Connect with us

Opini

Haji, Palestina, dan Luka yang Tertinggal di Mekkah

Published

on

Di tengah kerumunan putih ihram di Masjidil Haram, Mekkah, sebuah momen kecil namun menusuk hati terjadi—diam-diam menyimpan luka yang lebih besar. Seorang jamaah asal Turki, mengenakan bandana Palestina di kepalanya, dihentikan oleh otoritas Saudi sebelum memasuki area suci. Dalam video yang kemudian beredar luas di media sosial, perempuan itu mengisahkan peristiwa yang ia alami.

“Di pintu, seorang petugas wanita meminta saya melepas bandana dari kepala saya. Ketika saya menolak, dia memanggil polisi. Seorang penerjemah datang, tapi mereka tetap tidak mengizinkan saya masuk dengan bandana itu.”

Suara dan wajahnya memuat luka yang dalam. Ia melanjutkan, “Ini adalah tempat kelahiran Islam, dan hari ini Anda tidak bisa mengenakan bandana yang mewakili Gaza—yang melindungi kehormatan Islam. Sangat menyakitkan, sangat menyakitkan. Kita sebagai Muslim harus malu, sangat malu.”

Kalimat-kalimat itu menggema, lebih dari sekadar keluhan personal. Ia seperti mewakili pergolakan batin banyak Muslim di seluruh dunia yang menyaksikan penderitaan Palestina, namun merasa ekspresi dukungan terhadapnya dibungkam, bahkan di tempat paling suci umat Islam.

Sebagai penulis, saya berdiri di tengah pusaran emosi dan pertanyaan ini. Bukan karena saya menciptakan narasi, tetapi karena fakta-fakta ini hadir dan menuntut kita semua untuk merenung lebih dalam: apakah ibadah Haji, yang seharusnya menjadi puncak persaudaraan umat, kini sedang kehilangan ruhnya—terpisah dari realitas kemanusiaan yang begitu mendesak?

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tidak pernah absen menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Sejak invasi Israel ke Gaza kembali terjadi, gelombang simpati datang dari berbagai penjuru negeri. Seperti dicatat oleh Arab Reform Initiative, pemerintah Indonesia mengutuk agresi tersebut secara resmi, sementara masyarakat sipil mengadakan aksi besar-besaran, seperti yang terlihat dalam rally akbar di Jakarta pada November 2023.

Namun justru di tengah ibadah Haji, ketika umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di tanah suci, ekspresi solidaritas itu justru dilarang. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah makna Haji telah dikerdilkan menjadi sekadar ritual, tanpa ruang untuk empati sosial dan tanggung jawab moral terhadap umat yang menderita?

Tentu, Pemerintah Arab Saudi memiliki argumen yang mereka pandang sah. Dalam laporan dari 21st Century Chronicle, mereka menjelaskan bahwa larangan fotografi, video, dan ekspresi politik di situs-situs utama ibadah Haji—termasuk Masjidil Haram dan Masjid Nabawi—ditujukan untuk menjaga suasana damai dan khusyuk.

“Jamaah dilarang mengambil foto atau merekam video di Masjid al-Haram di Mekkah, Masjid an-Nabawi di Madinah, dan lokasi Haji utama,” bunyi pernyataan resmi mereka.

Larangan tersebut, diklaim, berlaku secara umum dan tidak spesifik terhadap simbol Palestina. Bahkan bendera Arab Saudi sendiri tidak boleh dikibarkan di lokasi suci, sebagai bentuk netralitas dari kepentingan nasional masing-masing. Ini adalah bagian dari visi Saudi dalam mengelola Haji sebagai ibadah murni, lepas dari konflik geopolitik apa pun.

Namun di titik inilah, saya merasa ada sesuatu yang hilang—sebuah celah yang membuat kita bertanya lebih dalam. Jika Haji hanya tentang rangkaian ritual fisik tanpa ruang bagi kepekaan nurani terhadap penderitaan umat, apakah itu masih Haji yang diajarkan Rasulullah?

Indonesia, misalnya, memiliki banyak organisasi yang aktif dalam misi kemanusiaan di Palestina, seperti MER-C yang mengelola Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Aktivisme ini bukan sekadar aksi politik, tapi perwujudan nilai Islam itu sendiri: menolong yang tertindas, menyuarakan keadilan, dan menunjukkan kasih sayang antarsesama.

Lalu, di manakah tempat nilai-nilai itu ketika jutaan Muslim berkumpul di satu titik yang sama, dalam satu kesatuan gerakan ibadah terbesar di dunia, namun tidak diperkenankan mengangkat suara, bahkan dalam bentuk sekecil bandana?

Kita tahu bahwa kondisi Gaza bukan sekadar isu politik. Ini adalah krisis kemanusiaan yang terus memburuk. Menurut laporan PBB, hampir 2 juta orang di Gaza menghadapi kelaparan ekstrem. Infrastruktur kesehatan hancur total. Bantuan kemanusiaan sulit masuk karena blokade ketat. Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi korban setiap hari.

Bagi banyak Muslim, kondisi ini bukan hanya persoalan geopolitik, melainkan panggilan nurani. Persoalan moral. Penderitaan rakyat Palestina adalah wajah nyata dari ujian solidaritas kita sebagai umat. Maka ketika seorang jamaah dilarang masuk Masjidil Haram karena mengenakan simbol solidaritas, pertanyaan moral pun mencuat: mengapa ekspresi empati terhadap tragedi kemanusiaan dianggap ancaman bagi kesucian?

Tentu, dari perspektif Saudi, posisi mereka konsisten: menjaga stabilitas dan menghindari potensi konflik di antara jamaah dari latar belakang politik yang berbeda. Mengingat jutaan orang dari lebih 180 negara hadir setiap musim Haji, logika manajemen massa ini memang tidak bisa diabaikan. Tapi, apakah itu cukup? Apakah kesucian benar-benar terjaga jika empati justru dilarang?

Dalam analisis yang lebih luas, seperti ditulis Middle East Monitor, hubungan Saudi dengan isu Palestina memang mengalami pergeseran. Kritik bahwa Riyadh cenderung mendekat ke poros normalisasi dengan Israel tidak bisa dihindari. Meskipun tidak terang-terangan menolak Palestina, kebijakan luar negeri mereka belakangan ini menunjukkan langkah-langkah yang lebih hati-hati, bahkan cenderung pasif.

Namun kritik saya bukan pada posisi geopolitik mereka. Kritik saya adalah pada bagaimana kita sebagai umat harus mempertanyakan: apakah tempat tersuci kita, yang katanya simbol kesatuan umat, bisa bersikap netral terhadap penderitaan yang sangat nyata? Atau netralitas itu justru bentuk ketidakpedulian yang dibungkus dalam jargon spiritual?

Demo besar-besaran yang dilakukan rakyat Indonesia pada 5 November 2023 adalah bukti bahwa semangat solidaritas umat tidak pernah mati. Tapi justru karena itu, rasa frustasi muncul saat semangat yang sama dibungkam di tempat yang seharusnya menjadi puncaknya.

Haji seharusnya bukan sekadar rangkaian ritual formal. Wuquf di Arafah, momen di mana umat Islam berdiri dalam kesamaan nasib dan doa, adalah simbol penghapusan batas-batas—ras, negara, status sosial. Seharusnya, ini juga menjadi momen refleksi kolektif tentang nasib umat yang tertindas. Tentang apa arti persaudaraan sejati. Tentang apa arti “ummatan wahidah.

Jika kita tidak bisa membawa keprihatinan kita ke Arafah, lantas ke mana kita bisa membawanya? Jika kita tidak bisa mengekspresikan empati terhadap Palestina di Mekkah, apakah kita sedang menjadikan kesucian tempat sebagai dalih untuk membungkam hati nurani kita?

Sebagai penulis, saya tidak bisa menutup mata terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Saya tidak sedang menyederhanakan persoalan. Saya tahu bahwa mengelola Haji adalah tantangan besar, kompleks, dan tidak mudah. Tapi saya juga tahu bahwa keheningan kolektif terhadap penderitaan saudara sendiri—di tempat yang katanya lambang kesatuan dan kasih sayang—adalah sesuatu yang menyakitkan. Seperti kata jamaah Turki itu, “Ini sangat menyakitkan.”

Dan luka itu masih tertinggal di Mekkah.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *