Connect with us

Opini

Hamas Unggul, Israel Terpojok Dalam Konflik Gaza

Published

on

Ilustrasi editorial konflik Gaza, simbol Hamas yang dianggap berada di atas angin melawan kekuatan militer zionis.

Gaza hari ini tidak hanya hancur secara fisik, tetapi juga terkoyak dalam absurditas strategi perang yang hampir mustahil diterima akal sehat. Langitnya pekat dengan debu reruntuhan, suara ledakan menggema, dan di tengah kegelapan itu, satu fakta mengejutkan muncul: Israel, yang selama ini dikenal sebagai mesin perang modern, stagnan. Sementara Hamas, kelompok yang selalu diremehkan, tampak menari di medan politik, opini publik, dan perlawanan asimetris dengan langkah-langkah yang begitu terukur hingga dunia tersedak. Ironi ini jelas: kekuatan konvensional tak lagi menjamin kemenangan, dan narasi global bisa lebih mematikan daripada tank paling canggih sekalipun.

Mantan kepala Divisi Operasi Israel, Israel Ziv, menyebut fenomena ini sebagai “sekolah pemikiran kedua.” Bukan bangunan fisik, bukan pula kelas formal, tetapi paradigma baru di medan perang modern. Sekolah ini mengajarkan bahwa kemenangan bukan soal jumlah tank atau jumlah drone, melainkan integrasi antara perlawanan fisik, pengendalian narasi, dan tekanan moral. Israel mengandalkan superioritas teknologi, tetapi di luar medan tempur mereka terpojok: dunia melihat korban sipil Gaza, media global menyorot penderitaan yang tak terbayangkan, dan opini publik mulai berpihak pada mereka yang sebelumnya dianggap lemah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Statistik yang memekakkan telinga tak bisa dikesampingkan. Sejak 7 Oktober, lebih dari 63.000 martir telah gugur, ditambah hampir 160.000 luka-luka. Rumah sakit di Gaza, yang terus kewalahan, menerima 59 jenazah dan 224 luka baru hanya dalam 24 jam terakhir. Angka-angka ini bukan sekadar data; ini adalah simbol dari tragedi kemanusiaan yang menempel pada wajah dunia dan mengganggu kenyamanan politik Israel. Namun, di balik statistik itu, Hamas menunjukkan ketahanan luar biasa. Al-Qassam dan al-Quds Brigades menghancurkan tank Merkava dan kendaraan lapis baja Eitan, membuktikan bahwa serangan gerilya, rudal anti-tank, dan improvisasi sederhana bisa menimbulkan kerusakan signifikan pada raksasa militer.

Ironi terbesar terlihat di ranah politik. Israel, yang terbiasa mengendalikan narasi global, kali ini dibuat terdiam. Respons Hamas terhadap proposal gencatan senjata membuat Netanyahu kehilangan kata-kata, tanpa retorika yang tersisa. Dunia menonton, dan dunia berpihak pada mereka yang tampak lebih kecil namun lebih strategis. Simpati internasional berpihak pada korban sipil, bukan pada agresor yang memiliki persenjataan paling lengkap. Israel unggul dalam senjata, tetapi kalah dalam persepsi, moral, dan legitimasi politik.

Analogi sederhana dari kehidupan sehari-hari bisa membantu memahami ini. Coba Anda bayangkan seorang siswa pintar dengan semua buku, kalkulator canggih, dan nilai tinggi, menghadapi teman yang hanya membawa selembar kertas dan pensil. Teman itu tidak meniru rumus, tetapi berkreasi, memanfaatkan celah, dan memikat perhatian guru. Hasilnya? Siswa pintar frustrasi, sementara teman sederhana itu mendapatkan poin di mata pengamat. Hamas melakukan hal yang serupa: mereka memanfaatkan medan asimetris, meretas sistem superior Israel dengan kreativitas dan ketepatan taktis.

Kekuatan psikologis Hamas juga tidak boleh diremehkan. Israel, meski memiliki semua alat perang modern, menghadapi dilema moral dan tekanan global. Setiap serangan menimbulkan kritik, setiap korban sipil menimbulkan kecaman internasional, dan setiap kesalahan strategi diperbesar di mata dunia. Hamas, dengan sumber daya terbatas, mampu menekan secara psikologis, memanfaatkan opini publik, dan mengendalikan narasi sehingga lawan merasa terpojok. Israel, dengan semua keunggulan teknologinya, berada dalam posisi reaktif.

Sekolah pemikiran kedua ini juga menunjukkan kemampuan Hamas untuk menggabungkan semua dimensi konflik: militer, politik, psikologi, dan opini publik. Mereka bisa memilih kapan menyerang, kapan menahan diri, kapan menekankan penderitaan sipil untuk mendapatkan simpati global. Israel, sebaliknya, terbiasa menang di medan fisik, tetapi kini menghadapi konflik multidimensional. Strategi konvensionalnya terhambat oleh kritik global, moral internasional, dan persepsi publik yang condong pada korban.

Yang membuat posisi Hamas semakin “di atas angin” adalah kemampuan mereka memanfaatkan tekanan diplomatik. Respons Netanyahu yang kehilangan kata-kata bukan hanya soal retorika; itu adalah tanda bahwa Hamas mampu memaksa pihak lawan menyesuaikan posisi diplomatiknya, bahkan sebelum pertempuran selesai. Dunia menonton, media menyorot, dan opini publik mulai menilai siapa yang memiliki hak moral. Israel, meski superior, terjebak dalam perang opini yang tidak bisa dimenangkan dengan tank atau drone.

Kita harus mengakui, ini adalah pelajaran bagi semua pihak yang masih berpikir bahwa kekuatan militer adalah segalanya. Perang modern bukan hanya soal menghancurkan musuh secara fisik, tetapi soal menguasai opini, psikologi, dan tekanan diplomatik. Hamas, dengan semua keterbatasannya, menunjukkan bahwa strategi yang tepat, kreativitas, dan kemampuan mengendalikan narasi bisa mengungguli kekuatan superior. Israel, meski megah dalam persenjataan, saat ini berada di posisi defensif, mengejar inisiatif yang telah diambil lawan.

Salah satu refleksi paling tajam adalah bagaimana dunia menyaksikan tragedi ini. Kita di Indonesia, atau di mana pun, melihat foto-foto, membaca berita, dan merasakan kemarahan serta kesedihan yang sama. Namun, bagi Israel, dunia menjadi medan perang baru yang tidak bisa ditaklukkan dengan misil. Hamas menguasai medan ini. Mereka menempatkan Israel di posisi terpojok, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara moral dan politik.

Akhirnya, pembaca harus menyadari satu hal: kemenangan dalam perang modern bukan selalu soal senjata paling canggih atau jumlah korban musuh. Kemenangan bisa diukur dari siapa yang memegang inisiatif, siapa yang mengontrol narasi, dan siapa yang mampu memanfaatkan kelemahan lawan. Dari perspektif ini, Hamas, dengan segala keterbatasannya, saat ini memegang kendali. Israel, dengan semua kemegahan teknologinya, terpojok, dan dunia menonton dengan mata terbelalak.

Kita bisa tersenyum getir, bisa marah, atau bisa merenung panjang. Tapi realitasnya tetap: di medan perang modern, yang menang bukan selalu yang paling kuat secara fisik, tetapi yang mampu menggabungkan strategi, psikologi, dan opini publik secara serentak. Hamas menunjukkan bahwa organisasi kecil pun bisa menundukkan raksasa, selama mereka membaca medan perang secara cerdas. Israel mungkin masih memiliki kapasitas destruktif yang besar, tetapi stagnasi militernya, tekanan global, dan kehilangan narasi politik menempatkannya di posisi defensif.

Dan dunia, entah mau menerima atau tidak, harus belajar satu hal: perang tidak lagi hanya soal tank dan peluru. Sekarang, perang adalah soal siapa yang mampu menulis cerita yang akan dikenang publik, siapa yang bisa mengendalikan persepsi, dan siapa yang mampu membuat musuh kehilangan kata-kata. Hamas, dalam hal ini, jelas sedang “di atas angin.” Israel, sebaliknya, masih mencoba mengejar bayangan strategi lawannya.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Operasi Rumit Hamas Guncang Pasukan Israel

  2. Pingback: Janji Kemenangan Israel yang Kian Jauh dari Api

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer