Connect with us

Opini

Greenland Bukan Properti Trump!

Published

on

Beberapa minggu terakhir, dunia kembali dikejutkan oleh serangkaian pernyataan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali menyoroti ketertarikannya untuk menguasai Greenland. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin terdengar seperti sebuah lelucon. Namun, bagi Greenland dan para penduduknya, itu jauh lebih serius. Meskipun demikian, hasil polling terbaru mengungkapkan sesuatu yang mencengangkan: 85% orang Greenland menolak untuk bergabung dengan AS.

Dalam beberapa pernyataan publik, Trump dengan percaya diri mengklaim bahwa “Greenland ingin bersama kami,” dan bahkan mengatakan, “Saya rasa kita akan memilikinya.” Mengutip fakta bahwa 57.000 penduduk Greenland seharusnya menginginkan menjadi bagian dari Amerika, Trump tampaknya percaya dirinya sebagai pahlawan pembebasan untuk wilayah yang secara jelas menolak tawarannya. Namun, kenyataannya justru berbalik: mayoritas rakyat Greenland lebih memilih tetap menjadi bagian dari Denmark daripada menerima tawaran AS.

Ternyata, ketertarikan Trump terhadap Greenland bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan pertama, ia bahkan menyarankan untuk membeli pulau terbesar di dunia ini. Namun, ketika Denmark menolaknya dengan tegas, Trump tak hanya kecewa, ia bahkan mempertimbangkan untuk memberlakukan tarif tinggi pada Denmark. Inilah yang disebut sebagai diplomasi versi Trump: intimidasi dengan “ancaman” yang tak lagi terasa lucu, tetapi malah memunculkan pertanyaan besar tentang ketidakmampuan berkomunikasi dengan cara yang lebih sopan.

Namun, ketidaksetujuan terhadap tawaran Trump ternyata bukan hanya masalah penolakan dari pihak Greenland saja. Dalam laporan terbaru, seorang anggota legislatif Rusia, Vitaly Milonov, mengajukan ide yang tak kalah aneh. Ia menyarankan agar Greenland bergabung dengan Rusia, dengan alasan bahwa penduduk Greenland memiliki bahasa yang mirip dengan penduduk Inuit di Siberia. Mengusulkan sebuah negara untuk bergabung dengan negara lain atas dasar kesamaan bahasa mungkin terdengar absurd, tetapi di dunia politik global, siapa yang bisa menebak apa yang akan datang berikutnya?

Sementara itu, situasi ini justru menciptakan kesempatan langka bagi pemimpin Denmark, Mette Frederiksen, untuk memainkan peran diplomatik yang hati-hati. Ia dengan bijaksana memilih untuk menghindari konfrontasi langsung dengan Trump dan memilih untuk “berdiam diri” di tengah persaingan besar antara Amerika Serikat dan Rusia. Frederiksen tampaknya tahu betul bahwa melawan Trump secara terbuka bukanlah langkah yang bijaksana, apalagi jika dipertimbangkan dengan risiko ekonomi dan politik yang tinggi.

Hal yang lebih menarik lagi, hasil survei terbaru yang mengungkapkan 85% penolakan rakyat Greenland terhadap usulan Trump ini jelas menunjukkan bahwa tidak semua tawaran yang datang dengan klaim besar bisa diterima begitu saja. Bahkan, dengan iming-iming yang tampaknya menguntungkan, rakyat Greenland tetap teguh pada keputusan mereka untuk tetap mempertahankan kemerdekaan dan status mereka sebagai bagian dari Denmark. Hal ini tentunya menunjukkan adanya rasa bangga dan kecintaan terhadap identitas mereka yang tidak bisa ditawar dengan janji manis dari luar.

Tak hanya itu, keputusan untuk menanggapi masalah ini dengan “diam” dari Eropa, termasuk NATO dan Uni Eropa, semakin menunjukkan bahwa dunia sedang berada di tengah krisis diplomasi yang lebih besar. Pada akhirnya, Greenland tetap menjadi milik rakyatnya, bukan sekadar bidikan dari negara-negara besar yang berpikir bahwa ukuran mereka memberikan mereka hak untuk menguasai apa yang mereka inginkan.

Lalu, dalam kenyataannya, apa yang lebih menarik? Sebuah pulau yang terisolasi di tengah Samudra Arktik ini lebih banyak diperebutkan oleh negara-negara besar atau kehendak dari orang-orang yang tinggal di sana? Mungkin inilah saatnya kita lebih berhati-hati dalam mendefinisikan siapa yang berhak atas tanah dan negara. Tentu saja, jawabannya tidak ada dalam transaksi jual beli yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan, jika Trump benar-benar ingin menguasai Greenland, ia mungkin harus belajar satu pelajaran penting: rakyat Greenland bukan objek yang bisa diperlakukan sebagai properti politik.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *