Opini
Imperialisme AS & Zionisme: Mahasiswa Dibungkam!

Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa Palestina di Columbia, mendapati dirinya menjadi sasaran represi negara di jantung demokrasi Amerika Serikat. Dengan tuduhan samar-samar yang dikemas sebagai perlindungan terhadap mahasiswa Yahudi, pemerintahan Trump mengukuhkan kembali strategi imperialismenya: siapa pun yang menentang kepentingan zionis harus siap untuk dihancurkan. Dengan mengaitkan aktivisme pro-Palestina dengan “anti-Semitisme” dan “terorisme”, Washington memberikan sinyal jelas bahwa kebebasan berbicara hanyalah ilusi bagi mereka yang berani menentang hegemoni Barat.
Ini bukan pertama kalinya AS menekan aktivis yang menolak dominasi imperialisnya. Dari Timur Tengah hingga kampus-kampus elite Ivy League, mesin represi ini bekerja dengan pola yang sama: demonisasi, kriminalisasi, dan pada akhirnya eliminasi. Dengan mengancam mencabut pendanaan universitas yang membiarkan mahasiswa berbicara membela Palestina, AS menunjukkan bahwa imperialisme modern tidak hanya bergerak dengan bom dan rudal, tetapi juga dengan ancaman ekonomi dan politik.
Imperialisme AS dan Dominasi Narasi Zionis
Sejak lama, kebijakan luar negeri AS ditopang oleh kepentingan zionis di Timur Tengah. Dukungan militer dan diplomatik terhadap entitas zionis bukan hanya soal “loyalitas strategis”, tetapi juga merupakan bagian dari grand strategy AS untuk mempertahankan kendali atas kawasan tersebut. Dengan memastikan bahwa setiap suara yang menentang zionisme ditekan, AS berusaha menciptakan konsensus palsu di mana perlawanan terhadap kolonialisme dianggap sebagai bentuk “kebencian” yang harus dihukum.
Pemberangusan protes mahasiswa pro-Palestina di AS sejalan dengan taktik imperialisme global. Ini bukan sekadar kebijakan domestik, tetapi juga bagian dari strategi lebih luas untuk mendiskreditkan perjuangan Palestina di panggung internasional. Jika kampus-kampus ternama AS bisa dipaksa membungkam mahasiswa mereka, maka negara-negara lain di dunia pun akan berpikir dua kali sebelum menantang kebijakan AS dan sekutunya di Timur Tengah.
Demonisasi dan Kriminalisasi Aktivisme
Penangkapan Mahmoud Khalil tidaklah berdiri sendiri. Ini adalah pola berulang di mana aktivis pro-Palestina di AS diperlakukan sebagai ancaman keamanan nasional. Dengan mencabut status hukum Khalil sebagai penduduk tetap, pemerintahan Trump mengirim pesan bahwa siapa pun yang berani menentang status quo akan kehilangan hak-hak dasarnya. Dalam paradigma imperialisme, penolakan terhadap kebijakan kolonial zionis diartikan sebagai “anti-Amerikanisme” yang pantas dihukum.
Taktik ini sudah sering digunakan AS dalam berbagai konflik lain. Di era Perang Dingin, siapa pun yang menentang kebijakan luar negeri AS dicap sebagai “komunis” dan dikriminalisasi. Hari ini, label “teroris” atau “anti-Semit” menggantikan peran kata “komunis” sebagai senjata retoris untuk membungkam oposisi. Dengan retorika ini, imperialisme AS tidak hanya membunuh tubuh, tetapi juga membunuh ide dan wacana yang dapat menggoyahkan hegemoninya.
Universitas sebagai Benteng Ideologi Imperialisme
Penting untuk memahami bahwa universitas di AS bukanlah ruang bebas seperti yang sering diklaim. Mereka adalah pusat produksi ideologi yang membentuk generasi penerus yang setia pada sistem yang ada. Ketika mahasiswa menantang status quo, mereka tidak hanya menentang kebijakan tertentu, tetapi juga menentang seluruh sistem yang menopang imperialisme. Inilah mengapa respons pemerintah begitu brutal: aktivisme mahasiswa memiliki potensi untuk menumbangkan narasi dominan dan membuka ruang bagi kritik yang lebih luas terhadap kebijakan luar negeri AS.
Ancaman terhadap Columbia University dengan pencabutan dana federal adalah bukti nyata bahwa universitas hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan negara. Kebebasan akademik hanya diperbolehkan sejauh tidak mengganggu kepentingan imperialis. Jika ada ancaman terhadap hegemoni AS dan sekutunya, maka kebijakan represif akan segera diterapkan, tanpa peduli dengan prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini diagungkan.
Penghapusan Perlawanan: Dari Kampus ke Timur Tengah
Strategi yang digunakan terhadap mahasiswa di AS mencerminkan apa yang selama ini terjadi di Timur Tengah. Ketika rakyat Palestina melawan penjajahan, mereka dicap sebagai “teroris” dan dihukum dengan bom serta sanksi ekonomi. Ketika mahasiswa di AS berbicara membela Palestina, mereka dicap sebagai “anti-Semit” dan dihukum dengan pencabutan status hukum atau ancaman akademik. Ini adalah dua sisi dari koin yang sama: imperialisme bekerja dengan cara yang berbeda, tetapi tujuannya tetap satu—memastikan bahwa perlawanan terhadap kepentingan AS dan zionisme dihancurkan di mana pun ia muncul.
Kebijakan imperialisme AS tidak hanya tentang mengontrol sumber daya atau wilayah, tetapi juga tentang mengendalikan narasi. Dengan membungkam suara mahasiswa, AS berusaha memastikan bahwa kebohongan tentang “demokrasi” dan “hak asasi manusia” tetap utuh. Sebab jika kebenaran tentang kekejaman zionisme dan keterlibatan AS diungkap secara luas, maka legitimasi mereka akan runtuh.
Imperialisme Tidak Akan Berhenti dengan Sendirinya
Kasus Mahmoud Khalil adalah alarm bagi siapa saja yang masih percaya bahwa AS adalah “kampiun demokrasi”. Ini adalah bukti nyata bahwa imperialisme AS bekerja di segala lini—dari kebijakan luar negeri hingga kampus-kampus dalam negerinya sendiri. Represi terhadap mahasiswa pro-Palestina harus dipahami sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk mempertahankan dominasi AS di Timur Tengah dan di dunia.
Selama AS masih menjalankan kebijakan imperialismenya, kita akan terus melihat represi terhadap siapa pun yang menantangnya. Perjuangan melawan imperialisme bukanlah tugas satu individu atau satu kelompok, tetapi tugas kolektif bagi semua yang menolak hidup dalam dunia yang diatur oleh kepentingan segelintir elite. Dan seperti semua rezim imperialis sebelumnya, sistem ini pada akhirnya akan runtuh di bawah beban kebohongannya sendiri. Pertanyaannya hanya satu: apakah kita akan diam cdan membiarkannya berlanjut, ataukah kita akan mengambil sikap?