Connect with us

Opini

Harvard Berkabut: Ketika Ilmu Dibatasi Politik

Published

on

Di halaman hijau Harvard yang rimbun, tenda-tenda dan kursi-kursi tersusun rapi, siap menyambut perayaan kelulusan akhir tahun. Namun di balik suasana yang semestinya penuh sukacita dan harapan, kegelisahan justru membayangi para mahasiswa internasional. Laporan The Guardian (23 Mei 2025) menyebut adanya “kepanikan massal” setelah pengumuman mengejutkan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS yang berupaya melarang keberadaan mahasiswa asing di universitas tertua di Amerika ini.

Bayangkan, dunia yang kau bangun dengan susah payah—impian kuliah di Harvard, mungkin satu-satunya tiket menuju masa depan lebih cerah—tiba-tiba terancam runtuh. Genia Lukin, kandidat doktoral dari Israel, tengah berada di ruang laboratorium saat kabar itu datang. Ia terguncang. “Oh wow, apa ini?” katanya, suaranya menggambarkan kebingungan yang juga dirasakan ribuan mahasiswa lainnya.

Kepanikan ini bukan semata-mata krisis personal. Ini adalah gelombang ketidakpastian yang menyapu 6.700 mahasiswa internasional—27% dari total mahasiswa Harvard—termasuk 1.203 dari Tiongkok dan 788 dari India, berdasarkan data universitas tahun 2024. Penerbangan pulang untuk libur musim panas dibatalkan. Rencana mencari tempat tinggal di AS mendadak harus dipercepat. Sebagian bahkan mempertimbangkan pindah universitas—meskipun jendela transfer hampir tertutup.

Seorang mahasiswi Ukraina berusia 24 tahun, yang biasanya pulang ke negaranya yang dilanda perang, kini ragu untuk berangkat. “Kalau aku pergi, aku nggak yakin bisa balik,” katanya, nada suaranya penuh ketegangan, sebagaimana dikutip oleh The Guardian. Ia beruntung masih memiliki tempat tinggal untuk musim panas ini. Tapi teman-temannya? Banyak yang tidak seberuntung itu.

Pengumuman pada hari Kamis itu langsung memicu respons cepat dari Harvard. Pihak universitas menggugat kebijakan tersebut, menyebutnya sebagai “pelanggaran nyata” terhadap Konstitusi AS. Hakim federal di Massachusetts, Allison Burroughs, segera memblokir sementara upaya Gedung Putih untuk mencabut izin Harvard menerima mahasiswa asing. Namun, meskipun ada secercah harapan dari jalur hukum, bayang-bayang ketidakpastian belum benar-benar sirna.

Genia, yang sudah menempuh setengah jalan menuju gelar PhD-nya, mengungkapkan kegelisahannya. “Ketidakpastian ini bikin orang gila. Apa yang akan terjadi? Bisa nggak kita selesaikan gelar dari jarak jauh?” Pertanyaan ini bukan hanya miliknya—ini juga pertanyaan yang bergema dari ribuan mahasiswa lain yang tiba-tiba merasa masa depan mereka tergantung di ujung tali rapuh.

Salah satu dari mereka adalah seorang sarjana tamu dari Peking University, Tiongkok, yang tengah menjalani penelitian 18 bulan di Harvard. Ia menyebut situasinya “benar-benar menakutkan.” Malam-malam panjang ia habiskan bersama teman-temannya, berdiskusi tentang “rencana B” yang sebenarnya tak jelas. Ia bahkan membatalkan rencana bepergian ke Inggris, khawatir tak bisa kembali ke AS. “Harvard itu seperti cahaya istimewa di dunia,” katanya. “Kalau sesuatu terjadi pada Harvard, aku takut.”

Pernyataan itu menggugah—cahaya istimewa. Simbol harapan, pengetahuan, dan peluang yang kini seakan diredupkan oleh sebuah kebijakan tak terduga.

Dan bukan hanya para mahasiswa yang gelisah. Seorang staf administrasi yang tinggal di kampus bersama mahasiswa internasional menggambarkan suasana yang “penuh ketakutan.” Ia menyampaikan kenyataan yang sering luput dari sorotan: tidak semua mahasiswa asing berasal dari keluarga berada. “Kira-kira 50% dari mereka butuh bantuan keuangan besar,” katanya, dalam laporan yang sama. Harvard memang dikenal memiliki sistem bantuan finansial yang kuat. Namun, apa artinya semua itu jika kesempatan emas ini lenyap begitu saja? “Poof, hilang,” ujarnya—dan mudah membayangkan betapa beratnya ucapan itu keluar dari mulutnya.

Di luar kampus, dunia pun bereaksi. Pemerintah Tiongkok, lewat juru bicara Mao Ning, mengecam kebijakan ini dan menyebutnya merusak kredibilitas internasional AS, sebagaimana dilaporkan AP News (23 Mei 2025). Media Tiongkok, seperti CCTV, bahkan mempertanyakan apakah AS masih layak menjadi tujuan utama pelajar asing. Ini bukan kali pertama Tiongkok mengkritik AS soal visa pelajar. Selama masa kepresidenan Trump sebelumnya, Kementerian Pendidikan Tiongkok juga pernah mengeluarkan peringatan soal penolakan visa dan interogasi di bandara.

India mengambil pendekatan yang lebih hati-hati, memilih menilai dampak tanpa mengeluarkan kritik terbuka. Sementara itu, dua universitas di Hong Kong—termasuk Hong Kong University of Science and Technology—langsung membuka pintu bagi mahasiswa Harvard yang terdampak. Dunia pendidikan global tampaknya bergerak lebih cepat daripada dunia politik dalam merespons krisis.

Pertanyaannya: apa sebenarnya tujuan Trump di balik kebijakan ini? Apakah ini hanya perwujudan “America First,” yang menempatkan kepentingan warga AS di atas segalanya—termasuk dalam dunia pendidikan? Ataukah ini bagian dari strategi geopolitik, semacam tekanan tak langsung untuk memaksa Tiongkok dan India bernegosiasi dalam isu perdagangan atau teknologi?

Mahasiswa internasional menyumbang miliaran dolar untuk ekonomi AS lewat biaya kuliah dan pengeluaran lainnya. Mengganggu kehadiran mereka bisa jadi strategi untuk menciptakan ketidakpastian yang menguntungkan secara politik atau ekonomi. Tapi itu semua masih spekulatif. Tak ada laporan yang secara jelas menyebutkan motif pasti di balik kebijakan ini. Yang pasti, bagi mereka yang melihat Harvard sebagai jembatan menuju masa depan, keputusan ini terasa seperti pukulan telak.

Aku teringat seorang teman di Jakarta. Ia dulu bermimpi kuliah di AS. Malam-malam panjang ia habiskan belajar TOEFL, menabung untuk biaya aplikasi, dan berdoa agar visanya disetujui. Baginya, universitas seperti Harvard bukan sekadar tempat menimba ilmu—itu simbol harapan. Bayangkan jika ia berada di posisi mahasiswi Ukraina tadi, yang kini tak tahu apakah bisa pulang ke keluarganya. Atau seperti mahasiswa Haiti yang baru saja lulus, yang menyaksikan grup teks kampus “meledak” dengan ratusan pesan dalam sejam, penuh kecemasan dan pertanyaan tak terjawab.

Presiden Harvard, Alan Garber, dalam surat terbukanya, menyebut kebijakan ini “melanggar hukum dan tidak beralasan.” Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut mengancam masa depan ribuan mahasiswa dan sarjana. Sebuah peringatan yang terasa melampaui batas kampus—apa jadinya dunia pendidikan global jika pintu-pintunya ditutup bagi talenta internasional?

Harvard, dengan sejarah panjangnya, telah menjadi mercusuar bagi mereka yang percaya bahwa pendidikan mampu mengubah nasib. Tapi kebijakan ini, meski sementara diblokir, telah meninggalkan luka. Seorang mahasiswi Haiti berkata, “Mereka mendukung kami. Aku harus percaya mereka menginginkan yang terbaik untuk kami.” Kalimat penuh harap itu, di tengah ketidakpastian, menyentuh hati siapa saja yang membacanya.

Di Indonesia, mungkin kita melihat peristiwa ini dari kejauhan. Tapi dampaknya tidak asing. Banyak pelajar Indonesia juga memimpikan kuliah di luar negeri, termasuk di Harvard. Kebijakan ini mengingatkan kita betapa rapuhnya mimpi-mimpi itu, mudah runtuh di tengah pusaran politik global. Apa artinya pendidikan jika ia dijadikan alat tekanan geopolitik? Apakah pengetahuan memang harus tunduk pada batas negara?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung, seperti kabut yang menyelimuti halaman Harvard—yang kini tak hanya menjadi saksi kelulusan, tetapi juga kecemasan akan hari esok.

Harvard sedang berjuang, dan secercah harapan muncul lewat keputusan pengadilan federal. Tapi bagi mahasiswa seperti Genia, atau sarjana asal Tiongkok yang menyebut Harvard sebagai “cahaya istimewa,” ini bukan sekadar soal hukum. Ini tentang mimpi, identitas, dan tempat mereka di dunia yang kini terasa mengecil. Dan kita, yang menyaksikan dari kejauhan, mungkin bertanya dalam hati: jika cahaya Harvard meredup, ke mana lagi kita bisa memandang?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *