Opini
Ilusi Bantuan Kemanusiaan Israel di Gaza

109 truk bantuan kemanusiaan memasuki Gaza hari itu. Sebuah pemandangan yang, dalam benak manusia biasa, mestinya menjadi secercah harapan di tengah reruntuhan kota yang tak lagi mengenal bunyi selain dentuman dan jeritan. Tapi entah bagaimana, dari 109 itu, mayoritas malah dijarah. Bukan oleh gerombolan kriminal tak dikenal, bukan oleh perampok bertopeng, melainkan oleh kekacauan. Ya, kekacauan yang—menurut siaran resmi Kantor Media Pemerintah Gaza—diciptakan dengan sengaja oleh Israel. Chaos yang bukan lahir dari vakum hukum, tapi dari desain yang cermat: letakkan truk-truk bantuan di tengah reruntuhan, pastikan tidak ada sistem distribusi, biarkan warga lapar berkerumun, dan nikmatilah kekacauan yang terjadi seolah itu konsekuensi alamiah dari ‘perang’.
Beginilah dunia hari ini: kejahatan bukan hanya dijalankan secara brutal, tapi juga dikemas rapi sebagai kebajikan. Sebagaimana bom yang dijatuhkan atas nama “hak membela diri”, bantuan pun kini dikirim dengan label “kemanusiaan” tapi diarahkan ke zona yang justru dikuasai oleh militer Israel atau daerah yang telah dinyatakan sebagai area evakuasi. Bayangkan, bantuan itu dijatuhkan dari langit—seolah malaikat tengah menurunkan manna—namun jatuh di tempat yang tak bisa dijangkau oleh manusia yang lapar. Lebih parah lagi, daerah itu bukan hanya tak bisa diakses, tapi aktif menjadi zona pertempuran. Maka yang lapar, kalau nekat, harus bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan sekantong gandum atau sebungkus susu bubuk.
Apa yang sedang kita saksikan di Gaza bukan sekadar konflik. Ini laboratorium penderitaan. Israel memainkan peran ganda: sebagai penjajah bersenjata dan sekaligus dermawan setengah hati. Ia merusak rumahmu, lalu menawarkan tenda kecil dan berkata, “Lihat, kami peduli.” Ia memblokade akses masuk makanan dan obat selama berbulan-bulan, lalu ketika kamu hampir mati, ia izinkan beberapa truk masuk—lalu pastikan truk itu dijarah dalam kekacauan yang ia sendiri pelihara. Semua ini dilakukan di bawah sorotan kamera global, dengan pengantar berita berbunyi: “Israel izinkan bantuan kemanusiaan masuk Gaza.” Luar biasa. Bahkan kebohongan pun kini diberi embel-embel moral.
Dan seperti biasa, dunia mengangguk. Mengangguk sambil mengunyah jargon: ‘kami mendukung solusi damai dua negara’, ‘kami khawatir terhadap situasi kemanusiaan di Gaza’, ‘kami mengimbau semua pihak menahan diri’. Betapa lihainya dunia modern mengubah tragedi menjadi template diplomatik. Bahkan ketika bayi-bayi mati karena tidak mendapat susu formula, yang kita dengar adalah seruan “untuk tidak saling menyalahkan.” Padahal, siapa lagi yang harus disalahkan kalau bukan si pemblokade, si penjajah, si pengatur langit dan darat Gaza yang menentukan siapa boleh makan hari ini dan siapa harus menunggu ajal?
Sungguh ironis: dunia menuduh Hamas menyandera warga sipil, sementara Israel menyandera kehidupan seluruh Gaza. Apakah kita benar-benar buta? Atau kita memilih menjadi buta karena kebenaran yang menyala terlalu terang bisa mengganggu kenyamanan tidur kita di kasur empuk demokrasi liberal?
Bantuan kemanusiaan seharusnya jadi jembatan peradaban. Tapi di Gaza, bantuan itu disulap menjadi alat propaganda. Ini bukan makanan, ini panggung. Ini bukan obat, ini iklan. Truk-truk itu bukan semata logistik, tapi properti teater militer yang disutradarai dengan apik oleh rezim yang sudah mahir memelintir logika. Mereka mendesain kekacauan agar bisa menunjuknya dan berkata, “Lihat, Palestina gagal mengurus diri sendiri.” Ini bukan hanya sadis, ini jahat dengan cara yang nyaris artistik.
Dan ya, Gaza butuh 600 truk bantuan dan bahan bakar per hari. Tapi yang diizinkan masuk hanyalah secuil. Seolah memberi satu sendok nasi untuk keluarga yang seharusnya makan sepiring penuh, lalu menuduh mereka rakus karena masih lapar. Sementara dunia melihat dari jauh dan menganggap semua ini sebagai “masalah internal”.
Kita di sini, duduk nyaman di warung kopi sambil membaca berita, kadang merasa terlalu kecil untuk berbuat apa-apa. Tapi jangan sampai kita juga jadi bagian dari mereka yang tertipu oleh ilusi. Bantuan yang dibiarkan jatuh di medan tempur bukan pertolongan. Itu perang gaya baru. Genosida yang disamarkan sebagai kemurahan hati. Dan diam kita adalah kontribusi sunyi terhadap berlangsungnya ilusi itu.
Lalu ada juga yang berkomentar, “Setidaknya Israel masih izinkan bantuan masuk.” Wah. Itu seperti memuji perampok yang—setelah merampas seluruh hartamu dan menembak lututmu—masih memberimu perban dan setengah gelas air. Terima kasih ya. Sungguh mulia. Dunia kini menilai simpati bukan dari ketulusan, tapi dari kadar minimumnya.
Ironi terbesar adalah: saat Israel menjatuhkan bom, ia menyebutnya ‘operasi militer’. Saat warga Gaza melempar batu, itu disebut ‘terorisme’. Saat Israel mengatur rute airdrop yang berujung pada kematian warga, itu disebut ‘kesalahan teknis’. Tapi saat warga Gaza bertahan hidup, itu disebut ‘perlawanan radikal’. Dunia sungguh punya kamusnya sendiri.
Dan kita di Indonesia, negeri yang konon menjunjung keadilan dan kemanusiaan, seharusnya tidak sekadar menjadi penonton. Setidaknya kita bisa merawat keberpihakan. Menolak narasi bantuan palsu yang jadi topeng kolonialisme. Menolak ikut mengunyah berita-berita “netral” yang menyamakan si penjajah dan yang dijajah, yang menyamakan pelaku genosida dengan korban kelaparan.
Jika kekacauan di Gaza adalah hasil rekayasa, maka kita tidak sedang menyaksikan tragedi, tapi menyaksikan sebuah proyek penghancuran. Jika bantuan dijadikan panggung, maka kita tak sedang melihat pertolongan, tapi menyaksikan pertunjukan sinis yang mempermainkan harapan manusia. Dan jika dunia diam, maka yang mati di Gaza bukan hanya tubuh-tubuh, tapi juga martabat kemanusiaan kita bersama.
Sebab hari ini, kejahatan tidak selalu muncul dalam bentuk tank dan rudal. Kadang ia datang dalam bentuk truk bantuan, yang dikawal dengan retorika dan dipenuhi oleh jebakan kematian. Dan sayangnya, banyak yang bertepuk tangan sambil berkata: “Setidaknya mereka membantu.”
Padahal kita semua tahu: itu bukan bantuan. Itu ilusi.