Opini
Hizbullah Menari, Israel Meratap di Perbatasan

Sebuah pemandangan yang mungkin membuat Benjamin Netanyahu susah tidur: ribuan warga Lebanon di selatan menyeberangi desa-desa mereka dengan langkah penuh percaya diri, sementara tank-tank Israel berkarat menjadi monumen kekalahan di gerbang-gerbang desa. Ini bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi sebuah parade kemenangan di bawah bayang-bayang bendera Hizbullah yang tak pernah runtuh.
Bayangkan saja, rakyat biasa yang selama ini dianggap lemah oleh propaganda Israel tiba-tiba menjadi simbol perlawanan yang tak tergoyahkan. Dengan langkah-langkah kecil mereka, mereka menorehkan sejarah besar. Sementara itu, tentara Israel yang disebut-sebut sebagai salah satu militer terkuat di dunia, hanya bisa menyaksikan dalam diam, tak mampu menghadang arus manusia yang melangkah dengan kepala tegak.
Di sisi lain, media Israel tampak sibuk meredam kebingungan kolektif bangsanya. Salah satu stasiun televisi mereka bahkan menggambarkan situasi ini sebagai “konfrontasi jarak nol,” seolah-olah yang terjadi adalah film fiksi ilmiah. Realitas yang lebih menyakitkan adalah ini hanyalah cerminan dari kegagalan mereka untuk mempertahankan kontrol di perbatasan.
Seorang perwira Israel bahkan mengeluh bahwa ini adalah “Situasi yang tak dapat diterima.” Betapa ironisnya, mengingat selama ini Israel yang terkenal tak peduli terhadap norma internasional kini merasa terusik oleh pelanggaran terhadap norma mereka sendiri. Rakyat Lebanon telah mengajarkan pelajaran sederhana: melangkah dengan keberanian bisa jauh lebih ampuh daripada tank atau drone.
Mungkin yang paling memalukan bagi Israel adalah fakta bahwa pemukim mereka sendiri enggan kembali ke wilayah perbatasan. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Bagaimana seseorang merasa aman jika bahkan tank-tank yang seharusnya menjadi simbol perlindungan berubah menjadi tumpukan besi tua yang menjadi bahan tertawaan? Kemenangan moral Lebanon di sini jauh melampaui apa pun yang bisa diukur dengan statistik perang.
Hizbullah, tentu saja, memanfaatkan momentum ini dengan sangat cerdas. Mereka tidak hanya merayakan kemenangan militer, tetapi juga kemenangan narasi. Dengan setiap kata dalam pernyataannya, mereka membangun kembali semangat perlawanan rakyat Lebanon, mengingatkan bahwa perjuangan ini bukan hanya milik pejuang bersenjata, tetapi milik semua orang yang merasa tanah mereka diinjak-injak.
“Tubuh para syuhada di tanah ini merasakan langkah kalian,” bunyi salah satu bagian pernyataan itu, membawa aura mistis yang menambah kedalaman emosional pada kemenangan ini. Ini bukan sekadar strategi propaganda; ini adalah deklarasi bahwa darah yang telah tumpah tidak akan pernah sia-sia. Sebuah pukulan telak bagi Israel yang selama ini mengandalkan ketakutan sebagai senjata utama.
Namun, respons dari pihak Israel sungguh menggelikan. Daripada mengakui kekalahan, mereka justru sibuk mencari cara untuk menyalahkan siapa saja kecuali diri mereka sendiri. Dalam pidatonya, Netanyahu dengan percaya diri yang hampir menggelikan menyatakan bahwa pasukannya tidak akan menarik diri sepenuhnya. Sebuah pernyataan yang terdengar seperti anak kecil yang berusaha menyelamatkan muka setelah kalah main bola.
Keputusan Israel untuk melanggar tenggat waktu 60 hari hanya menegaskan satu hal: mereka tidak belajar apa pun dari sejarah. Setiap pelanggaran hanya akan semakin memperkuat legitimasi perlawanan Hizbullah di mata rakyat Lebanon dan dunia internasional. Sementara itu, dunia menyaksikan dengan saksama bagaimana negara yang mengklaim dirinya sebagai “Benteng Demokrasi Timur Tengah” justru menjadi lambang arogansi yang tidak tahu malu.
Di tengah semua ini, satu hal yang jelas: perlawanan Lebanon adalah simbol kekuatan moral yang tidak dapat dihancurkan oleh senjata atau teknologi canggih sekalipun. Dengan setiap langkah kecil yang mereka ambil untuk kembali ke desa mereka, rakyat Lebanon telah membuktikan bahwa kemenangan tidak selalu ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuatan militer lebih besar.
Hizbullah mungkin tidak memiliki jet tempur siluman atau sistem pertahanan rudal tercanggih, tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih kuat: keberanian, tekad, dan dukungan rakyatnya. Dan itu, pada akhirnya, adalah senjata paling mematikan yang membuat Israel tidak hanya kalah di medan perang, tetapi juga dalam hati dan pikiran dunia.