Opini
Hannibal Directive: Strategi Gila Israel Bunuh Diri

Dalam dunia peperangan, ada aturan yang jelas: lindungi rakyatmu, jaga tentaranya, dan hindari pembunuhan yang tidak perlu. Namun, tampaknya Israel punya pendekatan berbeda. Laporan terbaru mengungkap bahwa dalam peristiwa 7 Oktober, pasukan zionis lebih memilih menjatuhkan bom ke pemukiman mereka sendiri daripada membiarkan warga dan tentaranya jatuh ke tangan Hamas. Ini bukan kebijakan baru. Ini Hannibal Directive.
Apa itu Hannibal Directive? Secara sederhana, ini adalah perintah untuk mencegah penculikan tentara atau warga Israel dengan cara apa pun, bahkan jika itu berarti membunuh mereka sendiri. Ya, Israel memiliki kebijakan yang pada dasarnya berbunyi: “Jangan biarkan mereka hidup jika tertawan!” Ini bukan teori konspirasi, ini kebijakan militer resmi.
Strategi ini pertama kali dikembangkan setelah Perang Lebanon 1982, ketika zionis menyadari bahwa tentaranya yang ditawan bisa menjadi alat tawar menawar yang efektif bagi musuh. Solusi mereka? Alih-alih membiarkan prajuritnya menjadi sandera dan berisiko digunakan dalam pertukaran tahanan, lebih baik mereka tewas di tangan teman sendiri. Brutal? Tentu. Barbar? Sudah pasti.
Salah satu contoh paling tragis dari penerapan kebijakan ini terjadi pada tahun 2014, ketika Letnan Hadar Goldin ditawan di Rafah oleh Hamas. Alih-alih mencoba negosiasi atau operasi penyelamatan, Israel menjatuhkan bom dan menembakkan artileri ke area tersebut, membunuh lebih dari 150 warga sipil Palestina hanya dalam beberapa jam. Goldin sendiri? Hilang tanpa jejak. Apakah dia tewas oleh Hamas atau oleh pasukannya sendiri? Hanya langit yang tahu.
Kini, laporan mengenai Hannibal Directive kembali muncul setelah Operasi Badai al-Aqsa. Ketika Hamas menyerang permukiman di sekitar Gaza, pasukan Israel tidak segera merespons untuk menyelamatkan warga. Sebaliknya, mereka malah mengalihkan fokus ke operasi udara besar-besaran, menghancurkan rumah-rumah dan bahkan membombardir area yang kemungkinan besar masih dihuni oleh warga mereka sendiri. Sungguh strategi penyelamatan yang luar biasa—menyelamatkan rakyat dengan cara membunuh mereka.
Tapi tunggu dulu, mari kita bicara soal hukum perang. Dalam aturan internasional, serangan yang disengaja terhadap warga sipil—terutama mereka yang tidak bersenjata—adalah kejahatan perang. Dalam Konvensi Jenewa, ada prinsip yang disebut proportionality dan distinction. Artinya, militer harus membedakan antara kombatan dan warga sipil serta tidak boleh melakukan serangan yang kerusakannya lebih besar daripada manfaat militernya. Tapi tentu saja, itu berlaku untuk tentara normal, bukan untuk pasukan yang lebih sibuk menghitung jumlah warganya sendiri yang harus dimusnahkan agar tidak menjadi beban negosiasi.
Yang lebih ironis, Israel kerap memanfaatkan narasi “Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia” untuk membenarkan serangan brutal mereka ke Gaza. Tapi jika mereka sendiri rela membunuh tentaranya agar tidak dijadikan alat tawar, siapa sebenarnya yang lebih kejam? Hamas yang menawan, atau Israel yang langsung membunuh sebelum tawanan bisa bicara?
Strategi ini bukan hanya kebijakan yang tidak manusiawi, tetapi juga menunjukkan paranoia zionis terhadap segala bentuk kelemahan. Mereka lebih takut akan dampak psikologis dari satu tentara yang tertawan dibanding ribuan roket yang meluncur ke wilayahnya. Bayangkan, mereka memiliki teknologi militer canggih, sistem pertahanan udara terbaik, dan ribuan drone, tetapi tetap lebih memilih membunuh warganya sendiri daripada kehilangan kendali dalam negosiasi.
Jadi, siapa sebenarnya ancaman terbesar bagi rakyat Israel? Hamas? Hizbullah? Iran? Ataukah pemerintah mereka sendiri yang siap menekan tombol bom kapan saja? Dengan kebijakan seperti ini, zionis tak butuh musuh untuk menghancurkan bangsanya sendiri—mereka cukup mengeksekusi Hannibal Directive lagi dan lagi.
Jika ada yang masih percaya bahwa Israel adalah negara yang paling menjunjung “demokrasi” dan “hak asasi manusia” di Timur Tengah, mungkin perlu membaca ulang laporan-laporan ini. Karena dalam kamus mereka, melindungi rakyat berarti menekan tombol rudal dan mengklaim bahwa semuanya adalah kesalahan musuh. Sungguh, strategi yang sangat “brilian” untuk sebuah negara yang mengklaim diri sebagai pusat peradaban modern.
Atau mungkin, mereka hanya takut sejarah terulang. Mereka tahu bahwa jika ada prajurit yang tertangkap hidup-hidup, dunia bisa melihat sisi lain dari kisah ini. Mungkin, yang mereka takuti bukanlah kehilangan nyawa, tetapi kehilangan narasi mereka sendiri.