Opini
Happy Slave: Buruh Bahagia, Bos yang Tersenyum di Hari Buruh

Di pinggir kawasan industri Cikarang, malam menyapu debu dari langkah buruh yang berderap pulang. Lampu neon mal berkedip, menggoda dengan janji sepatu baru, ponsel canggih, atau ayam geprek “murah meriah”. Wajah-wajah lelah tersenyum, dompet tipis tapi penuh harap. Lembur seminggu penuh berbuah cicilan motor terkini. Tapi, di balik senyum itu, ada absurditas yang menggelikan sekaligus mengerikan—uang yang mereka peras dari keringat, entah bagaimana, selalu kembali ke kantong sang “bos”. Selamat datang di dunia “Happy Slave”, di mana buruh menari dalam lingkaran kapitalisme, dan Hari Buruh 2025 menantang kita membuka mata.
Bayangkan Budi, 30 tahun, buruh tekstil yang melangkah ke pabrik dengan kaos lusuh dan mimpi sederhana: anaknya sekolah, istrinya tak perlu jualan gorengan. Budi kerja 12 jam sehari, kadang lebih, karena upah lembur adalah penyelamat. Gaji Rp5 juta sebulan terdengar gagah di kampungnya. Dia bangga bisa beli ponsel baru dari merek yang iklannya nongol di TV. Tapi, tilik lebih dalam—ponsel itu, mal tempat dia belanja, perumahan yang dicicil, semuanya milik grup bisnis yang sama dengan pabriknya. Budi, tanpa sadar, pion dalam catur raksasa, setiap langkahnya menguntungkan raja.
Hari Buruh 2025, diperingati 1 Mei, bukan cuma soal aksi di Monas atau pidato presiden penuh tepuk tangan. Ini momen menelikung narasi “Happy Slave” yang licin. Badan Pusat Statistik bilang upah minimum Indonesia naik 6-8% tiap tahun, tapi biaya hidup layak di Jakarta sudah Rp4,5 juta per bulan. Buruh seperti Budi lembur bukan karena semangat, tapi tak punya pilihan. Uang mereka mengalir balik ke konglomerasi yang kuasai 70% ekonomi Indonesia. Ironi yang elegan, bukan? Bekerja untuk bos, membayar bos, sambil tersenyum lebar.
Narasi “Happy Slave” bukan cuma soal uang, tapi pikiran yang dikondisikan. Iklan, media sosial, tetangga, semua bersekongkol: “Bersyukur lah punya kerja!” atau “Beli itu, biar kelihatan sukses!” Budi, yang tak tahu “kapitalisme konsumerisme”, merasa menang saat selfie dengan ponsel baru di mal. Padahal, laporan Oxfam 2023 bilang 1% orang terkaya Indonesia kuasai hampir setengah kekayaan nasional. Grup seperti Sinar Mas atau Lippo punya pabrik, mal, rumah sakit—semua yang Budi butuh. Bebas memilih, katanya, tapi pilihannya cuma kantong sang bos.
Demonstrasi Hari Buruh 2025, dengan 200.000 buruh di Monas, menawarkan celah membongkar sandiwara ini. Tuntutan mereka jelas: upah layak, hapus outsourcing, jaminan sosial manusiawi. Tapi, dengar suara halus yang bilang, “Jangan cuma minta gaji, tanya ke mana gajimu pergi!” ILO soroti digitalisasi tahun ini, dan di Indonesia, pekerja ojek daring atau kurir pun terjebak “Happy Slave” modern. Mereka “bebas” atur waktu, tapi tanpa jaminan kesehatan atau pensiun, cuma budak dengan aplikasi canggih.
Ada sindiran pahit: buruh diajari bangga dengan keringat, tapi keringat itu menyiram kebun pemilik modal. Di Cikarang atau Batam, buruh tinggal di perumahan, belanja di minimarket, nongkrong di mal—semua dalam ekosistem satu grup bisnis. KPPU (2022) bilang beberapa konglomerasi kuasai rantai pasok dari hulu ke hilir. Uang buruh berputar dalam lingkaran ajaib, dan mereka dipuji sebagai “pahlawan ekonomi” sambil dibiarkan miskin. Bukankah ini komedi kelam yang terlalu cerdas untuk ditertawakan?
Tapi, jangan buru-buru nyalahin Budi. Dia bukan bodoh, cuma korban sistem yang dirancang licin. Budaya “bersyukur” dan “kerja keras” jadi mantra yang membius. Hari Buruh 2025, dengan seminar dan aksi, bisa jadi alarm untuk bangun. Serikat buruh, meski sering dipreteli kekuatannya oleh regulasi longgar, punya peran besar. Mereka bisa ajari Budi bahwa “sukses” bukan beli ponsel, tapi punya waktu buat anaknya, punya jaminan kalau besok dia sakit.
Lalu, ada digitalisasi yang bikin “Happy Slave” makin mutakhir. Pekerja platform, yang jumlahnya capai 2 juta di Indonesia menurut Kementerian Ketenagakerjaan, dikira bebas, padahal algoritma yang ngatur hidup mereka. Mereka kejar bonus, kerja sampai subuh, lalu habiskan gaji buat cicilan motor atau belanja di e-commerce—yang, surprise, sering dimiliki grup yang sama dengan platformnya. Hari Buruh 2025, dengan fokus ILO pada digitalisasi, harus jadi panggung untuk tuntut hak pekerja platform, bukan cuma tepuk tangan buat “inovasi”.
Kita juga harus jujur: narasi “Happy Slave” kadang disokong perayaan Hari Buruh sendiri. Ucapan seperti “Keringatmu kekuatan negeri!” atau ajakan “nikmati long weekend di mal!” bisa jadi jebakan halus. Buruh dirayu merasa spesial, lalu habiskan gaji di ekosistem konglomerasi. Mal, restoran, destinasi wisata—semua milik segelintir nama besar. Menurut Tempo (2024), 10 grup bisnis kuasai 60% pusat perbelanjaan di Indonesia. Long weekend buruh cuma jadi mesin kasir buat bos.
Tapi, Hari Buruh 2025 bukan cuma panggung keluh kesah. Ini soal solidaritas, soal menantang sistem yang bikin Budi dan jutaan buruh lain jadi “Happy Slave”. Tuntutan hapus outsourcing, misalnya, bukan cuma soal kontrak, tapi soal martabat—biar buruh punya kuasa tawar, bukan cuma pion. Regulasi antimonopoli, yang didorong KPPU, bisa batasi konglomerasi yang bikin uang buruh berputar balik. Dan yang terpenting, edukasi—bikin buruh sadar bahwa “sukses” bukan cicilan baru, tapi kebebasan dari lingkaran eksploitasi.
Bayangkan kalau Budi tahu ke mana gajinya mengalir. Mungkin dia bakal pilih belanja di warung tetangga, bukan mal. Mungkin dia bakal ikut serikat, bukan cuma angguk saat bos bilang “bersyukur”. Hari Buruh 2025, dengan semboyan global “luka bagi satu adalah luka bagi semua”, bisa jadi titik balik. Solidaritas bukan cuma teriak di jalan, tapi aksi nyata: serikat yang kuat, regulasi yang adil, buruh yang melek haknya.
Tapi, realitas kadang sinis. Budi mungkin pulang dari aksi Monas, capek tapi bangga, lalu buka aplikasi buat pesan makanan—dari platform yang dimiliki grup yang sama dengan pabriknya. Dia tersenyum, merasa menang karena bisa makan enak. Kita tersenyum miris, tahu dia masih menari dalam lingkaran “Happy Slave”. Hari Buruh 2025 harus lebih dari seremoni—harus jadi pisau yang potong tali yang mengikat Budi, dan kita semua, ke sistem yang bikin bahagia cuma milik sang bos.
Jadi, mari kita ke Monas, dengar pidato, teriak tuntutan, tapi jangan lupa tanya: bahagia yang kita kejar ini, milik siapa sebenarnya? Budi, dan jutaan buruh lain, pantas dapat lebih dari sekadar puji-pujian atau cicilan baru. Mereka pantas dapat keadilan sosial—kebebasan dari narasi “Happy Slave” yang manis tapi beracun. Hari Buruh 2025 adalah panggilan untuk berhenti menari, dan mulai melawan.
Dan kalau besok Budi selfie di mal lagi, mungkin kita bisa bisikkan padanya: “Bro, coba cek, duit loe balik ke siapa?” Mungkin dia bakal nyengir, mungkin mikir. Tapi setidaknya, benih itu ditanam—benih untuk Hari Buruh yang bukan cuma soal tepuk tangan, tapi soal kebangkitan.