Opini
Ilusi Pemerintahan Transisi al-Sharaa

Di sebuah ruangan megah di kantor kepresidenan Suriah, pemimpin transisi Suriah, Ahmad al-Sharaa, duduk dengan tenang. Cahaya lampu kristal memantul di atas meja panjang yang tertata rapi, menciptakan kesan stabilitas di tengah negeri yang masih terpecah-belah. Dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, ia berbicara tentang transisi, demokrasi, dan masa depan yang lebih baik.
“Pemilu akan digelar,” katanya, seolah semua yang diperlukan hanyalah waktu dan sedikit kesabaran. Sensus penduduk, kembalinya para pengungsi, dan pemulihan hubungan diplomatik disebutnya sebagai prasyarat. Para ahli yang dikonsultasikannya memperkirakan proses ini akan memakan waktu tiga hingga empat tahun. Namun, di luar tembok istana ini, realitas bercerita lain. Negeri ini masih dikepung konflik, faksi-faksi bersenjata, dan kepentingan asing yang saling bertabrakan.
Pernyataan ini luar biasa. Seorang pemimpin transisi yang bahkan belum menyatukan negaranya sudah sibuk membayangkan pesta demokrasi. Ini seperti seseorang yang mendesain kastil mewah di atas puing-puing reruntuhan, tanpa batu pertama pun yang diletakkan.
Ketika ditanya apakah Suriah akan menjadi negara demokratis, al-Sharaa menjawab dengan elegan, “Jika demokrasi berarti rakyat memilih pemimpinnya, maka ya, kami sedang menuju ke sana.” Sungguh sebuah definisi yang inspiratif. Demokrasi ala al-Sharaa tampaknya bukan soal legitimasi rakyat, melainkan seni mendekorasi transisi dengan jargon-jargon indah. Seperti seorang ilusionis, dia membangun harapan di udara tanpa pondasi di tanah. Seakan-akan demokrasi bisa muncul dari ketiadaan, cukup dengan pidato yang berbunga-bunga. Sementara itu, di luar gedung, kelompok minoritas seperti Alawi masih dikejar-kejar rasa takut oleh kelompok bersenjata.
Mengenai sistem hukum, dia menjelaskan bahwa semua perubahan akan diputuskan oleh parlemen sementara. Para ahli akan merancang hukum, dan dia akan menegakkan keputusan mereka—entah mereka setuju atau tidak. Pemerintahan transisi yang sangat fleksibel, sampai-sampai tidak jelas siapa yang memimpin siapa. Apakah al-Sharaa seorang pemimpin, atau hanya notaris yang mencatat kehendak berbagai faksi yang bertikai?
Tapi yang paling menakjubkan adalah klaimnya bahwa federalisme tidak akan menjadi masa depan Suriah. Dia menyatakan bahwa Syrian Democratic Forces (SDF), kelompok yang telah lama menguasai bagian utara Suriah, telah sepakat untuk bekerja sama dengan negara. Bagaimana caranya? Tidak ada yang tahu. Apakah mereka sudah menandatangani kesepakatan ajaib di balik layar? Atau ini hanya satu lagi retorika kosong yang akan menguap begitu saja? Jika benar, ini akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah sebuah kelompok separatis menyerahkan otonominya tanpa syarat, hanya karena pemimpin transisi berkata demikian.
Fakta di lapangan berbicara lain. Kelompok SDF masih bertukar peluru dengan Syrian National Army (SNA)/Free Syrian Army (FSA) yang didukung oleh pemerintah Turki. Ironisnya, al-Sharaa adalah sosok yang didukung Turki untuk menjatuhkan Bashar al-Assad. Situasi ini bertentangan dengan klaim yang disampaikannya.
Di bidang ekonomi, al-Sharaa menjanjikan arus investasi besar dari negara-negara Teluk. Suriah, katanya, tidak akan bergantung pada bantuan tetapi akan membangun ekonominya sendiri. Visi yang luar biasa, mengingat negaranya masih berkutat dalam reruntuhan dan sanksi internasional. Investor pasti sudah mengantri, berebut untuk memasukkan uang mereka ke negara yang bahkan belum memiliki stabilitas politik. Mungkin mereka hanya menunggu lampu hijau dari al-Sharaa sebelum berbondong-bondong masuk dengan koper penuh uang.
Sementara itu, soal sanksi AS, dia percaya bahwa jika hubungan diplomatik dengan Washington pulih, maka sanksi bisa dicabut. Dia bahkan yakin bahwa Trump ingin perdamaian dan akan mempertimbangkan hal ini. Seolah Trump akan terbangun suatu pagi, menyeruput kopinya, lalu memutuskan bahwa sudah waktunya membebaskan Suriah dari sanksi. Optimisme seperti ini pantas dihargai—walaupun lebih mirip lamunan daripada strategi politik.
Soal keberadaan pasukan asing, al-Sharaa menegaskan bahwa semua kehadiran militer harus disetujui oleh Suriah. AS, katanya, tidak memiliki legitimasi berada di sana, sementara keberadaan Rusia masih dalam tahap evaluasi. Jadi, siapa sebenarnya yang mengendalikan Suriah? Jika pemerintah transisi ini masih “mengevaluasi” pasukan asing di tanahnya sendiri, apakah itu berarti mereka benar-benar berdaulat? Atau, seperti dugaan banyak orang, transisi ini hanyalah kedok untuk mempertahankan status quo?
Dan tentu saja, ada masalah Israel. Dengan penuh percaya diri, al-Sharaa menyatakan komitmen Suriah terhadap perjanjian 1974 dan siap menerima pasukan PBB untuk menengahi. Strategi yang brilian—mengandalkan diplomasi internasional untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Seperti berharap seorang wasit akan meniup peluit dan menyuruh Israel mundur. Sementara itu, Israel tetap nyaman di wilayah yang mereka kuasai, tanpa ada ancaman berarti dari Suriah. Jika ini adalah strategi perang, maka ini adalah strategi yang mengandalkan surat teguran dan harapan kosong.
Pada akhirnya, transisi ala al-Sharaa tampaknya lebih mirip proyek branding daripada peta jalan menuju stabilitas. Dia berbicara tentang pemilu, hukum, ekonomi, dan kebijakan luar negeri dengan penuh percaya diri, seakan semuanya sudah dalam genggamannya. Padahal, di lapangan, Suriah tetap menjadi medan pertempuran berbagai faksi, pasukan asing, dan kekuatan geopolitik. Jika ini adalah drama politik, maka al-Sharaa adalah aktor utamanya—memainkan peran pemimpin reformis yang tak memiliki kendali atas panggungnya sendiri. Sebuah ilusi pemerintahan transisi yang hanya akan memperpanjang daftar panjang lelucon sejarah Timur Tengah.