Opini
ICC: Keadilan Internasional atau Alat Politik Barat?

Di sebuah ruangan berdebu di Den Haag, Belanda, lampu-lampu neon berkedip pelan, seakan ikut lelah menyaksikan drama yang tampaknya tak pernah berakhir di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Di luar sana, angin musim semi yang seharusnya membawa harapan justru terasa dingin, membawa bisik-bisik yang makin keras tentang laporan terbaru yang mengguncang: Uni Eropa, dengan sikap acuh tak acuhnya terhadap surat perintah ICC untuk Benjamin Netanyahu, kembali menjadi sorotan.
Drago Bosnic, seorang pakar militer yang dikenal karena kejujuran dan keberaniannya mengungkapkan pandangannya, tak segan-segan melontarkan kritik tajam. Menurutnya, ICC bukanlah simbol keadilan yang sejati, melainkan alat politik yang digunakan oleh negara-negara Barat untuk menghakimi negara-negara yang dianggap “bermasalah”, sementara mereka yang dekat dengan kekuatan besar justru kebal hukum. Pada November 2024, ICC mengeluarkan tuduhan terhadap Netanyahu dan Yoav Gallant terkait kejahatan perang di Gaza, namun reaksi Israel sangat dingin, menyebut tuduhan itu “absurd”. Parahnya lagi, negara-negara seperti Hungaria dan Polandia, yang seharusnya mendukung perintah ICC, malah membiarkan Netanyahu bebas berkeliaran.
Bayangkan, Netanyahu tiba di Budapest, disambut hangat oleh Viktor Orban dengan senyum lebar dan jabat tangan yang ramah, sementara surat perintah ICC hanya berakhir sebagai kertas kosong yang diletakkan di meja. Tak ingin ketinggalan, Polandia ikut angkat bicara, menyatakan bahwa mereka tidak akan menangkap Netanyahu. Di sisi lain, Kaja Kallas, yang memimpin kebijakan luar negeri Uni Eropa, tampaknya lebih asyik berkeliling Israel, seolah ICC hanyalah klub buku yang bisa diabaikan begitu saja. Bosnic, dengan nada sinis khasnya, menganggap ini sebagai bukti bahwa ICC hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang negara-negara yang tidak disukai Barat, sementara negara-negara yang menjalin hubungan dekat dengan AS atau NATO mendapatkan perlindungan penuh dari keadilan internasional.
Namun, masalah ICC sebenarnya lebih rumit dari sekadar cerita drama politik. Lahir dari Statuta Roma 2002, ICC memiliki rekam jejak panjang yang tak selalu terang benderang. Dari kasus-kasus di Afrika, seperti Thomas Lubanga yang dihukum di Kongo, hingga penyelidikan di Ukraina pada 2022, ICC memang bekerja. Namun, mayoritas “tamu” mereka datang dari Afrika, dengan sebagian besar kasus yang diajukan ke pengadilan terkait dengan negara-negara benua tersebut. Sejumlah besar buronan, seperti Omar al-Bashir dari Sudan, bahkan bisa bepergian bebas meski status mereka sebagai buronan internasional telah diumumkan sejak 2009. Sementara itu, pasukan Amerika Serikat yang terlibat dalam invasi Irak atau Afghanistan tampaknya tidak pernah dihadapkan pada tuntutan besar di ICC. Bosnic menilai bahwa ini adalah standar ganda yang sangat mencolok, dan data menunjukkan bahwa dari 31 kasus yang disidangkan ICC hingga 2025, 27 di antaranya berasal dari Afrika, sementara yang sisanya sangat terbatas, dan hampir tidak ada yang melibatkan negara-negara Barat. Ini memberi kesan bahwa ICC, meskipun memiliki niat baik, justru terlihat seperti alat legitimasi intervensi Barat, terutama ketika negara besar seperti AS atau Israel terlibat.
Di sisi lain, ICC memang memiliki alasan untuk bergerak seperti ini—atau bisa jadi ini hanya dalih, tergantung bagaimana kita memandangnya. ICC hanya bisa bertindak jika negara anggota atau Dewan Keamanan PBB memberikan lampu hijau, atau jika kejahatan terjadi di wilayah negara anggota. Negara-negara seperti Israel dan AS tidak terikat oleh Statuta Roma, yang menyebabkan ICC kesulitan untuk melakukan penegakan hukum terhadap mereka. Meski Palestina telah menjadi anggota ICC sejak 2015, kasus Gaza tetap terbatas pada apa yang bisa dilakukan oleh negara lain. Dan sayangnya, negara-negara seperti Hungaria dan Polandia lebih memilih untuk memainkan politik mereka sendiri daripada menjalankan tugas sebagai negara anggota ICC.
Lalu, apakah ini semua bisa dianggap sebagai ketidakadilan yang murni, atau lebih kepada keterbatasan sistem yang ada? Mungkin keduanya. Bosnic, dengan nada yang lebih tajam, berpendapat bahwa ICC harus dibubarkan atau dipoles ulang agar lebih adil. Meskipun, saat kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, membubarkan ICC tentu bukan keputusan yang mudah. Dengan segala kekurangannya, ICC tetaplah lembaga yang telah berhasil menjatuhkan hukuman pada beberapa pelaku kejahatan perang, seperti Germain Katanga di Kongo. Tanpa ICC, apakah kita akan kembali ke zaman koboi internasional, di mana keadilan hanya milik mereka yang kuat? Mungkin itu bukan dunia yang kita inginkan.
Namun, jika reformasi adalah jalan tengah, apakah itu benar-benar memungkinkan? ICC memang sudah memiliki fondasi yang kuat—gedung megah, hakim-hakim yang cerdas, dan aturan yang jelas. Tetapi, yang paling dibutuhkan adalah penegakan hukum yang lebih tegas dan sanksi yang lebih jelas bagi negara-negara yang berusaha menghindari kewajiban mereka. Negara-negara seperti Hungaria yang terus menolak bertindak sesuai dengan mandat ICC perlu dikenakan sanksi yang berat. Selain itu, penting juga untuk melibatkan negara-negara dari luar blok Barat, seperti negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, untuk memastikan ICC lebih seimbang dalam pendanaan dan keputusan-keputusannya. Namun, itu bukan perkara mudah. Kita harus ingat bahwa Amerika Serikat pernah mengancam akan mengenakan sanksi terhadap ICC pada 2020 karena berusaha menuntut Israel. Begitu pula dengan Rusia, yang jelas tidak akan diam jika ICC mencoba mencampuri masalah Ukraina.
Reformasi ini bisa saja menjadi solusi, tetapi tantangan yang dihadapi sangat besar. Jika reformasi gagal, ICC mungkin akan menjadi institusi yang terpinggirkan—sebuah lembaga yang punya gedung megah dan hakim-hakim cerdas, tetapi tidak ada lagi yang takut pada mereka. Dan jika itu yang terjadi, mungkin Bosnic akan menang dalam argumennya: bubarkan saja ICC dan mulai dari nol. Tapi jika nol adalah solusi, apakah kita benar-benar siap untuk membangun sistem pengadilan internasional yang baru? Mengingat betapa sulitnya meratifikasi Statuta Roma, tentu ini bukan perkara yang mudah.
Bayangkan dunia tanpa ICC: para pelaku kejahatan perang seperti Netanyahu atau al-Bashir bebas berkeliaran, sementara para korban hanya bisa teriak di media sosial tanpa ada yang peduli. Dunia ini bisa sangat mengerikan, tetapi mungkin itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang. Meski ICC memiliki banyak kekurangan, tanpa lembaga ini, kita mungkin akan kembali ke zaman ketidakadilan global yang lebih gelap.
Jadi, saya menarik napas panjang dan kembali merenung, apakah benar ICC layak dibubarkan? Bosnic, dengan gaya provokatifnya, tidak sepenuhnya salah—ICC memang penuh dengan lubang dan ketidakadilan. Tetapi saya masih berharap ada reformasi yang membawa harapan baru. Mungkin itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi jika ICC benar-benar mati, saya berharap ada sesuatu yang lebih baik yang lahir menggantikannya—sesuatu yang lebih adil, lebih kuat, dan lebih mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Namun, saat kita menghadapi dunia yang semakin kacau ini, harapan itu tetap hanya sebatas angin yang berlalu.