Connect with us

Opini

Harga Diri atau Harga Energi? Pilihan Sulit Eropa di Tengah Krisis

Published

on

Ketika suara mesin perlahan melemah di kilang minyak PCK Schwedt, bukan hanya produksi yang melambat. Itu adalah detak jantung ekonomi sebuah kota yang mulai kehilangan denyutnya. Di sanalah, lebih dari 90 persen suplai minyak untuk Berlin diproses, namun sejak Rusia menutup keran pasokan akibat sanksi Eropa, kilang itu tak pernah lagi beroperasi penuh. Kini, hanya 80 persen kapasitas yang bisa dijalankan, dan itupun dengan kerugian berjalan.

Danny Ruthenberg, kepala dewan kerja kilang itu, menyampaikan peringatan yang nyaris seperti panggilan darurat: jika situasi ini berlanjut, kilang bisa terpaksa merumahkan pekerja. Biaya operasional tetap tinggi, sementara pasokan energi alternatif belum mampu menggantikan stabilitas dan efisiensi yang dulu ditawarkan oleh minyak Rusia. Kota Schwedt pun berada di ambang jurang. Sekitar 20 persen dari 30.000 penduduknya bergantung pada kilang itu, secara langsung maupun tidak.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Wali Kota Schwedt, Annekathrin Hoppe, dengan gamblang menyebut kilang itu sebagai alasan keberadaan kota. Pernyataannya mungkin terdengar berlebihan, namun bagi masyarakat yang hidupnya disambungkan ke industri, itu adalah kenyataan. Ia pun menyatakan akan memohon pada pemerintah federal untuk mempertimbangkan pembukaan kembali keran impor dari Rusia. Katanya, “tentu kami tidak menerima perang… tapi secara tradisional kami selalu punya hubungan baik dengan Rusia.” Pernyataan itu tidak hanya mencerminkan nostalgia, melainkan keputusasaan.

Di luar Schwedt, angin keraguan mulai terasa di Eropa. Slovakia, melalui Perdana Menterinya Robert Fico, secara terang-terangan menyatakan siap “berjuang” demi mempertahankan hak untuk tetap mengimpor gas dari Rusia. Bagi Fico, energi adalah bagian dari kedaulatan nasional. Ia menolak mentah-mentah rencana RePowerEU yang hendak menghapus pasokan Rusia sepenuhnya hingga 2028. Bahkan ia menyebutnya sebagai gangguan terhadap kepentingan nasional Slovakia, bukan sekadar rencana energi.

Ada sesuatu yang menggelitik dalam paradoks ini. Uni Eropa selama dua tahun terakhir berdiri tegak sebagai simbol solidaritas terhadap Ukraina, menjatuhkan sanksi ke Moskow demi menegaskan posisi moral. Namun pada saat yang sama, mesin-mesin industri dan pemanas rumah tangga di Eropa bergetar dalam kecemasan. Ketika realitas menghantam idealisme, siapa yang lebih dulu runtuh?

Sejak 2022, pasokan minyak dari Rusia ke Jerman terputus, sebagian besar karena Moskow menghentikan pengiriman ke Polandia dan Jerman lewat pipa. Sanksi yang dijatuhkan oleh Uni Eropa menjadi sebab utama. Dan sementara tujuan geopolitik tampak jelas, harga sosial dan ekonomi mulai memunculkan tagihan yang tak kecil. Schwedt hanyalah satu dari sekian banyak kota industri yang mulai merasakan retaknya strategi sanksi terhadap Rusia.

Stefan Meister dari German Council on Foreign Relations mengatakan dengan jujur bahwa tekanan pada pemerintah Jerman dan otoritas Eropa akan terus tumbuh. Ketika lebih banyak suara dari sektor bisnis, politisi daerah, dan masyarakat lokal mulai menuntut pemulihan hubungan energi dengan Rusia, sulit untuk mempertahankan posisi lama tanpa membayar mahal secara politis.

Rusia, dari sisi lain, telah lama mengutuk sanksi energi dari Barat sebagai tindakan yang bukan hanya ilegal, tetapi juga menyakiti diri sendiri. Mereka menunjuk pada lonjakan harga energi yang melanda Eropa sejak 2022 sebagai bukti bahwa kebijakan itu kontraproduktif. Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa banyak negara di Eropa kini membeli energi dari Rusia secara tidak langsung—melalui negara ketiga seperti India atau Turki—dengan harga lebih mahal. Jadi, larangan itu tampak lebih simbolis ketimbang efektif.

Slovakia bukan satu-satunya yang menentang. Hongaria pun dengan tegas menolak rencana penghentian energi Rusia. Menteri Luar Negeri Peter Szijjarto memperingatkan bahwa rencana itu akan “menghancurkan keamanan energi Hongaria.” Negara-negara ini menjadi semacam oposisi dalam tubuh Uni Eropa yang mulai retak dalam konsensusnya.

Mungkin di sini kita patut bertanya: sampai sejauh mana prinsip geopolitik layak dipertahankan jika biaya ekonominya membebani rakyat? Solidaritas terhadap Ukraina adalah sikap terpuji, tapi apakah itu harus dibayar dengan pengangguran, inflasi, dan kelesuan industri yang berkepanjangan? Kita tahu, dari sejarah sendiri, bahwa idealisme tanpa penyesuaian dengan realitas sering kali menimbulkan luka jangka panjang.

Refleksi semacam ini juga relevan bagi Indonesia. Kita menyaksikan bagaimana negara-negara industri besar bisa limbung hanya karena satu simpul pasokan energi terganggu. Ini menjadi pengingat bahwa kedaulatan energi bukan slogan kosong. Ketika Jerman dan Eropa tergagap karena kehilangan gas Rusia, kita pun harus bertanya: bagaimana kesiapan energi kita sendiri dalam menghadapi krisis global?

Kembali ke Jerman, jika mereka tetap ngotot menolak energi Rusia, jalan yang tersisa adalah mempercepat transisi energi dan memperluas infrastruktur LNG. Namun, itu bukan proses satu-dua tahun. Butuh waktu, biaya, dan konsensus politik yang belum tentu tercapai. Dalam jeda waktu itulah penderitaan ekonomi bisa terus membesar. Dan sejarah mencatat: tak semua masyarakat sanggup bertahan dalam kesabaran panjang.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Jerman akan kembali ke gas Rusia, tapi kapan dan bagaimana. Apakah melalui jalan belakang? Apakah setelah ada kesepakatan damai antara Moskow dan Kiev? Atau mungkin setelah krisis energi menembus batas rasa aman masyarakat? Apa pun jalurnya, yang jelas adalah ini: logika ekonomi sering kali lebih keras ketimbang pekikan moral. Dan politik, pada akhirnya, lebih banyak bergantung pada suara rakyat yang menderita, bukan jargon pemimpin yang terputus dari realitas.

Dalam dunia pasca-2022, kita telah melihat bagaimana aliansi global bisa berubah, peta kepentingan bisa bergeser, dan prinsip bisa goyah oleh tekanan harga pasar. Ketika satu kota seperti Schwedt mulai goyah, ia membawa bersama pertanyaan besar: berapa harga dari sebuah prinsip? Dan siapa yang paling dulu harus membayarnya?

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Pekerja Eropa Tercekik Krisis Tersembunyi - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer