Opini
Hotel Kyoto Tuntut Sumpah Anti-Kejahatan Perang, Israel Murka

Di sebuah sudut Kyoto yang tenang, Guesthouse Wind Villa berdiri dengan megah, menawarkan pesona tradisional Jepang kepada para pelancong yang haus akan kedamaian. Namun, di balik pintu kayu yang elegan itu, sebuah drama internasional baru saja terungkap, menyulut kemarahan yang jauh lebih panas daripada sake yang disajikan di ryokan terdekat. Seorang tamu Israel diminta menandatangani “Pledge of Non-Involvement in War Crimes,” sebuah formulir yang menanyakan apakah ia pernah terlibat dalam kejahatan perang—sebuah pertanyaan yang langsung membuat Kedutaan Israel di Tokyo mengirimkan surat protes yang penuh nada murka, menuduh hotel kecil ini melanggar nilai-nilai kesetaraan yang konon dijunjung bersama.
Kedutaan Israel, melalui surat yang ditandatangani Duta Besar Gilad Cohen, menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Bisnis Hotel Jepang, sebuah aturan yang melarang diskriminasi berdasarkan kebangsaan. Mereka juga mengungkit insiden serupa setahun lalu, di mana seorang warga Israel ditolak akomodasi di hotel lain di Kyoto, seolah-olah Kyoto kini menjadi markas global untuk apa yang mereka sebut sebagai “diskriminasi anti-Israel.” Tapi mari kita perlambat langkah sejenak dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini, karena di balik kemarahan diplomatik ini, ada sebuah ironi yang begitu tajam sehingga bisa memotong sushi dengan presisi sempurna.
⚡️🇯🇵🇮🇱JUST IN:
A hotel named Guesthouse Wind Villa in Tokyo asked guests to sign a pledge of non-involvement in war crimes.
In response, the Israeli embassy in Japan sent an angry letter after an Israeli guest was asked to fill out the form. pic.twitter.com/LypdgYE52X
— Suppressed News. (@SuppressedNws) April 26, 2025
Formulir yang dimaksud tidak menolak tamu Israel secara langsung—oh, bukan, itu terlalu sederhana untuk sebuah drama sekaliber ini. Sebaliknya, dokumen itu meminta tamu untuk bersumpah bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam kejahatan perang, seperti menyerang warga sipil, menyiksa tahanan, atau melakukan pelanggaran lain yang tercantum dalam Pasal 8 Statuta Roma ICC. Dengan kata lain, Wind Villa tidak peduli apakah Anda dari Israel, Amerika, atau bahkan Mars—jika Anda seorang penjahat perang, mereka tidak ingin Anda tidur di futon mereka. Tapi, tentu saja, Kedutaan Israel melihat ini sebagai serangan pribadi, seolah-olah hotel kecil di Kyoto ini telah menyatakan perang terhadap seluruh bangsa mereka, dan bukan hanya terhadap mereka yang mungkin telah menumpahkan darah di Gaza.
Ironi pertama muncul ketika kita menyadari bahwa tuduhan “diskriminasi” ini datang dari pihak yang sama yang telah lama dikritik karena tindakan mereka di Palestina. Laporan dari Human Rights Watch menyebutkan bahwa sejak 2005, lebih dari 10.000 warga sipil Palestina telah tewas akibat operasi militer Israel, termasuk 1.200 anak-anak dalam lima tahun terakhir saja. Sementara itu, di Tepi Barat, pemukiman ilegal Israel terus berkembang, dengan lebih dari 700.000 pemukim kini tinggal di tanah yang dianggap sebagai bagian dari negara Palestina masa depan oleh komunitas internasional. Namun, ketika sebuah hotel kecil di Jepang berani mempertanyakan keterlibatan individu dalam kejahatan perang, tiba-tiba merekalah yang dituduh diskriminatif—sebuah logika yang begitu bengkok sehingga bisa digunakan untuk membuat origami tanpa kertas.
Lebih ironis lagi, tuduhan “antisemitisme” yang sering dilontarkan Israel dalam situasi seperti ini mulai terasa seperti kartu truf yang kehilangan kilau. Jika sebuah hotel meminta tamu untuk tidak terlibat dalam kejahatan perang, apakah itu berarti mereka membenci seluruh identitas Yahudi? Tentu tidak—kecuali, tentu saja, Anda berpikir bahwa setiap kritik terhadap tindakan Israel adalah serangan terhadap seluruh bangsa, sebuah pemikiran yang begitu rapuh sehingga bisa hancur hanya dengan hembusan angin dari pegunungan Kyoto. Faktanya, Wind Villa memberikan kesempatan kepada tamu Israel untuk menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam kejahatan perang, sebuah langkah yang jauh lebih manusiawi dibandingkan tindakan di tempat lain, seperti hotel di Italia yang langsung menolak tamu Israel tanpa basa-basi, atau usaha kecil di Thailand yang memasang tanda “No Israelis Allowed” di depan pintu mereka.
Sementara itu, di belahan dunia lain, yayasan seperti Hind Rajab—dinamai sesuai seorang anak Palestina berusia 6 tahun yang tewas bersama keluarganya dalam serangan Israel di Gaza pada 2024—telah mengambil pendekatan yang lebih agresif. Mereka memburu tentara Israel yang berwisata di seluruh dunia, memperingatkan komunitas lokal untuk mengusir mereka. Beberapa kasus telah terjadi, seperti di Brasil, di mana seorang mantan tentara IDF dilaporkan diusir dari sebuah resor setelah identitasnya terungkap. Bandingkan dengan Wind Villa, yang hanya meminta tamu untuk menandatangani formulir, dan tiba-tiba tindakan mereka terasa seperti undangan teh yang sopan, bukan deklarasi perang yang dituduhkan oleh Kedutaan Israel.
Namun, mari kita ke inti dari ironi ini: jika Israel begitu tersinggung oleh formulir sederhana ini, mengapa mereka tidak sama-sama tersinggung oleh laporan PBB yang mencatat bahwa 70% dari korban di Gaza sejak 2014 adalah warga sipil, termasuk ribuan anak-anak? Mengapa mereka tidak marah atas fakta bahwa lebih dari 2 juta orang di Gaza hidup dalam blokade yang telah berlangsung selama 17 tahun, dengan akses terbatas ke air bersih, listrik, dan obat-obatan? Sebaliknya, mereka memilih untuk menyerang sebuah hotel kecil di Kyoto, seolah-olah itu adalah ancaman terbesar bagi eksistensi mereka— sebuah prioritas yang begitu absurd sehingga hampir terasa seperti lelucon dalam komedi politik.
Tindakan Wind Villa seharusnya menjadi cermin bagi Israel untuk melihat apa yang telah mereka lakukan di Gaza, bukan alasan untuk menyerang balik dengan tuduhan diskriminasi. Jika lebih banyak bisnis kecil di seluruh dunia mengambil langkah serupa—seperti yang dilakukan di Italia, Thailand, atau melalui aksi yayasan Hind Rajab—mungkin Israel akan menyadari bahwa dunia tidak lagi diam. Tapi, tentu saja, harapan itu terasa seperti mimpi di siang bolong, karena bagi Israel, setiap kritik adalah “antisemitisme,” setiap formulir adalah “diskriminasi,” dan setiap tamu yang kesal adalah “korban.” Sementara itu, di Gaza, anak-anak terus menjadi korban sebenarnya, dan sebuah hotel kecil di Kyoto telah melakukan lebih banyak untuk kemanusiaan daripada semua kemarahan diplomatik yang bisa ditulis di atas kertas.