Opini
Houthi Tak Terkalahkan: Kisah Perlawanan di Yaman

Ketika Presiden Trump menyetujui serangan udara untuk memaksa Houthi di Yaman menyerah, dunia menahan napas. Dia menginginkan hasil dalam 30 hari, sebuah janji yang terdengar heroik namun rapuh. Dua bulan lalu, langit Yaman diriuhi ledakan, tapi hasilnya? Nol besar. Houthi, kelompok militan yang seolah tak pernah lelah, tetap berdiri tegak, menembak jatuh drone Amerika, bahkan meluncurkan rudal ke kapal perang AS. Kegagalan ini, seperti ditulis The New York Times pada 12 Mei 2025, bukan sekadar soal militer. Ia menyentuh sisi batin kita: mengapa sebuah kekuatan super seperti AS tersandung melawan musuh yang, di atas kertas, jauh lebih lemah? Kegelisahan ini mendorong kita untuk menyelami ketangguhan Houthi—mengapa mereka begitu sulit ditaklukkan.
Bayangkan Yaman, negeri yang sudah terkoyak perang bertahun-tahun. Pegunungan tandus, desa-desa yang hancur, dan rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang drone. Di sini, Houthi bukan sekadar kelompok bersenjata; mereka adalah simbol perlawanan bagi banyak orang. Laporan The New York Times mencatat bahwa setelah 30 hari serangan intens AS, yang menghabiskan $1 miliar, Houthi masih mampu menembak jatuh tujuh drone MQ-9 Reaper, masing-masing bernilai $30 juta. Mereka juga nyaris mengenai jet F-16 dan F-35 AS. Ini bukan keberuntungan. Houthi telah belajar dari tahun-tahun bombardir Saudi dan UEA, memperkuat bunker, memindahkan gudang senjata ke bawah tanah. Ketangguhan mereka lahir dari pengalaman, dari luka perang yang tak pernah sembuh.
Ada sesuatu yang hampir tragis dalam perjuangan Houthi. Mereka bukan pasukan modern dengan teknologi canggih, tapi mereka punya semangat yang sulit dipatahkan. Seperti petani yang tetap menanam di tengah badai, mereka beradaptasi. The New York Times menyebutkan bahwa Houthi memanfaatkan medan pegunungan Yaman yang sulit ditembus, menyembunyikan sistem pertahanan udara dan peluncur rudal. Ketika AS melancarkan lebih dari 1.100 serangan, menghancurkan fasilitas komando dan senjata, Houthi tetap bergerak, seperti air yang mengalir di sela-sela batu. Dukungan Iran, meski tak selalu terlihat, juga krusial—rudal balistik dan drone yang mereka gunakan menunjukkan aliran teknologi yang tak terputus. Tapi, benarkah ini hanya soal senjata? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dihancurkan dengan bom?
Saya teringat kisah-kisah perlawanan di tempat lain—di Vietnam, di Afghanistan. Kekuatan asing datang dengan mesin perang raksasa, tapi sering kali pulang dengan tangan hampa. Houthi, seperti pejuang-pejuang itu, punya motivasi ideologis yang kuat. Laporan menyebutkan serangan mereka ke kapal di Laut Merah dimulai November 2023, sebagai solidaritas dengan Palestina atas invasi Israel ke Gaza. Bagi Houthi, ini bukan sekadar perang lokal; ini adalah perjuangan melawan hegemoni global, melawan AS dan Israel. Ideologi ini, bercampur dengan identitas Zaidi Syiah mereka, memberi mereka alasan untuk bertahan, bahkan ketika dunia mengira mereka akan runtuh. Bukankah keyakinan semacam ini yang membuat manusia mampu melawan segala rintangan?
Data dari laporan memperlihatkan betapa mahalnya harga kegagalan AS. Dua jet F/A-18 Super Hornet, masing-masing $67 juta, jatuh ke laut dari kapal induk Harry S. Truman. Amunisi presisi habis dengan cepat, memicu kekhawatiran Pentagon soal cadangan untuk konflik lain, seperti di Taiwan. Sementara itu, Houthi terus menyerang, bahkan meluncurkan rudal balistik ke Israel pada Mei 2025, memicu sirene di Tel Aviv. Ini bukan sekadar perlawanan; ini adalah pernyataan. Houthi ingin dunia tahu mereka tak bisa diintimidasi, tak peduli seberapa besar musuhnya. Dan AS, dengan semua kekuatannya, tampak kehabisan napas.
Ada ironi di sini. Trump, yang menurut laporan awalnya bersumpah akan “memusnahkan” Houthi, akhirnya memuji mereka. “Mereka punya kemampuan hebat untuk menahan hukuman,” katanya, hampir dengan kagum. Pernyataan ini, disampaikan saat mengumumkan gencatan senjata pada Mei 2025, terasa seperti pengakuan diam-diam atas ketangguhan Houthi. Kesepakatan yang dimediasi Oman, di mana Houthi berjanji tak menyerang kapal AS, tapi bebas mengganggu pelayaran terkait Israel, adalah kemenangan taktis bagi mereka. Media sosial Yaman langsung riuh dengan hashtag “Yemen defeats America”. Di tengah kemiskinan dan kehancuran, Houthi berhasil membangun narasi kemenangan. Bukankah ini yang membuat mereka begitu sulit dikalahkan—kemampuan untuk menang di medan persepsi?
Konteks lokal Yaman juga tak bisa diabaikan. Perang saudara sejak 2014 telah membuat Houthi menguasai ibu kota Sanaa dan pelabuhan kunci. Mereka bukan lagi pemberontak kecil; mereka adalah kekuatan yang mengendalikan wilayah dan sumber daya. Dukungan rakyat, meski tak sepenuhnya bulat, memberi mereka legitimasi. Bagi banyak warga Yaman, Houthi adalah perlawanan terhadap intervensi asing, meski tindakan mereka sering kali kejam. Laporan The New York Times menyebutkan bahwa serangan AS membunuh ratusan pejuang Houthi dan menghancurkan banyak fasilitas, tapi kelompok ini tetap beroperasi. Mereka seperti rumput liar—ditebas, tapi selalu tumbuh kembali. Ini bukan hanya soal militer, tapi juga soal akar sosial dan politik yang dalam. Di Yaman, di mana kelaparan dan penyakit merajalela, Houthi menawarkan narasi keberanian, sesuatu yang resonan di hati banyak orang.
Kita mungkin bertanya: apa yang membuat Houthi begitu ulet? Apakah ini semata dukungan Iran, atau ada sesuatu yang lebih manusiawi? Saya bayangkan seorang pejuang Houthi di gua pegunungan, mendengar dengung drone di atas kepalanya, tapi tetap memilih bertahan. Mungkin dia memikirkan keluarganya, atau Gaza, atau sekadar harga diri. Laporan mencatat bahwa Houthi mampu memindahkan stok senjata ke bawah tanah, menghindari serangan presisi AS. Ini menunjukkan kecerdasan taktis, tapi juga semangat yang tak kenal menyerah. Bukankah ini cerminan dari sifat manusia yang paling keras kepala—menolak kalah, meski peluangnya kecil?
Kegagalan AS juga dipengaruhi oleh dinamika internal. The New York Times menggambarkan ketegangan di tim keamanan nasional Trump. Jenderal Michael Kurilla, kepala Komando Sentral, mendorong kampanye panjang, tapi Trump, yang alergi pada konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, hanya memberi waktu 30 hari. Ketika hasil tak kunjung tiba, dan dua kapal induk plus B-2 bomber gagal menundukkan Houthi, Trump memilih jalan keluar. Kesepakatan dengan Houthi, yang memungkinkan mereka terus menyerang target terkait Israel, adalah solusi pragmatis, tapi juga pengakuan bahwa AS tak bisa menang cepat. Ini kontras dengan semangat Houthi, yang tak pernah goyah meski dihantam bertahun-tahun.
Ada pelajaran dari ketangguhan Houthi yang patut direnungkan. Kekuatan militer, tak peduli seberapa canggih, tak selalu cukup untuk mematahkan kemauan manusia. AS menghabiskan miliaran dolar, kehilangan jet dan drone, tapi Houthi tetap berdiri. Mereka memanfaatkan medan, ideologi, dan dukungan eksternal, tapi yang terpenting, mereka punya alasan untuk bertarung. Laporan menyebutkan bahwa serangan ke Israel, seperti rudal yang mendarat dekat Bandara Ben-Gurion, adalah cara Houthi menunjukkan mereka masih relevan. Ini bukan sekadar perang; ini adalah pernyataan eksistensi.
Saya teringat ungkapan lama: “Kamu bisa menghancurkan tubuh seseorang, tapi tidak jiwanya.” Houthi, dengan segala kekurangan dan kontroversi mereka, tampaknya hidup dengan prinsip ini. Mereka bukan pahlawan tanpa cela—serangan mereka ke kapal sipil dan warga Yaman sendiri menuai kritik. Tapi di mata pendukungnya, mereka adalah David melawan Goliath. Ketika Trump mengumumkan gencatan senjata, dan Houthi merayakan “kemenangan” di media sosial, dunia melihat bahwa kekuatan tak selalu diukur dari senjata. Kadang, itu soal siapa yang paling keras kepala.
Di akhir laporan, ada nada getir. AS, dengan semua kehebatannya, harus menerima kenyataan bahwa Houthi bukan musuh yang bisa dihancurkan dalam sebulan. Kesepakatan Oman, yang menurut The New York Times memungkinkan Houthi terus mengganggu pelayaran terkait Israel, adalah kompromi yang pahit. Bagi Yaman, perang ini mungkin hanya satu babak dalam kisah panjang penderitaan. Tapi bagi Houthi, ini adalah bukti bahwa mereka bisa bertahan. Kita, sebagai pengamat, ditinggalkan dengan pertanyaan: apakah ketangguhan ini adalah kemenangan, atau hanya penundaan kekalahan yang tak terelakkan? Mungkin jawabannya ada di pegunungan Yaman, di mana Houthi masih berdiri, menatap langit, menunggu drone berikutnya.
Kita sering lupa bahwa perang bukan hanya soal angka—jet yang jatuh, rudal yang ditembakkan, atau dolar yang terbakar. Ini soal manusia, soal cerita. Houthi, dengan segala kekacauan dan keyakinan mereka, mengajarkan kita bahwa kadang yang paling sulit ditaklukkan adalah semangat. Laporan The New York Times bukan sekadar kronik kegagalan AS, tapi juga cermin ketangguhan sebuah kelompok yang, melawan segala logika, menolak untuk menyerah. Dan di situlah letak kemenangan mereka—bukan di medan perang, tapi di hati mereka sendiri.