Connect with us

Opini

Hasbaristas: Propaganda Gaya Hidup ala Israel

Published

on

Seorang influencer wanita mengaduk hummus (makanan khas Timur Tengah) dalam mangkuk keramik, wajahnya cerah di layar ponsel. Sambil tersenyum, ia bercerita tentang “ketakutan hidup di bawah ancaman roket” di Tel Aviv—tanpa sepatah kata pun tentang Gaza yang terkepung, rumah-rumah yang rata, atau ribuan nyawa yang melayang. Ini bukan vlog kuliner biasa—ini karya seorang “hasbarista,” senjata baru Israel dalam perang narasi digital. Dengan dana ratusan juta dolar, mereka menyusup ke Instagram dan TikTok, menargetkan hati perempuan muda, termasuk di Indonesia, tempat solidaritas pro-Palestina menggema. Siapa mereka? Bagaimana cara kerja mereka? Dan, hei, bagaimana kita bisa tetap jeli agar tak terjebak dalam permainan narasi mereka?

Hasbaristas adalah wajah baru dari Hasbara—strategi komunikasi Israel untuk memoles citra buruk akibat pendudukan Palestina. Bukan lagi infografis kaku dari IDF atau pernyataan diplomatik yang kering, melainkan influencer wanita yang menyamarkan propaganda dalam balutan konten gaya hidup: resep masakan, tips kecantikan, kisah menjadi ibu. Menurut Haaretz, mereka hadir untuk melawan dominasi narasi pro-Palestina yang menguasai 93,7% dari 117 miliar postingan di Instagram dan TikTok (Humanz, 2023). Dengan anggaran Hasbara mencapai 150 juta USD, Israel merekrut influencer untuk menjangkau audiens apolitis. Tapi mari bertanya: bisakah semangkuk hummus menghapus laporan PBB tentang 45.000 kematian di Gaza? (UN Report, 2024).

Strategi hasbaristas halus namun terstruktur. Mereka memposting video tentang pagi cerah di Yerusalem, lalu menyisipkan narasi “ancaman teroris”—seraya mengabaikan reruntuhan sekolah di Gaza. Kementerian Luar Negeri Israel, sebagaimana dilaporkan Haaretz, menggelar pelatihan bagi para influencer untuk menciptakan konten “humanis” yang menggugah perempuan—yang dianggap lebih responsif secara emosional. Sementara itu, kecerdasan buatan memindai dan memantau unggahan anti-Israel, didukung iklan terarah yang menyebarkan konten hasbaristas secara masif (The New Arab). Pernah lihat video yoga dengan caption “keberagaman Israel”? Itu bukan kebetulan. Pertanyaannya: mengapa mereka tak pernah menyebut penggusuran di Sheikh Jarrah yang terdokumentasi Amnesty International?

Ciri khas hasbaristas bisa dikenali. Konten mereka memadukan gaya hidup—shakshuka, skincare, parenting—dengan pesan pro-Israel seperti “ketahanan” dan “kebahagiaan” di tengah konflik, tanpa menyebutkan akar persoalan pendudukan. Bahasanya halus, mengganti istilah “Zionisme” dengan “perdamaian.” Komentar pro-Israel tersusun rapi, mengerek algoritma agar jangkauan makin luas (Haaretz). Mereka tidak transparan soal dukungan pemerintah, seolah kontennya tumbuh secara alami. Pernah lihat TikTok tarian di Tel Aviv dengan narasi “ancaman dari Gaza”? Itu hasbarista. Tanyakan: kenapa tak ada satu pun sebutan tentang laporan Human Rights Watch soal apartheid?

Sejauh mana pengaruh mereka? Di AS dan Eropa, mereka berhasil menarik simpati perempuan muda yang tak akrab dengan konteks konflik. Video bertema “kehidupan Israel” meraup ribuan like, didorong iklan bernilai jutaan dolar (The New Arab). Tapi di Indonesia? Mereka menemui tembok solidaritas pro-Palestina yang kokoh. Kampanye BDS yang didukung MUI terus meluas, disertai boikot terhadap produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Netizen merespons dengan emoji semangka dan meme sindiran (FNN.co.id). Postingan X yang menyebut keberadaan buzzer hasbaristas memang belum terbukti, tapi narasi warga Gaza seperti siaran langsung Motaz Azaiza jauh lebih menyentuh. Di sini, komentar terhadap hasbarista justru penuh kecaman, bukan simpati.

Indonesia adalah ladang berat bagi mereka. Dengan 200 juta pengguna media sosial, daya tahan solidaritas pada Palestina begitu kuat. Laporan Sada Social mencatat 4.800 tindakan moderasi terhadap konten Palestina dalam sebulan—mengindikasikan adanya sensor algoritmik yang diduga terkait Israel. Justru, sensor ini memantik simpati global. Netizen Indonesia tanggap: akun yang mempromosikan “wisata Israel” dalam bahasa Indonesia langsung diserbu meme dan tagar #GazaUnderAttack (FNN.co.id). Ini bukan kebetulan—ini bukti literasi media yang hidup. Tapi jujur, pernahkah Anda terpikat me-like video yang tampak “netral”? Itulah jebakan hasbaristas. Kita harus lebih waspada.

Tandingan hasbaristas di Indonesia datang dari influencer lokal yang bersuara lantang untuk Palestina. Kreator seperti @iniami memakai simbol visual—semangka, keffiyeh—untuk mengakali algoritma dan menguatkan pesan kemanusiaan. Video TikTok mereka, sering duet dengan warga Gaza, viral dan terasa lebih autentik dibanding konten hasbaristas yang tampak artifisial. Kampanye #BDSIndonesia yang didukung netizen menggoyang merek-merek pro-Israel, sebagaimana dilaporkan Tempo. Tapi tetap ada pertanyaan: mampukah jangkauan influencer lokal menandingi kekuatan dana Hasbara? Jawabannya: keaslian adalah kekuatan utama.

Bagaimana kita melawan jebakan ini? Pertama, telusuri latar belakang influencer—apakah mereka terhubung dengan program pemerintah Israel? Kedua, kenali pola konten lifestyle yang diselingi narasi ancaman tanpa menyebut pendudukan. Ketiga, bandingkan narasi mereka dengan sumber independen seperti PBB, Amnesty, atau jurnalis Gaza. Keempat, ikuti akun edukatif seperti @sadasocial untuk memahami dinamika sensor. Kelima, manfaatkan platform alternatif seperti Telegram—bebas dari bias algoritma (Sada Social). Jika Anda menemukan postingan tentang “budaya Israel” yang lucu dan menghibur, tanyakan: kenapa tak ada sebutan soal 45.000 korban jiwa di Gaza?

Literasi media adalah senjata kita. Indonesia telah membuktikan ketangguhannya: netizen menolak narasi pro-Israel lewat komentar pedas, meme viral, dan gerakan kolektif. Tapi hasbaristas licin, menyaru sebagai teman di linimasa Anda. Contohnya: influencer yang memuji “inovasi Israel” tanpa menyebut penggusuran di Silwan. Pakar media Universitas Ahmad Dahlan menyarankan kita selalu memverifikasi informasi lewat sumber independen. Jangan biarkan narasi personal menutupi kenyataan pahit. Setuju, kan? Dengan ketajaman berpikir, kita bisa memilah propaganda dari fakta—dan terus menguatkan suara Palestina.

Israel tak berhenti di hasbaristas. Dengan anggaran 545 juta NIS untuk diplomasi publik, mereka mengerahkan buzzer, AI, dan penyensoran konten (Haaretz). Tuduhan bahwa Unit 8200 ikut memoderasi konten Meta, meski belum terbukti, menunjukkan krisis kepercayaan yang serius. Tapi kebenaran selalu menemukan jalannya: video dari Gaza tetap muncul di TikTok, penuh luka dan kejujuran yang tak bisa direkayasa. Israel bisa mencoba berbagai cara, tapi dunia telah menyaksikan segalanya.

Hasbaristas membuktikan bahwa Israel tak pernah lengah dalam perang narasi. Lewat konten gaya hidup, mereka menyasar hati, berharap kita lupa pada reruntuhan Gaza. Tapi di Indonesia, mereka tergelincir oleh solidaritas yang teguh. Netizen kita, bersenjata meme, tagar, dan empati, adalah garda terdepan perlawanan digital. Tapi ini belum usai. Terus kritis, dukung jurnalis Gaza, dan pastikan kebenaran tetap bersuara. Karena bersama, kita bisa melawan senjata baru Israel ini.

Sumber Data:

  1. Humanz (2023): 93,7% postingan pro-Palestina.
  2. The New Arab (2025): Anggaran Hasbara 150 juta USD.
  3. Haaretz (2024–2025): Strategi hasbaristas.
  4. Sada Social (2024): 4.800 tindakan moderasi.
  5. FNN.co.id, Tempo (2024): Solidaritas pro-Palestina di Indonesia.
  6. PBB, Amnesty International, Human Rights Watch: Kematian dan pelanggaran di Gaza.
  7. Universitas Ahmad Dahlan: Literasi media.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *