Opini
HTS Berkuasa, Suriah Tetap Terjerat Kekacauan

Ketika Bashar al-Assad akhirnya tumbang pada Desember tahun lalu, banyak yang mengira Suriah akan memasuki babak baru. Sebuah negeri yang selama ini dikuasai oleh satu rezim kini memiliki kesempatan untuk membangun kembali dirinya. Namun, kenyataan berkata lain. Alih-alih stabilitas, Suriah justru jatuh ke dalam kekacauan yang lebih besar. Konflik terus berlanjut, bahkan semakin brutal, dengan banyak pihak yang berebut kekuasaan. Laporan terbaru menunjukkan bahwa Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang kini memimpin pemerintahan transisi di bawah Ahmad al-Sharaa, menghadapi perlawanan sengit dari kelompok-kelompok bersenjata yang menolak otoritasnya.
Pada 6 Maret, sedikitnya 16 anggota Administrasi Keamanan Umum dari pemerintahan HTS tewas dalam serangan oleh kelompok yang menamakan diri sebagai “Coastal Shield Forces.” Media lokal menggambarkan kelompok ini sebagai sisa-sisa loyalis Assad, meskipun narasi tersebut hanya sebagian benar. Fakta bahwa mereka berhasil melakukan serangan terkoordinasi menandakan bahwa ada dukungan yang cukup signifikan bagi mereka. Tidak hanya dari individu atau kelompok kecil, tetapi dari jaringan yang lebih luas yang melihat pemerintahan al-Sharaa sebagai pengkhianatan terhadap revolusi Suriah.
Setelah serangan ini, respons pemerintah transisi sangat khas dari kelompok yang dulunya gerakan teroris tetapi kini bersikap layaknya rezim represif yang mereka gulingkan. Militer HTS mengerahkan bala bantuan ke Jableh, berusaha mengendalikan situasi dengan cara yang hampir tidak bisa dibedakan dari metode rezim Assad. Pembunuhan di luar hukum, penangkapan massal, dan eksekusi lapangan semakin menjadi pemandangan sehari-hari. Alih-alih membawa kebebasan dan stabilitas, HTS hanya mengganti simbol-simbol kekuasaan sambil mempertahankan pola pemerintahan yang sama.
Bahkan, yang terjadi lebih parah. HTS tidak hanya menghadapi sisa-sisa loyalis Assad, tetapi juga fraksi-fraksi dari bekas Tentara Arab Suriah (SAA) yang kini menamakan diri sebagai Dewan Militer Pembebasan Suriah. Mereka menyatakan niat untuk “membebaskan seluruh wilayah Suriah dari kekuatan pendudukan dan teroris.” Ironisnya, HTS yang dulu dikenal sebagai kelompok jihadis garis keras kini justru disebut sebagai kekuatan pendudukan oleh para mantan tentara Assad. Dunia memang penuh paradoks.
Laporan lain menunjukkan bahwa perlawanan terhadap HTS tidak hanya berasal dari kelompok bersenjata, tetapi juga dari warga sipil. Di Tartous, ratusan orang turun ke jalan untuk menentang pemerintahan al-Sharaa. Namun, alih-alih mendengarkan tuntutan rakyat, pasukan keamanan justru menembaki demonstran. Cara ini sangat familiar, bukan? Ketika Assad masih berkuasa, skenario serupa juga terjadi. Jadi, apakah revolusi Suriah benar-benar menghasilkan perubahan, atau hanya mengubah siapa yang memegang senjata?
Ketidakmampuan Ahmad al-Sharaa dalam mengonsolidasi kekuatan internal menjadi isu utama. Sejak mengambil alih kekuasaan, fokusnya lebih banyak tertuju pada diplomasi internasional. Ia berusaha keras agar pemerintahannya diakui oleh negara-negara Barat dan melepaskan diri dari stigma terorisme yang selama ini melekat pada HTS. Namun, dalam usahanya untuk terlihat sah di mata dunia, ia melupakan satu hal: Suriah adalah negara yang porak-poranda, dihuni oleh berbagai kelompok dengan kepentingan masing-masing. Menyelesaikan perpecahan internal jauh lebih penting daripada sekadar mendapatkan pengakuan dari luar.
Kesalahan besar al-Sharaa adalah mengasumsikan bahwa dengan jatuhnya Assad, semua kelompok akan dengan sendirinya bersatu di bawah HTS. Kenyataannya, banyak fraksi yang tidak pernah benar-benar menerima HTS sebagai pemimpin yang sah. Bahkan di antara para pejuang revolusi sendiri, ada yang menganggap HTS tidak lebih dari kelompok ekstremis yang menyusup ke dalam gerakan rakyat dan kemudian membajak perjuangan mereka.
Laporan-laporan terbaru juga menunjukkan bahwa HTS gagal membangun sistem pemerintahan yang inklusif. Sejumlah posisi strategis dalam pemerintahan transisi justru ditempati oleh individu-individu yang memiliki keterkaitan dengan Al-Qaeda. Bahkan, ada laporan bahwa para pejuang asing yang dulu masuk ke Suriah selama perang yang didukung oleh Barat kini mendapatkan posisi penting dalam struktur militer baru. Bagaimana rakyat Suriah bisa percaya pada pemerintah yang diisi oleh orang-orang yang sama sekali tidak memiliki akar di negeri itu?
Sementara itu, perlawanan terhadap HTS semakin meningkat. Kota Jableh, misalnya, telah sepenuhnya dikuasai oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan SAA. Bentrokan juga berkecamuk di Latakia dan Tartous, dengan kelompok-kelompok bersenjata yang berhasil menguasai beberapa pangkalan militer, termasuk Pangkalan Udara Astamu dan Akademi Angkatan Laut di Tartous. Keberhasilan mereka merebut wilayah ini menunjukkan bahwa HTS tidak memiliki kontrol penuh atas negara yang mereka klaim sebagai pemerintahan transisi yang sah.
Bahkan, laporan dari Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) menyebutkan bahwa kekuatan Rusia yang masih berada di pangkalan udara Hmeimim menerima penyerahan diri dari puluhan personel keamanan HTS. Ini adalah indikasi bahwa bahkan di dalam tubuh pasukan keamanan HTS sendiri, ada perpecahan yang cukup serius. Jika mereka benar-benar yakin dengan kepemimpinan al-Sharaa, mengapa mereka lebih memilih menyerah kepada Rusia daripada tetap bertempur?
Lebih parah lagi, konflik ini semakin menyeret dimensi sektarian. Laporan yang menyebutkan pembunuhan terhadap 52 warga sipil Alawi di pedesaan Latakia oleh pasukan keamanan HTS hanya memperparah polarisasi di Suriah. Kelompok Alawi, yang selama ini diidentikkan dengan rezim Assad, kini menjadi sasaran pembalasan dendam. Ini bukan lagi soal revolusi atau demokrasi, tetapi lebih kepada siklus kebencian yang terus berulang tanpa akhir.
Di tengah semua ini, Ahmad al-Sharaa tetap sibuk dengan kampanye diplomasi luar negerinya. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa HTS bukan lagi kelompok teroris, tetapi pemerintahan yang sah. Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin dunia akan mengakui pemerintahan yang bahkan tidak mampu mengontrol wilayahnya sendiri? Bagaimana mungkin rezim yang masih mengandalkan eksekusi lapangan dan penangkapan sewenang-wenang bisa disebut sebagai pemerintahan yang sah?
Seharusnya, jika HTS benar-benar ingin membangun Suriah yang baru, mereka harus mulai dari dalam. Mereka harus membangun sistem yang inklusif, mengakomodasi berbagai kelompok, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan untuk semua rakyat Suriah, bukan hanya untuk mereka yang setia kepada HTS. Namun, sejauh ini, yang kita lihat hanyalah pengulangan sejarah. Rezim berganti, tetapi pola kekerasan tetap sama. Dan selama hal ini terus berlangsung, Suriah tidak akan pernah benar-benar bebas dari perang dan penderitaan.
Jadi, apakah ini semua adalah kegagalan Ahmad al-Sharaa? Jawabannya tidak sesederhana itu. Ini bukan hanya soal individu, tetapi soal sistem yang tidak pernah benar-benar berubah. Suriah terus menjadi panggung bagi kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk menguasainya, sementara rakyatnya hanya menjadi korban. Dan sampai ada perubahan fundamental dalam cara negara ini dikelola, konflik ini akan terus berlanjut, dengan atau tanpa Ahmad al-Sharaa.