Opini
Hukuman Rakyat: Saat Arogansi Menuai Amarah

Malam itu, (30/8) kota tak lagi tidur dengan tenang. Jalanan sempit di Bintaro dan gang padat di Tanjung Priok dipenuhi suara langkah, teriakan, dentuman, dan bahkan aba-aba kembang api. Seperti adegan film, tetapi tanpa sutradara. Ratusan, bahkan ribuan orang merangsek masuk, bukan sekadar untuk berunjuk rasa, melainkan mengangkut kursi, televisi, hingga guci. Ironis, rumah pejabat yang selama ini dipagari tinggi-tinggi ternyata tak bisa menahan gelombang amarah rakyat yang sudah kehilangan sabar.
Kita tahu, penjarahan adalah tindak pidana. Tidak ada hukum yang bisa membenarkannya. Tetapi kita juga tahu, tindakan itu lahir bukan karena tiba-tiba warga ingin jadi maling berjamaah. Tidak. Ini adalah ledakan sakit hati. Rasa muak yang terakumulasi lama, menunggu hanya satu percikan api untuk menyulutnya. Dan percikan itu datang dari ucapan-ucapan pejabat yang pongah, kalimat-kalimat yang menampar perasaan rakyat yang sedang terseok oleh kesulitan hidup.
Ambil contoh Ahmad Sahroni. Politisi yang dikenal sebagai “crazy rich Tanjung Priok” itu dengan enteng menyebut desakan pembubaran DPR sebagai tindakan tolol. Lebih jauh lagi, ia melabeli orang-orang yang mengucapkannya sebagai “mental tertolol sedunia”. Kata-kata itu menetes ke telinga rakyat seperti air keras. Bukan hanya menyakitkan, tapi juga mempermalukan. Dan dari situ, amarah yang terpendam menemukan jalannya: rumahnya digeruduk, barang-barang mewahnya diangkut, kaca-kacanya pecah berderai. Itu bukan sekadar penjarahan; itu semacam vonis rakyat yang tidak percaya lagi pada mekanisme formal untuk menghukum wakilnya yang congkak.
Saya rasa, kita sedang menyaksikan bentuk paling vulgar dari krisis legitimasi. Ketika partai politik sibuk menutup rapat aib kadernya, ketika negara gagap menegakkan disiplin pada pejabatnya, maka rakyat pun mengambil alih “pengadilan”. Caranya brutal, ya. Tapi kehadirannya bukan tanpa pesan. Pesan itu jelas: jika negara tak mampu menghukum, maka rakyat bisa menghukum dengan caranya sendiri, meski cara itu melanggar hukum positif.
Bukankah ini ironi besar? Di satu sisi pemerintah menggelontorkan jargon tentang penegakan hukum, stabilitas, dan keamanan nasional. Di sisi lain, aparat yang berjaga di depan rumah-rumah pejabat tampak tak berkutik ketika massa merangsek. Mereka hanya bisa menenangkan agar rumah tidak dibakar, tidak lebih. Apa gunanya pagar tinggi, kamera CCTV, atau barisan aparat berseragam loreng, jika legitimasi pejabatnya sudah runtuh di mata publik?
Kita bisa menutup mata dan berkata: ini kriminal murni. Tapi apakah itu jujur? Bukankah yang kita lihat justru sebaliknya—kerusuhan yang lahir dari politik yang bebal? Masyarakat tidak akan nekat merangsek masuk ke rumah pejabat kalau bukan karena rasa dikhianati. Kita semua tahu, rakyat kecil terbiasa sabar. Mereka bisa antre berjam-jam demi sekarung beras, mereka bisa diam ketika gaji tak naik-naik, mereka bisa pasrah ketika tarif listrik atau BBM melonjak. Tapi ada satu hal yang tak bisa mereka terima: dipermalukan dan dianggap remeh oleh orang yang katanya wakil mereka.
Inilah yang disebut pelajaran pahit. Pejabat publik seharusnya belajar bahwa setiap ucapan adalah cermin, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk institusi yang diwakilinya. Satu kalimat arogan bisa jadi lebih berbahaya daripada seribu demonstrasi. Kata-kata yang meremehkan publik bisa meruntuhkan benteng yang dibangun puluhan tahun dengan anggaran, proyek, dan pencitraan. Dan saat benteng itu runtuh, rakyat tak peduli lagi siapa yang berdiri di dalamnya.
Saya bayangkan, pagi setelah penjarahan, ketika barang-barang menumpuk di depan rumah Sri Mulyani atau Ahmad Sahroni, aroma yang tersisa bukan hanya dari debu dan pecahan kaca, melainkan aroma getir tentang runtuhnya rasa hormat. Itu semacam catatan kaki sejarah: bahwa rakyat bisa mengubah protes menjadi eksekusi sosial. Apakah ini pantas dirayakan? Tidak. Apakah ini pantas disesali? Tentu. Tapi di balik semua itu, ada pesan yang seharusnya membuat para pejabat terjaga semalaman: jangan main-main dengan emosi rakyat.
Negara dan partai politik semestinya segera sadar. Jangan menunggu amarah berubah menjadi kobaran api yang meluas. Jangan menunggu lebih banyak rumah dijarah atau gedung dibakar. Hukuman rakyat tak pernah lahir dari ruang hampa; ia adalah hasil dari kegagalan sistem politik yang mestinya menjadi penjaga keadilan. Jika partai tak berani menegur kadernya, jika pemerintah sibuk menutupi kesalahan pejabatnya, maka jangan salahkan rakyat bila suatu saat mengambil jalannya sendiri.
Akhirnya, kita sampai pada ironi paling pahit. Para pejabat yang dulu dielu-elukan dengan panggilan “wakil rakyat” kini justru ketakutan di balik pagar rumahnya. Mereka lupa, pagar itu bukan untuk menjauhkan diri dari rakyat, melainkan untuk melindungi keluarga. Dan rakyat lupa, amarah yang dibalas dengan penjarahan hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan baru. Tapi siapa yang memutus lingkaran itu? Bukan rakyat, melainkan pejabat yang seharusnya punya kesadaran diri bahwa jabatan adalah amanah, bukan panggung untuk kesombongan.
Maka saya katakan: ini memang hukuman rakyat. Hukuman yang keras, pahit, bahkan brutal. Tapi juga hukuman yang lahir dari rasa sakit hati yang terlalu lama diabaikan. Dan selama pejabat kita masih lebih sibuk menjaga gengsi daripada menjaga empati, jangan heran bila rakyat kembali mengetuk pagar rumah mereka—kali ini bukan dengan sopan, melainkan dengan tangan kosong yang siap merampas apa pun yang dianggap simbol arogansi.
Dan pada akhirnya, yang lebih mengkhawatirkan dari peristiwa ini bukanlah soal siapa yang benar atau salah di mata hukum, melainkan bagaimana jarak antara rakyat dan penguasa semakin melebar. Kepercayaan yang sudah rapuh makin tergerus, sehingga masyarakat tak lagi melihat negara sebagai tempat berlindung, melainkan sebagai sumber ketidakadilan. Saat itu terjadi, legitimasi pemerintah perlahan tapi pasti akan runtuh, bukan karena guncangan dari luar, melainkan karena kealpaan dari dalam.
Rakyat bisa memaafkan kesalahan, bahkan bisa memahami kebijakan yang pahit, selama mereka merasakan kejujuran dan empati dari para pemimpinnya. Tetapi rakyat akan sulit memaafkan penghinaan, arogansi, atau sikap meremehkan penderitaan mereka. Inilah pelajaran yang seharusnya dicatat baik-baik oleh para pejabat publik. Bukan sekadar bagaimana mengelola krisis, melainkan bagaimana menjaga lidah, menjaga gestur, dan menjaga hati dalam berhadapan dengan masyarakat yang sedang terluka.
Peristiwa ini juga menjadi cermin bagi partai politik. Apabila mereka gagal menertibkan kader atau pejabatnya, rakyat yang akan turun tangan memberi sanksi dengan cara mereka sendiri, meski itu pahit dan tak sesuai prosedur hukum formal. Politik, pada akhirnya, bukan hanya soal aturan dan undang-undang, tapi juga soal rasa keadilan yang hidup di benak rakyat. Ketika keadilan itu terasa diinjak-injak, rakyat akan mencari jalannya sendiri untuk mengembalikan keseimbangan.
Dan jika suara rakyat sudah berubah menjadi gelombang kemarahan, itu bukan lagi sekadar kritik, melainkan alarm yang menandakan ada sesuatu yang salah dalam relasi antara penguasa dan yang dikuasai. Alarm itu seharusnya tidak dimatikan dengan alasan hukum belaka, tetapi dijadikan momentum untuk introspeksi, agar kejadian serupa tidak terulang.
Sumber:
- https://www.tempo.co/politik/kronologi-rumah-menteri-keuangan-sri-mulyani-dijarah-massa-2064981
- https://economy.okezone.com/read/2025/08/31/470/3166632/deretan-rumah-pejabat-digeruduk-dan-dijarah-massa-dari-ahmad-sahroni-hingga-sri-mulyani-nbsp?page=2
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gzn5vvw7jo
- https://megapolitan.kompas.com/read/2025/08/30/17124101/imbas-ucapan-kontroversial-rumah-ahmad-sahroni-didatangi-massa
Pingback: Darurat Militer: Siapa Untung, Siapa Rugi?
Pingback: Warga Jaga Warga: Apakah IniTanda Negara Gagal?