Opini
Hampir Enam Bulan Pasca-Jatuhnya Assad, Suriah Tetap Berdarah

Di pinggiran Damaskus, Jaramana, asap masih membubung dari puing-puing bentrokan sektarian yang menewaskan sedikitnya 16 jiwa, termasuk tujuh pejuang Druze, pada akhir April 2025. Rekaman audio penghujatan terhadap Nabi Muhammad (SAW) yang viral di media sosial memicu kemarahan, mengobarkan pertempuran antara warga Druze, pasukan keamanan, dan milisi afiliasi. Al Mayadeen (30 April 2025) melaporkan kekerasan ini sebagai cerminan Suriah yang rapuh, di mana janji stabilitas pasca-jatuhnya Bashar al-Assad pada Desember 2024 masih jauh dari kenyataan. Hampir enam bulan kemudian, pemerintah sementara di bawah Ahmed al-Sharaa gagal menenangkan keamanan, mengakhiri diskriminasi sektarian, dan membangun kepercayaan masyarakat. Fokus al-Sharaa pada diplomasi luar negeri, alih-alih krisis domestik, memperburuk luka Suriah yang terus berdarah.
Jaramana bukanlah insiden terisolasi. Sekitar 10 kilometer di Ashrafiyat Sahnaya, serangan terhadap pos pemeriksaan pemerintah memicu bentrokan berdarah, diperparah oleh serangan udara misterius yang menewaskan enam militan. The Guardian (30 April 2025) mencatat ketidakjelasan asal serangan ini memicu spekulasi tentang campur tangan asing, mungkin Israel, yang memantau Suriah dengan cermat (Haaretz, 30 April 2025). Kekerasan ini mengikuti pola pembantaian Alawite di wilayah pesisir pada Maret 2025, yang disebut BBC (1 April 2025) sebagai salah satu insiden sektarian terburuk sejak kejatuhan Assad. Komunitas minoritas—Druze, Alawite, Kristen—menghadapi ancaman eksistensial, sementara pemerintah sementara, didukung Hayat Tahrir al-Sham (HTS), tampak tak berdaya mengendalikan milisi atau menjamin keamanan.
Pemerintah al-Sharaa menghadapi ujian legitimasi yang berat. Kementerian Dalam Negeri berjanji menyelidiki rekaman audio dan menindak pelaku kekerasan, tetapi France24 (30 April 2025) meragukan kemampuan mereka mengingat lemahnya kontrol atas faksi bersenjata. Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual Druze, mengecam kegagalan pemerintah memberikan “keamanan yang dijanjikan” dan menyoroti “pemikiran sepihak dan eksklusi” (Al Jazeera, 30 April 2025). Pernyataannya mencerminkan kekecewaan minoritas yang merasa terpinggirkan oleh pemerintahan yang condong pada kelompok Islamis Sunni seperti HTS. Middle East Eye (30 April 2025) memperingatkan bahwa alienasi ini dapat memicu perlawanan lokal atau memperkuat faksi pro-Assad yang masih bertahan.
Fokus al-Sharaa pada diplomasi luar negeri memperparah krisis domestik. Ia aktif menjalin hubungan dengan Turki dan negara Teluk untuk mengamankan dukungan politik dan ekonomi, berupaya meyakinkan dunia bahwa Suriah di bawahnya dapat dikendalikan (Haaretz, 30 April 2025). Namun, The Guardian (30 April 2025) menyoroti bahwa perhatian ini mengorbankan urgensi dalam negeri, seperti investigasi rekaman audio atau pengendalian milisi. Al Monitor (28 April 2025) mencatat bahwa operasi HTS melawan “sisa-sisa” rezim Assad sering kali menargetkan komunitas minoritas secara tidak proporsional, memicu tuduhan diskriminasi. Ketidakseimbangan ini membuat masyarakat Suriah, yang lelah akibat perang, semakin kehilangan harapan akan stabilitas.
Diskriminasi sektarian tetap menjadi luka terbuka. Bentrokan Jaramana, dipicu oleh provokasi media sosial, menunjukkan betapa rapuhnya kohesi sosial. Al Mayadeen (30 April 2025) melaporkan bahwa rekaman audio memicu kemarahan di komunitas Druze, yang sudah tegang akibat tuduhan pengkhianatan. Kekerasan serupa terhadap Alawite (BBC, 1 April 2025) memperdalam perpecahan, dengan minoritas merasa terancam oleh pemerintahan yang didominasi Sunni. The Washington Post (29 April 2025) melaporkan bahwa banyak warga sipil, terutama Druze dan Alawite, mencari perlindungan di pangkalan Rusia di Hmeimim, menandakan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Tanpa kebijakan inklusif, Suriah berisiko terjebak dalam siklus konflik sektarian baru.
Media sosial mempercepat eskalasi kekerasan. Rekaman audio di Jaramana menyebar dengan cepat, mengobarkan emosi sebelum pemerintah dapat bertindak. France24 (30 April 2025) menyoroti bahwa platform digital telah menjadi alat provokasi yang efektif, memanfaatkan ketegangan sektarian yang sudah ada. Pemerintah al-Sharaa belum menunjukkan strategi untuk mengatasi disinformasi, meskipun Kementerian Dalam Negeri berjanji menyelidiki (Al Mayadeen, 30 April 2025). Kegagalan ini memperkuat persepsi bahwa pemerintah tidak serius menangani akar masalah, seperti ketimpangan sosial dan kurangnya dialog antar-komunitas.
Aktor eksternal memperumit situasi. Rusia, yang menawarkan perlindungan di Hmeimim (The Washington Post, 29 April 2025), berupaya mempertahankan pengaruhnya di Suriah. Israel, yang memantau perkembangan dengan cermat (Haaretz, 30 April 2025), diduga terlibat dalam serangan udara di Ashrafiyat Sahnaya, meskipun tanpa bukti pasti (The Guardian, 30 April 2025). Turki dan Iran juga bersaing memengaruhi pemerintahan baru, menambah tekanan pada al-Sharaa. Reuters (30 April 2025) memperingatkan bahwa campur tangan asing dapat memperburuk fragmentasi, dengan Suriah menjadi medan proksi regional sekali lagi.
Masyarakat Suriah menanggung beban terberat. Penduduk Jaramana hidup dalam ketakutan akan kekerasan lebih lanjut, sementara warga Ashrafiyat Sahnaya menghadapi ancaman serangan udara yang tidak terduga. Middle East Eye (30 April 2025) mencatat bahwa trauma perang saudara masih membayangi, dengan diskriminasi sektarian memperdalam rasa putus asa. Banyak yang kehilangan harapan akan pemulihan ekonomi atau sosial, dengan migrasi massal menjadi ancaman nyata jika kekerasan berlanjut (BBC, 1 April 2025). Minoritas, khususnya Druze, merasa terjebak antara ancaman fisik dan marginalisasi politik.
Pemerintah al-Sharaa harus bertindak cepat untuk memutus siklus ini. Investigasi transparan terhadap insiden Jaramana, seperti disarankan Al Jazeera (30 April 2025), dapat membangun kepercayaan. Dialog nasional yang melibatkan pemimpin Sunni, Druze, Alawite, dan Kristen sangat penting untuk meredakan ketegangan. The Guardian (30 April 2025) menekankan perlunya pasukan keamanan terpadu untuk menggantikan milisi yang tidak terkendali, dengan dukungan PBB untuk menjamin netralitas. Pengawasan media sosial juga mendesak untuk mencegah provokasi lebih lanjut (France24, 30 April 2025).
Namun, waktu semakin sempit. Hampir enam bulan pasca-jatuhnya Assad, Suriah tetap berdarah, terperangkap dalam kekerasan sektarian dan ketidakmampuan pemerintah. Fokus al-Sharaa pada diplomasi luar negeri, meskipun penting, tidak boleh mengorbankan krisis domestik yang mendesak. Al Monitor (28 April 2025) memperingatkan bahwa tanpa perubahan strategi, pemerintah berisiko kehilangan legitimasi, membuka peluang bagi faksi saingan atau intervensi asing. Masyarakat Suriah, yang telah menderita selama lebih dari satu dekade, mendambakan keamanan dan keadilan, tetapi harapan itu semakin memudar.
Jalan menuju stabilitas penuh duri. Pemerintah harus menyeimbangkan kepentingan mayoritas dan minoritas, mengendalikan milisi, dan melawan disinformasi. Dukungan internasional, seperti yang didesak The Guardian (30 April 2025), dapat membantu, tetapi hanya jika diarahkan untuk memperkuat institusi lokal, bukan memperdalam ketergantungan. Suriah tidak boleh kembali menjadi medan konflik proksi. Enam bulan setelah kejatuhan Assad, luka-luka lama masih menganga, dan tanpa tindakan tegas, darah akan terus tertumpah di tanah yang sudah lelah ini.
Daftar Sumber:
- Al Mayadeen (Lebanon), “Jaramana death toll: At least 14 Syrians killed in sectarian clashes,” 30 April 2025.
- Reuters (Inggris), “Sectarian clashes near Damascus kill 16, war monitor says,” 30 April 2025.
- The Guardian (Inggris), “Syria’s sectarian violence escalates with Jaramana clashes,” 30 April 2025.
- BBC (Inggris), “Syria’s Alawite massacres signal rising sectarian tensions,” 1 April 2025.
- Al Jazeera (Qatar), “Druze leader warns of sectarian incitement in Syria,” 30 April 2025.
- France24 (Prancis), “Syrian government struggles to contain militias in Jaramana,” 30 April 2025.
- Middle East Eye (Inggris), “Syria’s Druze community fears marginalisation under new government,” 30 April 2025.
- The Washington Post (AS), “Russia offers refuge as Syria’s sectarian violence spikes,” 29 April 2025.
- Haaretz (Israel), “Israel monitors Syria unrest amid fears of militia growth,” 30 April 2025.
- Al Monitor (AS), “HTS faces backlash over heavy-handed tactics in Syria,” 28 April 2025.