Opini
Hak di Atas Kertas, Luka di Jalanan Suriah

Di sebuah ruangan megah dengan karpet merah dan lampu kristal berkilau, al-Suweida Governor Mustafa Bakour duduk dengan wajah serius, mendengarkan para aktivis yang baru saja bebas dari cengkeraman Keamanan Umum Suriah. Ghada al-Shaarani, salah satu dari mereka, berdiri tegak meski suaranya bergetar, menceritakan pemukulan brutal yang menargetkan kepala, ancaman kematian, dan hinaan sektarian terhadap Alawite dan Druze. Di luar, angin Suriah bertiup kencang, seolah membawa bisik keluh kesah rakyat yang tak pernah sampai ke telinga dunia.
Sementara itu, jauh di panggung internasional, Ahmad al-Sharaa, presiden transisi Suriah yang baru, sibuk mengemas kopernya untuk kunjungan berikutnya ke Turki dan UEA. Dengan senyum diplomatik yang terlatih, ia akan berjabat tangan dengan Erdogan dan para emir, berbicara soal rekonstruksi, keamanan perbatasan, dan kontraterorisme. Di atas kertas, ia adalah pahlawan reformasi, baru saja menandatangani deklarasi konstitusi yang menjanjikan hak perempuan dan kebebasan berekspresi. Tapi di Homs, aktivis ditahan di pos pemeriksaan, dipukuli, dan diancam, seolah hukum hanyalah dongeng untuk anak-anak. Deklarasi itu mungkin menggetarkan aula PBB, tapi tidak bisa melindungi siapa pun dari pukulan popor senapan di jalanan.
Deklarasi konstitusi itu, kata mereka, adalah mahakarya. Ditulis oleh para ahli hukum dengan pena emas dan kata-kata berkilau, dokumen itu menjamin “hak sosial, politik, dan ekonomi” perempuan, serta mematuhi perjanjian hak asasi manusia yang telah Suriah tandatangani. Ghada al-Shaarani pasti tertawa getir mendengarnya—atau mungkin menangis—saat ia menolak deklarasi itu mentah-mentah. Bagaimana tidak? Ketika ia dan rekan-rekannya dalam perjalanan ke Raqqa, yang menyambut bukan kebebasan, melainkan tinju dan ancaman dari aparat yang seharusnya melindungi. Kertas itu indah, tapi nyatanya tak lebih dari alas meja yang dilapisi darah dan debu.
Sementara para pejabat menulis deklarasi di ruang ber-AC, cerita-cerita mengerikan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Di X, media sosial tempat rakyat mencatat luka mereka, seorang pengguna menulis tentang tetangganya yang diculik di malam hari dan ditemukan tewas keesokan paginya—tanpa penyelidikan, tanpa pelaku. Yang lain bercerita tentang milisi bersenjata yang berpatroli seperti penguasa, mengambil apa pun yang mereka mau, sementara polisi setempat belajar seni pura-pura buta. Hukum di Suriah, kalau boleh jujur, tampaknya hanya berlaku bagi yang punya senjata—atau cukup uang untuk menyewa yang memegang senjata. Al-Sharaa mungkin sibuk berfoto dengan Erdogan, tapi di jalanan, rakyat hanya bisa berharap tak jadi angka statistik berikutnya.
Kunjungan al-Sharaa ke Turki bukanlah yang pertama. Februari lalu, ia sudah bertemu Erdogan, bicara soal rekonstruksi dan keamanan. Hasilnya? Banyak janji, sedikit bukti. Minggu depan, ia akan ulangi ritual yang sama, ditambah perjalanan ke UEA untuk memikat para sheikh dengan dongeng stabilitas Suriah. Di Saudi, ia sudah sempat minum teh bersama Mohammed bin Salman—mungkin sambil bersulang untuk “masa depan yang cerah.” Tapi di Suweida, para aktivis masih menghitung jumlah tulang yang patah, dan keluarga-keluarga terus menanti jenazah yang tak pernah kembali.
Dunia seolah kehilangan pendengarannya. Ironi besar pun hadir: media internasional memuji deklarasi konstitusi itu sebagai “langkah maju,” sementara laporan dari X tentang penculikan dan pembunuhan hanya menjadi angin lalu. Al-Sharaa tampil bak negarawan serius di luar negeri; di dalam negeri, ia diam membisu saat orang-orang bersenjata mendikte kehidupan warga. Mungkin ia berpikir, selama Turki dan UEA masih mau berjabat tangan dan memuji reformasinya, maka suara rakyat yang tercekik di pos pemeriksaan hanyalah gangguan latar belakang. Toh, siapa yang peduli pada bisik-bisik digital di X, kalau panggung dunia lebih gemar menonton sandiwara?
Bayang-bayang perang saudara masih panjang di Suriah. Setelah bertahun-tahun konflik, kekuasaan terpecah di antara milisi, aparat keamanan, dan siapa saja yang cukup nekat atau cukup kaya untuk memegang senjata. Al-Sharaa, yang seharusnya jadi penutup luka itu, malah sibuk memoles citra dan menanam janji di taman diplomasi. Deklarasi konstitusi terdengar hebat di telinga PBB, tapi bagi rakyat yang melihat tetangganya hilang di malam hari, itu tak lebih dari lelucon buruk. Hukum? Keadilan? Hanya jargon yang dipakai saat tidak sedang dibungkam dengan laras panjang.
Lihat saja angka-angkanya—meski tak ada statistik resmi yang bisa dipercaya dari Suriah saat ini. Menurut laporan kelompok HAM seperti Syrian Observatory for Human Rights, ribuan orang hilang sejak konflik mereda, banyak di antaranya diduga diculik oleh kelompok bersenjata atau aparat negara. Di X, warga biasa jadi saksi bisu: satu postingan menyebut 15 jenazah ditemukan di pinggir Damaskus bulan lalu, tanpa penyelidikan, tanpa keadilan. Al-Sharaa mungkin menyebutnya “gangguan kecil” dalam masa transisi, tapi coba tanyakan pada ibu yang kehilangan anaknya dan hanya diberi diam sebagai jawaban.
Sementara al-Sharaa keliling dunia mengoleksi foto dan kontrak, rakyat Suriah hidup dalam teka-teki horor: siapa yang akan hilang berikutnya? Di Homs, pos pemeriksaan lebih mirip gerbang neraka, tempat aktivis seperti Ghada dipukuli karena berani bicara. Di Raqqa, tempat tujuan para aktivis itu, puing-puing perang masih berserakan, tapi al-Sharaa lebih tertarik bicara ekonomi dengan UEA daripada membersihkan kekacauan di dalam negeri. Diplomasi memang mengilap, tapi tak bisa menutupi bau darah yang menempel di aspal Suriah.
Erdogan mungkin akan tepuk tangan saat al-Sharaa menyebut kata “keamanan perbatasan”, tapi apa artinya bagi rakyat yang bahkan tak aman di halaman rumah sendiri? UEA mungkin menjanjikan investasi, tapi uang itu tak akan menyentuh keluarga yang anaknya diculik dan jasadnya dibuang. Al-Sharaa bisa pulang dengan koper penuh janji, tapi di X, cerita yang muncul tetap sama: hukum sudah mati, digantikan kekuasaan laras panjang. Konstitusi? Hanya hiasan dinding bagi mereka yang tak punya peluru—dan tak mampu membeli pelindung.
Jadi, inilah potret Suriah di bawah al-Sharaa: negara dua wajah. Satu wajah tersenyum lebar dalam foto bersama pemimpin dunia, penuh janji masa depan. Wajah lainnya menatap kosong dari balik pos pemeriksaan, dari tepi kuburan massal, dari layar X yang penuh jeritan tak terdengar. Ghada al-Shaarani dan para aktivis Suweida mungkin terus berteriak, tapi suara mereka karam dalam pesta diplomasi yang tak mengundang mereka sebagai tamu.
Ironi terbesarnya? Dunia menonton pertunjukan ini sambil mengunyah popcorn kemunafikan. PBB mungkin akan mengeluarkan pernyataan prihatin yang dirancang rapi oleh humas, lalu lupa setelah dua hari. Turki dan UEA tetap menggelar karpet merah, seolah tak pernah dengar ratapan dari Homs dan Suweida. Sementara itu, rakyat Suriah belajar satu pelajaran yang sangat tua tapi selalu relevan: hukum hanyalah kostum, dan keadilan adalah panggung sandiwara.
Al-Sharaa boleh jadi bintang di konferensi internasional, tapi di rumah, ia hanyalah aktor utama dalam teater absurd—yang naskahnya ditulis dengan tinta janji dan darah rakyat sendiri.
*Sumber: