Opini
IDF Gagal? Kepercayaan Publik Israel Runtuh!

Sebuah survei terbaru mengungkap kenyataan pahit: hampir separuh masyarakat Israel kehilangan kepercayaan pada IDF setelah hasil investigasi serangan 7 Oktober. Hanya 12% yang masih percaya, entah karena optimisme berlebih atau ketidakmampuan menerima kenyataan. Sisanya, sebanyak 28%, memilih jalan netral—mungkin lebih nyaman menutup mata daripada menghadapi fakta bahwa pilar pertahanan mereka sedang retak.
Penurunan kepercayaan ini bukan sekadar tren statistik, melainkan pukulan telak terhadap legitimasi IDF. Max Weber pernah menjelaskan bahwa negara bertumpu pada monopoli kekerasan yang sah. Ketika rakyat meragukan kemampuan militer mereka, dasar legitimasi ini terguncang. IDF, yang selama ini menjadi dewa pelindung Israel, kini dipertanyakan. Dewa itu tidak lagi sakti.
Apalagi, temuan investigasi menyebutkan adanya Protocol Hannibal dalam kejadian tersebut. Alih-alih menyelamatkan sandera, protokol ini justru memungkinkan IDF membunuh warga mereka sendiri untuk mencegah penculikan. Jika benar demikian, maka tragedi 7 Oktober bukan hanya kegagalan keamanan, tapi juga kisah pengkhianatan. Bagaimana rakyat bisa percaya pada pemimpin yang rela mengorbankan mereka?
Lebih menarik lagi, survei ini menunjukkan bahwa kelompok pemilih dari partai Arab mengalami penurunan kepercayaan tertinggi, mencapai 73%. Ini bukan hal mengejutkan. Sebagai warga kelas dua dalam sistem apartheid modern, mereka tentu tidak kaget melihat IDF lebih mementingkan narasi Zionisme daripada nyawa manusia. Fakta ini hanya mengonfirmasi apa yang mereka sudah tahu sejak lama.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah penurunan kepercayaan di kalangan pemilih koalisi, dengan 54% merasa dikhianati. Ini adalah kelompok yang selama ini mendukung kebijakan keras pemerintah Netanyahu dan menelan mentah-mentah propaganda tentang kehebatan IDF. Kini, mereka dipaksa menghadapi kenyataan: garda terdepan mereka ternyata memiliki retakan besar.
Di sisi lain, pemilih oposisi terpecah. Sebanyak 37% kehilangan kepercayaan, sementara 31% tetap percaya. Mungkin kelompok terakhir ini masih sibuk mencari alasan agar kepercayaannya tidak runtuh. Teori Disonansi Kognitif dari Leon Festinger menjelaskan fenomena ini dengan baik: ketika keyakinan seseorang bertentangan dengan realitas, mereka cenderung mencari justifikasi agar tidak merasa bersalah.
Bagi mereka yang masih percaya, mungkin mereka berkata dalam hati, “IDF pasti punya alasan.” Atau, “Kesalahan ini hanya insiden kecil, tidak mengubah fakta bahwa mereka tetap yang terkuat.” Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa justifikasi semacam ini adalah tanda ketidakmampuan menerima kenyataan. Mereka lebih memilih ilusi daripada mengakui bahwa pilar pertahanan mereka telah goyah.
Bagi yang kehilangan kepercayaan, perjalanan psikologis mereka menarik untuk diamati. Awalnya, mereka yakin IDF adalah benteng pertahanan yang tak tertembus. Namun, ketika serangan 7 Oktober membuktikan sebaliknya, ada guncangan batin. Kepercayaan yang dibangun selama puluhan tahun runtuh dalam hitungan jam. Mereka kini menghadapi krisis eksistensial sebagai warga negara.
Situasi ini semakin rumit dengan pidato Letnan Jenderal Eyal Zamir dalam pelantikannya. Ia berbicara dengan penuh kebanggaan, menyebut IDF sebagai “ujung tombak Zionisme dan pelindung bangsa Yahudi.” Kata-kata indah ini mungkin dimaksudkan untuk menenangkan publik. Sayangnya, bagi mereka yang telah kehilangan kepercayaan, pidato itu justru terdengar kosong dan menyedihkan.
Zamir juga menekankan pentingnya meningkatkan anggaran pertahanan dan memperkuat Operasi Iron Wall di Tepi Barat. Seakan-akan, solusinya adalah lebih banyak senjata dan lebih banyak represi. Tetapi, apakah lebih banyak tank dan drone bisa menyelamatkan IDF dari krisis legitimasi? Ataukah ini hanya upaya putus asa untuk menutupi kegagalan struktural yang semakin kentara?
Keinginan Zamir untuk memperkuat Iron Wall mengingatkan kita pada mitos benteng Masada yang legendaris. Bangsa Yahudi di Masada memilih bunuh diri massal daripada menyerah kepada Romawi. Kini, dengan Protocol Hannibal, IDF tampaknya meneruskan warisan itu—tetapi dalam bentuk yang lebih modern: membunuh warga sendiri sebelum mereka bisa digunakan sebagai alat tawar oleh musuh.
Ketika rakyat Israel menghadapi dilema ini, pemerintah Netanyahu harus bermain cerdas. Mereka bisa mengalihkan perhatian dengan propaganda baru atau menciptakan musuh eksternal yang lebih besar. Iran selalu menjadi pilihan favorit. Tetapi, akankah rakyat masih tertipu oleh trik lama ketika mereka sendiri merasa dikhianati oleh pemimpin mereka?
Survei ini, meskipun hanya angka, menggambarkan sesuatu yang lebih dalam: ketidakstabilan sosial yang mengintai di Israel. Tanpa legitimasi kuat, tidak ada negara yang bisa bertahan lama. Israel, yang selama ini membangun identitasnya di atas kekuatan IDF, kini dihadapkan pada pertanyaan besar: jika bukan IDF, lalu siapa yang bisa dipercaya?
Seiring waktu, jika kepercayaan ini terus menurun, bukan tidak mungkin akan muncul bentuk perlawanan internal. Oposisi bisa semakin keras menuntut perubahan. Bahkan, bisa muncul gerakan rakyat yang menolak kebijakan militeristik dan menuntut pendekatan baru dalam hubungan dengan Palestina. Jika ini terjadi, maka kegagalan 7 Oktober bisa menjadi titik balik bagi Israel.
Namun, ada kemungkinan lain: ketakutan akan musuh eksternal bisa digunakan sebagai alat untuk menekan kritik internal. Dengan memanfaatkan disonansi kognitif, pemerintah bisa mengarahkan amarah rakyat bukan kepada IDF, tetapi kepada “musuh abadi” mereka. Dengan demikian, mereka bisa menyelamatkan legitimasi yang mulai runtuh, setidaknya untuk sementara.
Pada akhirnya, apa yang terjadi sekarang adalah uji coba terbesar bagi IDF dan negara Israel sendiri. Jika mereka tidak mampu mengembalikan kepercayaan publik, maka lambat laun, mitos superioritas mereka akan terkikis. Israel akan menghadapi dilema eksistensial yang lebih besar daripada ancaman eksternal mana pun: hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem yang mereka bangun sendiri.