Opini
ICC: Macan Kertas di Hadapan Netanyahu

Ketika Perdana Menteri Belgia, Bart De Wever, menyatakan bahwa tak ada negara Uni Eropa yang akan menegakkan surat perintah penangkapan ICC terhadap Benjamin Netanyahu, ia bukan sekadar menyampaikan pendapat—ia sedang membuka tirai realitas politik yang getir. Dalam wawancara di VRT’s Terzake, ia mengakui bahwa Belgia, seperti Hongaria yang sejak awal menolak ICC, akan lebih memilih pragmatisme ketimbang prinsip hukum. Laporan tentang sikap negara-negara Eropa lainnya—Jerman, Polandia, dan Prancis—semakin memperkuat pandangannya. Ini bukan sekadar opini pribadi, melainkan potret dunia di mana keadilan internasional kerap tersandera oleh kepentingan geopolitik yang lebih besar.
Bayangkan sebuah pengadilan internasional yang lahir dari mimpi kolektif dunia pasca kekejaman abad ke-20—ICC, atau International Criminal Court, didirikan pada 1998 melalui Statuta Roma, dengan janji menghadirkan keadilan tanpa pandang bulu. Namun ketika surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Yoav Gallant diterbitkan pada November lalu—atas dugaan kejahatan perang di Gaza, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata—reaksi Eropa justru dipenuhi keraguan. De Wever menyebutnya “realpolitik”, istilah yang menggambarkan bagaimana prioritas hubungan diplomatik dan kepentingan nasional kerap mengalahkan suara hukum. Hongaria bahkan menyatakan keinginannya keluar dari Statuta Roma, menambah pukulan bagi kredibilitas ICC yang memang sudah sering dipertanyakan.
Sejarah ICC memang sarat ketimpangan. Dari 31 surat perintah penangkapan yang telah dikeluarkan sejak 2002, 27 di antaranya menargetkan individu dari Afrika—dari Sudan, Uganda, Kongo, hingga Libya. Tak satu pun pemimpin negara Barat atau sekutu-sekutunya pernah diadili, meski tuduhan serupa telah lama bergema, termasuk dalam konteks perang Irak dan Afghanistan. George Szamuely, peneliti dari Global Policy Institute, menyebut ICC sebagai alat hegemoni Barat yang kini kehilangan relevansi. Amerika Serikat mencabut dukungannya sejak 2002, sementara Rusia dan China tak pernah bergabung. ICC kini tinggal memiliki 123 negara anggota—dan banyak di antaranya tak berdaya saat berhadapan dengan negara kuat.
Meski begitu, ada pula suara yang membela keberadaan ICC. Fatou Bensouda, jaksa sebelumnya, dalam pidato tahun 2019 menyebut pengadilan ini sebagai “simbol harapan” bagi para korban di seluruh dunia. Ia mencontohkan kasus Jean-Pierre Bemba, pemimpin oposisi dari Republik Demokratik Kongo yang ditangkap pada 2008 atas kejahatan di Republik Afrika Tengah, sebagai bukti potensi ICC dalam menegakkan keadilan. Para pembela ICC berargumen bahwa lembaga ini telah mengubah norma internasional, menciptakan ketakutan baru bagi para pemimpin yang dulu merasa kebal. Tapi optimisme ini semakin rapuh saat Eropa—dari Jerman yang mengaku tak bisa membayangkan menangkap Netanyahu, hingga Prancis yang bersembunyi di balik dalih kekebalan diplomatik—lebih memilih diam.
Pola ini sebetulnya bukan baru. Pada 2015, Omar al-Bashir dari Sudan, yang dicari ICC atas tuduhan genosida di Darfur, berkunjung ke Afrika Selatan tanpa ada tindakan penahanan, meski negara itu adalah anggota ICC. Bandingkan dengan kasus Rodrigo Duterte dari Filipina, yang diselidiki atas perang narkoba berdarah yang menewaskan lebih dari 12.000 orang menurut laporan Human Rights Watch, sebelum Filipina memutuskan keluar dari ICC pada 2019. Duterte tampak lebih rentan, karena tidak memiliki perlindungan geopolitik seperti yang dimiliki Netanyahu, yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa.
Kasus-kasus lain mempertegas ketimpangan yang ada. Invasi Irak pada 2003 oleh Amerika Serikat dan Inggris, yang menurut studi dalam PLOS Medicine tahun 2013 telah menyebabkan lebih dari 460.000 kematian, tak pernah disentuh oleh ICC. AS memang bukan anggota, tapi Inggris adalah anggota Statuta Roma—namun tak pernah menghadapi tekanan serius untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Sementara itu, ICC justru lebih sibuk mengurus kasus-kasus dari Afrika—10 dari 11 investigasi penuh hingga 2023 semuanya berpusat di benua tersebut. Ketidakseimbangan ini semakin memperkuat tuduhan bahwa ICC hanya kuat terhadap negara-negara lemah, dan buta terhadap pelanggaran yang dilakukan negara kuat.
Di Belgia sendiri, pernyataan De Wever memicu reaksi keras. Koalisi pemerintahannya segera mengambil jarak, mengklaim bahwa pernyataan itu tidak dikonsultasikan sebelumnya. Oposisi menyebutnya sebagai “lereng licin” yang berbahaya, menempatkan Belgia sejajar dengan Hongaria di bawah Viktor Orban—pemimpin yang selama ini dikenal sebagai sosok anti-hukum internasional. Mereka tak sepenuhnya salah: jika seorang pemimpin politik bisa secara terbuka mengabaikan ICC tanpa konsekuensi, apa artinya supremasi hukum internasional? ICC memang menegaskan bahwa Hongaria tetap berkewajiban bekerja sama, namun tanpa mekanisme penegakan yang jelas, pernyataan itu hanya menjadi ancaman kosong.
De Wever mungkin hanya menyuarakan realitas. Dari 27 negara Uni Eropa—semuanya anggota ICC—tak satu pun tampak benar-benar siap menangkap Netanyahu. Polandia bahkan menawarkan jaminan keamanan bagi Netanyahu saat acara peringatan Auschwitz. Jerman menyebut gagasan penangkapan itu sebagai sesuatu yang “tak terbayangkan.” Prancis berlindung di balik dalih kekebalan diplomatik, meski klaim tersebut dibantah oleh ICC. Israel sendiri, dengan ekspor senjata ke Eropa yang mencapai 1,2 miliar euro pada tahun 2022 menurut data SIPRI, adalah mitra strategis yang penting. Ini bukan lagi soal hukum—ini soal siapa yang punya kuasa. Dan dalam peta kekuasaan itu, ICC kalah sebelum sempat bertarung.
Yang ironis, Belgia sebenarnya punya sejarah berbeda. Pada 1998, mereka menangkap mantan diktator Chile, Augusto Pinochet, atas dasar prinsip yurisdiksi universal—sebuah langkah berani yang menunjukkan komitmen nyata pada keadilan global. Sikap De Wever hari ini kontras dengan semangat itu. Ia memilih kenyamanan politik ketimbang prinsip hukum. Tak heran jika oposisi khawatir bahwa sikap ini akan menjadi preseden berbahaya: jika Netanyahu bisa lolos karena perlindungan politik, siapa lagi yang akan ikut dilindungi di masa depan? ICC, yang tak punya polisi atau tentara, hanya bergantung pada kemauan politik negara-negara anggota—dan kemauan itu jelas absen di Eropa hari ini.
Lalu, bagaimana masa depan ICC? Para pembela tetap berharap bahwa pengadilan ini hanya butuh waktu untuk matang—seperti pengadilan Nuremberg yang perlahan membentuk norma hukum pasca-1945. Namun tanpa reformasi mendasar, ICC akan tetap menjadi lembaga yang lemah. Bayangkan jika ada badan pelaksana independen di bawah PBB—semacam “polisi global” dengan 5.000 personel—yang bisa mengeksekusi surat perintah tanpa harus bergantung pada kehendak politik negara. Atau, setidaknya, diplomasi agresif untuk menarik AS, Rusia, dan China agar bergabung, meski keberadaan hak veto mereka di Dewan Keamanan jelas menjadi hambatan besar.
Alternatif lain: perkuat prinsip yurisdiksi universal di tingkat nasional. Belgia pernah menjadi pelopor, sebelum akhirnya merevisi undang-undangnya pada 2003 setelah tekanan dari Amerika Serikat. Jika ICC bisa mendorong lebih banyak negara untuk mengadopsi model ini—seperti yang pernah dilakukan Spanyol dan Jerman—maka tekanan terhadap para “tak tersentuh” seperti Netanyahu bisa semakin meningkat. Tanpa langkah-langkah berani ini, ICC akan terus menjadi simbol yang tak memiliki gigi—lembaga yang tampak kuat di atas kertas, tapi lumpuh di dunia nyata.
Jadi, secara praktis, De Wever memang benar. Eropa tak akan bertindak. Pernyataannya membuktikan bahwa hukum internasional masih tunduk pada kekuasaan dan kepentingan. Namun suara Bensouda dan para pembela ICC tetap mengingatkan bahwa masih ada harapan, meski kecil. Reformasi seperti pembentukan badan pelaksana independen, atau penguatan yurisdiksi universal, bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan ini. Tapi semua itu hanya mungkin terwujud jika ada kemauan politik—yang, untuk saat ini, tampaknya masih jauh dari kenyataan. Hingga hari itu tiba, ICC tetaplah macan kertas. Dan Bart De Wever, suka atau tidak, hanya menyuarakan kenyataan yang selama ini kita semua tahu, tapi enggan untuk diakui.
*Sumber:
https://www.rt.com/news/615344-netanyahu-arrest-warrant-belgium/
https://www.rt.com/news/615199-icc-szamuely-hungary-withdrawal/