Opini
HTS & Israel: Sekutu dalam Selimut?

Tampaknya dunia telah menemukan pasangan paling mesra dalam dunia konflik: Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) dan Israel. Seperti Romeo dan Juliet versi perang Timur Tengah, mereka tidak pernah terlihat bersama, tapi entah bagaimana selalu menghindari konfrontasi langsung. Israel terus merangsek ke wilayah Suriah, meratakan sisa-sisa pertahanan Suriah, sementara HTS justru sibuk melempar mortir ke Lebanon. Bukankah ini romantis? Seperti dua sejoli yang saling memahami tugas masing-masing tanpa perlu bicara.
Sementara tentara Israel bersorak di atas reruntuhan Suriah, HTS mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Mereka mungkin terlalu sibuk mengatur agenda harian, seperti “Siapa lagi yang harus kita serang hari ini?” dan sayangnya, jawabannya tidak pernah Israel. Bagaimana mungkin kelompok yang mengklaim ingin membebaskan Suriah dari “musuh” malah membiarkan penjajah berkeliaran sesuka hati? Apakah mungkin mereka hanya lupa bahwa ada entitas bernama Israel yang telah merampas tanah Arab selama puluhan tahun? Atau, lebih lucu lagi, apakah mereka menganggap Israel sebagai tamu kehormatan?
Jika ini adalah permainan catur, maka HTS adalah bidak yang dengan senang hati membiarkan Israel bergerak bebas, sementara mereka sibuk menyerang bidak lain yang bahkan tidak mengancam mereka. Sungguh strategi yang jenius! Seperti seorang petarung yang, alih-alih melawan musuh yang meninjunya, justru meninju penonton yang sedang makan popcorn. Bayangkan jika dalam sejarah perang, seorang panglima yang bentengnya sedang dihancurkan malah berteriak, “Jangan pedulikan itu! Kita punya musuh lebih penting di tempat lain!”
Lebanon, negara yang bahkan tidak mengacaukan Suriah, tiba-tiba harus berhadapan dengan mortir dan serangan dari HTS. Apakah mereka melempar satu batu ke arah Suriah? Tidak. Apakah mereka melakukan invasi? Tidak. Tetapi mengapa HTS malah menjadikan Lebanon sebagai sasaran empuk? Bukankah lebih masuk akal jika energi dan amunisi mereka diarahkan kepada Israel yang dengan santainya menduduki tanah Suriah? Kecuali, tentu saja, jika HTS merasa bahwa Israel adalah bagian dari keluarga besar mereka yang tak boleh disentuh.
Dan seperti pasangan yang saling melindungi dalam hubungan yang penuh konspirasi, Israel juga tidak pernah secara langsung menargetkan HTS. Anehnya, Israel begitu bersemangat menghancurkan infrastruktur militer Suriah, tapi entah mengapa, HTS tetap berdiri tegak di wilayahnya tanpa gangguan berarti. Ini seperti polisi yang hanya menangkap pencopet kecil tapi membiarkan perampok bank beroperasi dengan tenang. Logikanya di mana? Jika HTS memang musuh semua pihak yang terlibat dalam konflik ini, mengapa satu-satunya pihak yang tak pernah disentuh oleh mereka adalah Israel?
Ada yang bilang, “Musuh dari musuhku adalah temanku.” Tapi tampaknya HTS memilih versi lain: “Musuh dari musuhku adalah seseorang yang lebih baik aku abaikan karena aku punya agenda sendiri.” Ini adalah skenario di mana seorang penjajah datang dengan tank dan jet tempur, sementara kelompok yang mengklaim diri sebagai pejuang justru menunduk dan berkata, “Silakan lewat, kami sedang sibuk mencari musuh di tempat lain.”
Jika kita tarik analogi yang lebih sederhana, ini seperti rumah yang sedang dibobol maling, tetapi sang pemilik rumah malah sibuk menyapu halaman dan memarahi tetangga karena daunnya jatuh ke pekarangan. “Silakan rampok seisi rumahku, wahai maling, aku masih ada urusan lain yang lebih penting!” Bukankah ini sketsa komedi yang sempurna untuk menggambarkan HTS dan Israel?
Jadi, jangan salahkan orang jika mereka mulai berpikir bahwa HTS dan Israel sebenarnya sekutu dalam selimut. Bukti di lapangan terlalu banyak untuk diabaikan. Dan meskipun mereka akan menolak keras klaim ini, faktanya tetap sama: Israel menari-nari di atas tanah Suriah, sementara HTS sibuk menyerang negara lain. Jika ini bukan bentuk kerja sama terselubung, lalu apa?
Di akhir hari, kita hanya bisa duduk dan menyaksikan bagaimana dua entitas yang seharusnya bermusuhan justru saling mengabaikan. HTS dan Israel, pasangan tak kasat mata yang terus berbagi panggung dalam drama perang Suriah, satu menghancurkan, yang lain membiarkan. Dunia boleh tertawa atau menangis, tapi satu hal yang pasti: ini adalah ironi terbesar abad ini.