Connect with us

Opini

Iduladha di Gaza: Ketika Hari Raya Berubah Jadi Nestapa

Published

on

Iduladha adalah waktu yang seharusnya penuh kehangatan, pengorbanan, dan kebersamaan. Tapi bagi warga Gaza, Iduladha tahun ini datang dalam suasana yang justru menyesakkan dada. Di tengah gemuruh takbir yang biasanya membawa harapan, mereka justru dicekam ketakutan. Di tengah hari suci umat Islam, mereka tidak merasakan aroma daging kurban, tidak melihat anak-anak berlarian dengan baju baru, dan tidak bisa merayakan sebagaimana mestinya. Yang ada hanya puing-puing masjid, teriakan anak-anak yang kelaparan, dan dentuman bom yang mengguncang hati dan tubuh.

Abdel Rahman Madi, salah seorang warga Gaza, berkata dengan getir kepada Associated Press, “Saya bahkan tak bisa beli roti. Daging? Sayuran? Harga selangit.” Ucapan ini bukan sekadar keluhan ekonomi. Ia adalah jeritan yang lahir dari keterpurukan, dari ketidakadilan yang tak kunjung reda. Realitas ini bukan lagi sekadar berita—ini adalah potret kemanusiaan yang terinjak-injak. Sebagai sesama Muslim, dan lebih dalam lagi sebagai sesama manusia, saya tak bisa menahan amarah. Israel telah mencoreng makna suci Iduladha dengan kekerasan yang terus-menerus, bahkan di hari paling mulia ini.

Iduladha bagi umat Islam adalah momen berbagi, momen pengorbanan, mengenang ketabahan dan keikhlasan Nabi Ibrahim. Di berbagai pelosok Indonesia—dari desa-desa di Lombok, pegunungan Toraja, hingga pesisir Maluku—anak-anak berlarian dengan baju baru, keluarga berkumpul, daging kurban dibagikan kepada tetangga yang membutuhkan. Tapi di Gaza? Gambaran yang disampaikan Middle East Eye sungguh memilukan. Sudah lebih dari tiga bulan tidak ada daging segar yang masuk. Ternak lokal banyak yang mati. Di kandang darurat al-Mawasi, hanya segelintir hewan kurban yang tersisa. Harga melonjak. Hanya segelintir yang mampu membeli.

Hala Abu Nqeira, warga Gaza lainnya, menyampaikan kepada Associated Press, “Dulu ada suasana Iduladha, anak-anak gembira. Sekarang, tak ada tepung, pakaian, kebahagiaan.” Ini bukan soal tradisi yang hilang, tapi tentang krisis kemanusiaan yang menghapus ruang bernapas bagi rakyat yang terkepung. Di tempat lain, hari raya adalah waktu untuk tersenyum. Di Gaza, Iduladha menjadi saksi penderitaan yang tak berujung. Mereka tidak hanya kehilangan makanan dan pakaian, tapi juga harapan.

Lebih menyakitkan lagi, serangan terus berlanjut bahkan di hari raya. Menurut Anadolu Agency, pada hari pertama Iduladha, serangan udara dan artileri Israel menghantam Khan Younis, Rafah, dan Jabalia. Setidaknya 20 orang tewas, termasuk anak-anak. Beberapa terluka parah. Di tenda-tenda pengungsian, sebuah drone menyerang stasiun pengisian ponsel. Di dekat lokasi tahanan Al-Saraya, seorang anak ditembak mati. Ini bukan hanya kekerasan. Ini adalah penghinaan. Di tengah reruntuhan Masjid Imam Muhammad al-Albani di Khan Younis, warga tetap menunaikan shalat Id. Sebuah bentuk keteguhan yang menyayat hati.

Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, bahkan mengeluarkan perintah evakuasi Gaza utara dengan alasan “mengeliminasi peluncuran roket.” Namun tidak ada bukti roket diluncurkan hari itu, sebagaimana dilaporkan beberapa media. Maka, apakah ini bukan sekadar dalih untuk melanggengkan kekejaman?

Yang terjadi bukan sekadar rangkaian statistik. Bukan hanya angka 54.700 korban jiwa sejak Oktober 2023—yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, seperti dilaporkan Anadolu Agency dan UN OCHA. Ini tentang manusia, tentang rasa yang terkoyak, tentang jiwa yang dihancurkan. Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana Iduladha menjadi ajang solidaritas. Bahkan di daerah terpencil, hewan kurban dikumpulkan dan dibagikan kepada warga tak mampu. Tapi di Gaza? Pasar Khan Younis hanya menjual mainan berbentuk domba dan pakaian bekas yang harganya tetap tak terjangkau. Warga pulang dengan tangan kosong. Anak-anak hanya bisa menatap domba-domba dari kejauhan sambil melantunkan doa Iduladha, berharap mukjizat datang menyapa.

Kita harus bertanya: ini Iduladha atau tragedi kemanusiaan?

Lebih jauh lagi, derita tidak hanya terjadi di Gaza. Di Tepi Barat dan Yerusalem, represi juga semakin masif. Sekitar 80.000 umat Islam melaksanakan shalat Iduladha di Masjid Al-Aqsa, tetapi mereka diawasi ketat oleh polisi Israel. Banyak warga Tepi Barat dilarang masuk, sehingga mereka harus shalat di luar gerbang. Di Hebron, Masjid Ibrahimi kembali dibatasi aksesnya untuk ketujuh kalinya sepanjang tahun ini. Di Jenin, bahkan keluarga tidak diizinkan berziarah ke makam sanak keluarga. Sejak Oktober 2023, sebanyak 973 warga Palestina di Tepi Barat telah dibunuh oleh pasukan Israel, menurut data dari Kementerian Kesehatan Palestina.

Di Indonesia, kita bebas melaksanakan shalat Id di lapangan, di masjid, bahkan di jalanan. Tapi di Palestina, kebebasan itu direnggut. Jika kebebasan beragama adalah hak universal, maka apa artinya ketika saudara kita di Palestina tak bisa merasakannya? Apakah kita akan tetap diam?

Kemarahan ini tak boleh berhenti hanya sebagai emosi. Ia harus menjadi energi untuk bertindak. Iduladha bukan hanya soal menyembelih hewan kurban. Ia adalah simbol pengorbanan—untuk nilai, untuk kemanusiaan, untuk keadilan. Maka kita harus bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita korbankan untuk Palestina? Apakah kita telah menyisihkan sebagian dari rezeki kita untuk membantu? Apakah kita telah mengangkat suara, menulis, bersuara, berdemo, atau setidaknya berdoa?

Dalam seruannya tahun ini, Paus Fransiskus menyerukan gencatan senjata di Gaza. Ia menyebut kekerasan terhadap warga sipil “tidak dapat diterima.” Dalai Lama pun menyampaikan pesan damai lintas agama, menekankan pentingnya kemanusiaan. Ini bukan hanya isu Islam. Ini soal nilai-nilai dasar yang menjunjung kehidupan dan martabat manusia. Di Indonesia, kita selalu menghormati Natal, Nyepi, Waisak. Kita takkan tinggal diam jika ada gereja diserang saat Natal. Maka, mengapa kita seolah tenang ketika masjid dibombardir saat shalat Id?

Kemarahan ini harus diterjemahkan dalam solidaritas. Kita bisa mulai dengan hal konkret: mendukung lembaga kemanusiaan yang terpercaya seperti UNRWA, MER-C, atau Islamic Relief. Kita bisa menggalang doa bersama di masjid-masjid, menyelenggarakan forum kesadaran publik, atau ikut aksi damai menuntut penghentian agresi. Sekecil apa pun tindakan kita, ia adalah bagian dari perjuangan.

Refleksi ini menuntun kita pada pertanyaan yang lebih dalam: jika Iduladha adalah simbol keikhlasan dan kepedulian, maka apa makna Iduladha jika kita tak turut merasakan penderitaan mereka yang kehilangan segalanya?

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) kini sedang memproses permintaan surat penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang, sebagaimana dilaporkan Anadolu Agency. Mahkamah Internasional (ICJ) juga tengah mengusut dugaan genosida. Tapi proses hukum berjalan lambat, sementara bom terus berjatuhan. Dunia diam atau pura-pura tak tahu. Maka dari itu, tekanan dari masyarakat sipil, dari opini publik dunia, menjadi sangat penting.

Indonesia punya sejarah panjang dalam melawan ketidakadilan. Dari perjuangan merebut kemerdekaan, perlawanan terhadap kolonialisme, hingga solidaritas dengan bangsa-bangsa tertindas. Maka membela Palestina bukan hal baru—ia adalah kelanjutan dari semangat kemerdekaan kita sendiri.

Malam ini, 6 Juni 2025 pukul 21:54 WIB, saya menulis dengan hati yang berat. Gaza bukan sekadar nama. Ia adalah rumah bagi jutaan jiwa yang mencoba bertahan hidup dalam reruntuhan. Iduladha tahun ini bukan tentang tawa, tapi tentang air mata, bukan tentang pesta, tapi tentang kehilangan. Tapi juga bukan hanya tentang kemarahan—ini tentang cinta yang tulus pada sesama, tentang iman yang tidak membiarkan ketidakadilan menang.

Kita tak boleh membiarkan hari suci ini dicemari lagi. Mari jadikan Iduladha sebagai titik balik. Mari kita ubah kemarahan menjadi penggerak, doa menjadi energi, dan solidaritas menjadi bukti bahwa dunia belum mati rasa. Demi Gaza. Demi keadilan. Demi kemanusiaan yang kita perjuangkan bersama.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *