungkan”, siapa yang akan Anda salahkan? Trump? Brussel? Atau sekadar nasib buruk? Di ruang makan malam keluarga-keluarga kelas pekerja, semua nama itu bercampur dalam bentuk paling jujur: kemarahan.
Sementara itu di Jakarta atau Bekasi, cerita ini mungkin tampak jauh. Tapi jangan salah: ekonomi global terhubung lebih erat dari kabel pengisi daya ponsel Anda. Ketika Volkswagen menunda ekspansi, pemasok dari Cikarang yang mengirimkan cetakan komponen juga ikut tiarap. Ketika BMW mengurangi investasi, pabrik-pabrik otomotif di kawasan Asia Tenggara ikut merasakan efeknya. Dunia sudah terlalu saling berkelindan untuk menganggap krisis ini hanya soal Jerman dan Trump.
Namun di balik semua ironi ini, satu hal menjadi jelas: proteksionisme bukanlah jawaban jangka panjang, tapi ia selalu menggoda politisi jangka pendek. Tarif dan perang dagang mungkin menciptakan headline bombastis dan kepuasan instan bagi pemilih, tapi pada akhirnya justru melemahkan daya saing dan memperdalam ketergantungan. Jerman kini belajar dengan cara pahit: kekuatan manufaktur bukanlah jaminan jika kebijakan luar negeri berjalan di atas sandera tarif.
Apakah Eropa akan bangkit? Mungkin. Tapi tidak dengan mengandalkan kompromi setengah hati. Tidak dengan tunduk pada intimidasi tarif ala Trump. Dan terutama, tidak dengan terus mengabaikan pergeseran kekuatan ke Asia. Dunia berubah, dan mereka yang menolak bergerak akan ditinggalkan—termasuk pabrikan-pabrikan mobil yang dulu mendominasi jalanan dunia, kini menunggu dengan cemas apakah pintu Amerika akan kembali terbuka, atau justru terkunci selamanya.
Di akhir hari, kita bisa menyebutnya sebagai “perang dagang”, “proteksionisme”, atau “strategi ekonomi Trump”. Tapi bagi para pekerja, insinyur, dan pengusaha kecil di Jerman dan seantero Eropa, ini bukan sekadar teori—ini adalah badai nyata. Dan seperti badai lainnya, yang bisa dilakukan hanyalah bertahan. Atau tersapu.
Pingback: Eropa Selamatkan Otomotif, Petani Jadi Korban