Connect with us

Opini

Imigran, Garda Nasional, dan Krisis di LA

Published

on

Peristiwa di Los Angeles mengguncang nurani kita sejak kalimat pertama itu muncul: “Presiden Trump menandatangani memo pada hari Sabtu yang memerintahkan pengerahan sedikitnya 2.000 personel Garda Nasional ke wilayah Los Angeles County.” Kalimat itu sederhana, tetapi menghentak—menyeret ribuan pasukan bukan ke medan perang, melainkan ke jalan-jalan kota. Tepat di dekat kedai donat, di tengah kerumunan protes, tepat di jantung gelombang kemarahan rakyat. Gelisah. Menyentuh. Karena di situlah, di jalan-jalan Paramount dan Compton, luka lama terbuka kembali: imigran yang digiring, demonstran yang berteriak menentang, sebuah ketegangan yang lama tersembunyi.

Ketika ICE—Imigrasi dan Bea Cukai Amerika—menggerebek di tengah kota, membuka dugaan penggunaan dokumen palsu terhadap pekerja, para demonstran bergerak. Bukan dorongan fiksi, melainkan karena ketakutan nyata. Kita mendengar teriakan: “ICE out of Paramount. We see you for what you are.” Itu ibu-ibu yang angkat megafon. Itu bukan sekadar protes—melainkan suara warga yang merasa haknya dibungkam, diganggu, diancam. Mobil dibakar, detasemen federal dikepung kerumunan, dan polisi lokal menyatakan ‘unlawful assembly‘—peringatan bahwa warga dianggap gangguan. Di balik data statistik, 118 imigran ditangkap sepanjang pekan itu—termasuk 44 orang pada Jumat saja. Itu angka, tetapi juga wajah—air mata, ketakutan, dan luka.

Respons pemerintah federal semakin menyulut api. Presiden menandatangani memo lewat Title 10, mengambil kendali langsung komando Garda Nasional. Dua ribu pasukan dikerahkan selama 60 hari. Frasa “RIOTS & LOOTERS” menjadi headline. Tapi apakah itu solusi? Ketika Gubernur Newsom bersuara menentang—menyebutnya “langkah provokatif yang hanya akan memperburuk ketegangan”—muncul pertanyaan: apakah pengerahan pasukan ini benar-benar karena situasinya genting? Atau lebih karena panik? Hadirnya kekuatan militer di tengah komunitas Latino yang merasa terpinggirkan justru bisa menambah luka.

Mari kita bayangkan sejenak skenario yang serupa di Indonesia. Misalnya, tiba-tiba pemerintah mengerahkan batalyon ke Jawa Barat untuk membubarkan aksi damai menuntut akses air bersih. Apakah rakyat akan diam? Atau justru muncul solidaritas yang lebih besar? Pertanyaan-pertanyaan itu langsung muncul. Karena padahal, pada dasarnya, peristiwa di LA itu menuntun kita untuk mempertanyakan: di mana batas penggunaan kekuatan? Dan apakah dialog tak bisa menjadi opsi pertama?

Dari laporan CBS disebutkan, petugas federal menggunakan “non-lethal munitions”—sinar gas air mata, ledakan sentakan sebelum polisi lokal tiba. Demonstran merespons dengan melempar batu dan kayu. Ini bukan dinamika yang tiba-tiba muncul; ada sebab dan akibat, ada rasa malu, marah—yang tumbuh dan akhirnya meledak. Ada kenyataan dingin: kekuasaan seringkali lebih dipahami melalui kesan optik—kehadiran pasukan, kawat berduri—daripada dengan dialog. Sedangkan warga, yang dalam kondisi normal mungkin memilih protes damai, menjadi korban tindakan represif. Dan narasi yang muncul: “Kalau protes, kamu ancaman.”

Salah satu nama yang muncul dalam laporan adalah David Huerta, presiden serikat pekerja SEIU wilayah regional, yang ikut ditahan saat protes. Kasusnya menambah lapis persoalan: ini bukan hanya tentang imigrasi, tetapi juga perlawanan sipil yang diserang balik. Data memperlihatkan bahwa 118 imigran—hanya lima di antaranya memiliki catatan kriminal—ditangkap dalam sepekan. Angka lima dari 118 yang terkait kriminal jadi narasi dominan, sehingga sisanya dianggap “ancaman imigran ilegal.” Tetapi laporan mengungkap sebaliknya: banyak yang hanya bekerja, punya keluarga, utang, harapan—dan akhirnya kehilangan hak dasar.

Para pemimpin federal menyatakan pengerahan ini untuk menjaga “fungsi federal” dan melindungi properti, tapi bagi warga lokal, yang tampak adalah kawat berduri, pasukan bersenjata, dan penahanan aktivis. Ini yang membuat saya terhenyak. Di suatu titik, kita hanya jadi saksi kekuasaan yang memakai kekuatan untuk menegakkan otoritas, bukan keadilan.

Saya pun bertanya: apakah keamanan itu semata-mata soal meredam protes? Atau justru soal memberikan keadilan? Kita, di kota-kota seperti Jakarta atau Makassar, pernah melihat bagaimana gas air mata atau water cannon dipakai untuk membubarkan massa. Namun apakah itu meredam masalah? Atau justru memantik semangat perlawanan yang lebih besar?

Karena pada akhirnya, pengerahan pasukan bersenjata untuk menangani dinamika sipil itu bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi soal kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Ketika pemerintah menempatkan pasukan, rakyat melihat bukan solusi, melainkan ancaman. Dan satu hal yang saya petik dari peristiwa di LA: refleksi universal bahwa masing-masing negara, termasuk Indonesia, harus membangun mekanisme dialog yang kuat—sebelum harus turun ke jalan, sebelum pasukan dipaksa turun.

Satu hal pasti: jika kejadian di LA menyulut gelombang protes di negara bagian lain di AS—karena isu ketidakadilan yang latent—maka hal serupa bisa terjadi di manapun. Apalagi di tempat-tempat yang memiliki akar keretakan sosial, marginalisasi, atau kepercayaan publik yang sudah rapuh. Dan itu bukan sekadar teori: saat rakyat merasa tidak didengar, maka akan protes. Saat pemerintah tidak mengundang dialog, rakyat bergerak sendiri—solidaritas tumbuh, dan dinamika sosial sulit lagi dikendalikan lewat kekerasan.

Memang, laporan itu menyebut tekanan terhadap imigran “untuk menghentikan invasi kriminal ilegal.” Tapi data menunjukkan kisah lain. Lima kriminal dari 118 tahanan. Selebihnya? Orang-orang biasa, yang hanya berjuang demi hidupnya. Dan ketika mereka ditangkap dalam operasi ICE di Fashion District, Home Depot, dan tempat nongkrong yang kontras dengan tagline “American Dream,” rakyat jadi greget. Mereka bertanya: apakah ini soal hukum imigrasi? Atau soal siapa yang boleh hidup, dan siapa yang boleh bebas di negerinya sendiri?

Dan satu lagi yang menarik: ketika Gubernur Newsom dan Walikota Bass berbicara soal ketidakperluan pengerahan pasukan, mereka mendapat tamparan opini; yang mendukung mengatakan federal “telah berbuat hal yang benar,” yang menentang bilang itu “langkah provokatif.” Ini bukan sekadar pertarungan dua kubu, tapi refleksi pemisahan pandangan publik: apakah kita melihat imigran dan protes itu sebagai ancaman, atau justru sebagai suara orang yang selama ini tidak didengar?

Menutup, sayapun bertanya: apakah keamanan itu hanya soal kekuatan? Atau melindungi ketika yang paling lemah berbicara? Di LA, jawaban masih terbuka. Di Jakarta, Bandung, dan seluruh Indonesia, kita harus belajar. Jadi bukan soal menghindar dari protes, tapi membangun saluran yang kuat untuk mendengar—jika tidak, protes bukan hanya gelombang; dia menjadi tsunami perubahan atau kerusakan.

Kita layak mendapatkan kerangka yang adil, bebas kekerasan, dan menghormati hak dasar manusia. Tidak lebih — dan tidak kurang. Semoga negara manapun belajar dari cermin LA: ketika masyarakat merasa diremehkan, mereka tidak akan berpaling. Bersuara, bergerak, dan mencari ruang mereka sendiri. Dan kekerasan—dalam bentuk apa pun—hanya membuat cerita kemanusiaan makin jauh.

Sumber:

https://apnews.com/article/immigration-raids-los-angeles-2d1d5e2f638da600c4b34fe8bf8cf3aa

https://www.cbsnews.com/news/california-los-angeles-immigration-protests-trump/

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *