Opini
Hadapi Trump, Eropa Terpojok

German Chancellor Olaf Scholz berdiri di podium, berusaha keras menyembunyikan kegelisahan di balik pernyataannya yang berulang-ulang bahwa “tidak boleh ada pembagian tanggung jawab keamanan antara Eropa dan AS.” Namun, bagi yang paham, ini bukan pernyataan percaya diri, melainkan ratapan seorang anak yang baru sadar bahwa pengasuhnya ingin berhenti bekerja. Amerika, terutama di bawah Trump, bukan lagi dermawan murah hati yang akan membayar tagihan perang tanpa imbalan. Dan Eropa? Mereka panik seperti pelanggan restoran mahal yang baru sadar bahwa dompetnya tertinggal di rumah.
Bahkan sebelum rapat NATO di Paris, AS sudah memberi sinyal perubahan. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menyatakan bahwa Washington tak melihat peran bagi NATO dalam jaminan keamanan Ukraina setelah gencatan senjata. Dengan kata lain, jika perang berakhir, Eropa dipersilakan mengurus konsekuensinya sendiri. Keir Starmer dari Inggris mungkin merasa ini adalah saat yang tepat untuk unjuk gigi, dengan menyatakan kesiapan mengirim pasukan. Sayangnya, ini seperti pemuda kampung yang berusaha mengesankan mafia kota besar dengan mengacungkan pisau dapur.
Sementara itu, Polandia yang selama ini tampil sebagai pendukung utama Ukraina, dengan santai menyatakan bahwa mereka tidak berniat mengirim tentara. Perdana Menteri Donald Tusk, yang memahami risiko lebih besar dibanding politisi lain, dengan tenang mengamati keadaan dan tahu bahwa lonceng kematian NATO sudah berbunyi. Ia tidak ingin menjadi pion dalam strategi Amerika yang bisa berubah kapan saja. Hongaria, lebih dari itu, menertawakan pertemuan Paris sebagai pertemuan “para penghasut perang” yang gagal menerima kenyataan bahwa negosiasi AS-Rusia di Saudi mungkin lebih berarti dari semua retorika NATO.
Eropa tampak seperti pecandu yang baru saja mendengar bahwa pemasok favorit mereka akan berhenti menjual barang. Setelah bertahun-tahun bergantung pada AS untuk keamanan dan perlindungan, kini mereka harus menghadapi dunia nyata. NATO yang selama ini digembar-gemborkan sebagai aliansi pertahanan justru terlihat seperti rombongan pengemis diplomatik yang memohon agar AS tidak meninggalkan mereka sendirian. Sungguh ironis, mereka selalu bicara tentang kemandirian strategis, tetapi pada akhirnya tetap menunggu arahan dari Washington sebelum bertindak.
Bagi Trump, ini bukan soal moral atau persahabatan, melainkan bisnis. Jika Eropa ingin keamanan, mereka harus membayarnya. Bukan dengan pernyataan diplomatik kosong, melainkan dengan uang dan komitmen militer yang nyata. Masalahnya, Eropa tak terbiasa mengambil keputusan sendiri, apalagi membayar untuk sesuatu yang selama ini diberikan secara cuma-cuma. Prancis mungkin ingin memimpin, tetapi bahkan Emmanuel Macron tahu bahwa tanpa AS, NATO hanyalah klub diskusi yang tidak akan bertahan lama di medan perang nyata.
Realitas ini menampar keras para pemimpin Eropa yang selama ini merasa berada di sisi yang benar dalam sejarah. Mereka menuduh Rusia agresif, tetapi merekalah yang selama ini bergantung pada kekuatan Amerika untuk menekan Moskow. Kini, dengan Washington mulai menarik diri, mereka harus menghadapi kemungkinan pahit: berkompromi dengan Rusia atau menghadapi konsekuensi ekonomi dan militer yang tak siap mereka tanggung. Dunia berubah, tetapi Eropa tampaknya tidak siap untuk berubah bersamanya.
Sementara di Moskow, Vladimir Putin mungkin hanya duduk santai dengan secangkir teh, menyaksikan para pemimpin NATO berdebat tanpa arah. Washington dan Moskow kini bermain catur, sementara Eropa masih mencoba memahami aturan permainan. Ketika akhirnya mereka sadar, mungkin sudah terlambat. NATO bukan lagi aliansi yang kuat, tetapi sekadar sisa-sisa kejayaan lama yang kini tersandera oleh ego, ketakutan, dan ketidakpastian.