Connect with us

Opini

Habis Madleen, Terbitlah Sumud

Published

on

Ribuan relawan dari Afrika Utara menggerakkan diri mereka menuju Gaza, bukan lewat dunia maya, bukan lewat siaran langsung atau tren sesaat, tapi dengan tubuh mereka sendiri. Pada 9 Juni lalu, mereka meluncurkan konvoi darat bernama Sumud—sebuah kata dalam bahasa Arab yang berarti keteguhan, ketahanan, atau resilience. Para peserta berasal dari Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, dan Libya. Di tengah sunyinya dunia Arab dan beku-nya jalur kemanusiaan resmi, langkah ini bagai suara keras dari rakyat biasa yang menolak tunduk pada kebisuan yang dipelihara penguasa.

Mereka bukan tentara. Mereka bukan pemegang senjata. Mereka adalah dokter, jurnalis, aktivis muda, buruh, dan orang-orang yang membawa keyakinan lebih berat dari tas ransel yang mereka pikul. Konvoi Sumud ini bukan karavan bantuan biasa. Ia adalah ekspresi politik sipil yang sangat langka di era normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan zionis. Ini adalah tindakan yang berdiri di luar diplomasi resmi, dan justru karena itu, menjadi sangat bermakna.

Beberapa hari sebelumnya, dunia menyaksikan bagaimana kapal Madleen yang berisi 12 aktivis dari berbagai negara disergap dan ditahan oleh tentara zionis. Kapal kecil itu, bagian dari Freedom Flotilla Coalition, hanya membawa bantuan dan niat kemanusiaan, tapi ditanggapi dengan senapan dan penjara. Dunia menyaksikan. Dunia mencatat. Tapi dunia juga diam. Ketika Madleen disergap, yang terusir bukan hanya kapal itu, tapi juga harapan untuk mengirim bantuan melalui laut. Dan di sanalah Sumud mengambil tempatnya: sebagai respons langsung terhadap penyegelan laut oleh zionis, dan ketertutupan pintu Rafah oleh Mesir.

Cairo, hingga saat ini, belum memberi izin bagi konvoi Sumud untuk melintasi perbatasan menuju Gaza. Tapi itu tak menghentikan mereka. Konvoi terus berjalan, berangkat dari kota-kota seperti Tunis, Sousse, dan Sfax. Semakin hari, konvoi ini bertambah panjang. Dari Libya ia akan mendekat ke Rafah, menyusuri tanah yang bisa jadi akan menolaknya, namun tak mampu menghentikan niat di balik langkah-langkahnya. Lebih dari 7.000 relawan dari kawasan Maghreb telah mendaftarkan diri untuk ikut serta. Ini bukan angka kecil, apalagi di tengah risiko yang begitu nyata.

Tentu saja ini bukan hanya tentang fisik dan perjalanan darat. Ini tentang simbol, tentang perlawanan moral, tentang mengingatkan kita semua—yang terlalu sering merasa tak berdaya—bahwa tindakan sipil, jika terorganisir dan didorong oleh niat murni, bisa menjadi kekuatan nyata. Sumud adalah cermin: apakah kita, yang mengaku peduli pada Gaza, hanya akan terus berada dalam lingkaran kata dan keluhan, atau mulai berani melangkah ke arah nyata?

Pertanyaannya pun mengarah kepada kita di Indonesia. Negeri dengan sejarah panjang solidaritas terhadap Palestina, dengan puluhan aksi jalanan, penggalangan dana, dan seruan ulama dari mimbar ke mimbar. Tapi berapa banyak dari aksi itu yang berani mendekati wilayah sengketa? Berapa banyak yang berubah menjadi tekanan diplomatik konkret terhadap negara-negara penutup jalur bantuan? Atau apakah kita, tanpa sadar, hanya bermain aman di zona nyaman retorika?

Gaza kini disebut sebagai tempat paling lapar di muka bumi. Laporan PBB menyebutnya dalam ambang kelaparan massal. Lebih dari 54.000 orang telah terbunuh sejak Oktober lalu, dan langit Gaza—tempat semestinya bantuan udara bisa mendarat—masih ditutup rapat. Jalur laut diblokade. Jalur darat ditekan. Setiap akses disandera oleh kekuatan kolonial yang tak pernah puas, sementara lembaga internasional terlalu takut atau terlalu lemah untuk memaksa.

Dalam situasi seperti ini, Sumud bukan sekadar berita. Ia adalah penanda bahwa suara rakyat belum sepenuhnya padam. Ketika institusi besar gagal, rakyat mengambil alih. Ketika negara-negara Arab memilih diam, rakyat dari kota-kota Tunisia memulai perjalanan. Dan saat para elit dunia sibuk menyusun diplomasi tak bergigi, para relawan ini menyusun rute menuju Rafah dengan peta dan keyakinan.

Yang paling mencolok dari gerakan ini adalah dukungan institusional dalam negeri Tunisia. General Labour Union, Serikat Jurnalis, hingga Liga Pembela Hak Asasi Manusia semuanya berdiri bersama Sumud. Ini bukan aksi pinggiran. Ini bukan gerakan pinggiran. Ini adalah ekspresi kolektif sebuah bangsa yang tidak ingin ikut berdosa dalam pembiaran genosida. Pertanyaannya, mengapa inisiatif seperti ini tidak muncul dari kawasan Arab yang lebih dekat ke Palestina? Atau dari negara-negara Islam besar lainnya?

Di tengah konvoi Sumud, tersimpan juga ujian untuk Mesir. Apakah Mesir akan kembali memainkan peran sebagai pagar Gaza? Ataukah justru bersedia membuka pintu dan memberi jalan bagi mereka yang membawa harapan dan bantuan? Dunia memperhatikan. Tapi rakyat jauh lebih memperhatikan.

Apa yang dilakukan Sumud dan sebelumnya Madleen, sebetulnya adalah bentuk perlawanan yang sangat kontekstual hari ini. Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa tekanan moral yang tajam. Mereka tak mendobrak dengan peluru, tapi dengan kehadiran. Dalam dunia yang menganggap politik hanya milik elit, aksi seperti ini menunjukkan bahwa rakyat masih bisa bergerak—dan bisa memaksa dunia mendengarkan.

Di Indonesia, kita sering melihat solidaritas untuk Palestina dikemas dalam bentuk konser amal, doa bersama, atau aksi unjuk rasa. Semua itu baik dan penting. Tapi Sumud dan Madleen memberi pelajaran bahwa tindakan langsung punya daya tekan lebih besar. Sudah saatnya solidaritas kita naik kelas. Tidak hanya simbolik, tetapi strategis. Bukan hanya berkumpul, tapi bergerak. Bukan hanya bicara, tapi berani mengambil risiko.

Akhirnya, kita harus bertanya: apakah kita akan terus berdiam sambil menonton konvoi Sumud dari layar ponsel kita? Ataukah kita akan merancang langkah serupa, dengan karakter dan kapasitas kita sendiri? Kita punya pemuda, kita punya jaringan LSM, kita punya pengaruh di kawasan Asia Tenggara. Tapi kita juga harus punya keberanian, sebagaimana yang ditunjukkan oleh mereka yang kini menapaki jalan tandus menuju Gaza.

Madleen telah disergap. Tapi Sumud lahir sebagai jawabannya. Dan mungkin, di tengah semua kesuraman ini, Sumud bisa menjadi cahaya kecil yang menyadarkan dunia: bahwa rakyat masih punya daya, selama mereka tak kehilangan nurani.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *