Connect with us

Opini

Gideon’s Chariots: Gaza Berdarah di Tengah Diplomasi Buntu

Published

on

Minggu ini, dunia kembali menahan napas. Militer Israel mengumumkan dimulainya serangan darat besar-besaran di Gaza utara dan selatan, sebuah eskalasi baru yang mereka namai “Operasi Gideon’s Chariots”. Di balik nama yang megah, tersimpan realitas mengerikan: ratusan nyawa melayang, rumah sakit lumpuh, dan warga sipil terjebak dalam kobaran perang. Laporan Al Mayadeen mencatat lebih dari 150 warga Palestina tewas sejak fajar, angka yang menyayat hati. Kita, yang menyaksikan dari jauh, mungkin bertanya: sampai kapan siklus ini berulang? Apa yang tersisa dari kemanusiaan di tengah deru bom dan diplomasi yang buntu?

Di sebuah warung kopi di Jakarta, pagi ini, saya membaca berita itu sambil mendengar obrolan pelanggan tentang harga beras dan banjir. Dunia Gaza terasa jauh, tapi penderitaannya begitu dekat, menyusup ke relung hati. Operasi ini, kata juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IOF), didahului oleh 670 serangan udara yang menghantam Gaza sepanjang pekan. Tujuannya? Melemahkan perlawanan Palestina, terutama Hamas, sebelum pasukan darat merangsek masuk. Tapi, benarkah kekuatan militer bisa memadamkan semangat perlawanan? Atau justru menyalakan bara yang lebih besar? Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, menyebut situasi di sana “katastrofik”. Rumah sakit, seperti Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahia, kini tak lagi berfungsi—diblokade, diserang, dan ditinggalkan tanpa pasokan. Ambulans, yang seharusnya jadi penyelamat, mati kehabisan bahan bakar. Tiga perempatnya tak bisa bergerak. Bayangkan, seorang ibu yang melahirkan di tengah puing, tanpa bantuan medis, hanya bisa berdoa.

Di Gaza, kelaparan bukan sekadar kata. Basal bilang, ribuan orang tidur tanpa sepotong roti. Airstrike di al-Manshiyah Street, Beit Lahia, merenggut nyawa seorang wanita. Di selatan, di al-Fukhari, Khan Younis, seorang warga lain jadi korban. Ini bukan sekadar statistik; ini nyawa, cerita, dan mimpi yang terputus. Al Mayadeen melaporkan tiga pembantaian dalam hitungan jam, dengan korban diperkirakan mencapai 150 jiwa. Israel menargetkan rumah sakit, menabrak norma kemanusiaan internasional. Di Indonesia, kita pernah merasakan getirnya konflik, meski tak sama. Di Aceh atau Maluku, kita tahu betapa luka perang tak pernah sembuh sepenuhnya. Tapi Gaza? Skalanya lain. Ini adalah pengepungan sistematis, di mana warga sipil tak punya tempat lari.

Namun, di tengah deru perang, ada suara lain: negosiasi. Di Doha, Qatar, Hamas dan Israel kembali duduk—meski tak langsung—untuk membahas gencatan senjata dan pertukaran tawanan. Taher el-Nounou, pejabat senior Hamas, menegaskan pihaknya masuk tanpa syarat, siap menyuarakan tuntutan: akhir perang, penarikan Israel, dan pertukaran tahanan yang menyeluruh. Tapi Israel, kata sumber Al Mayadeen, bersikukuh pada pembebasan tawanan sebagai bagian dari tahap transisi, bukan kesepakatan penuh. Ini seperti dua petinju yang tak mau mundur, masing-masing yakin strategi mereka benar. Tapi, siapa yang membayar harganya? Warga Gaza, yang kini mengungsi massal dari utara, berlari dari bom yang tak pandang bulu.

Ada yang mencengangkan dari laporan ini. Seorang pejabat militer Israel, berbicara kepada Yedioth Ahronoth, mengaku operasi ini tak punya rencana jelas soal tawanan. “Pernyataan umum,” katanya, tanpa strategi konkret. Ini mengguncang. Setelah setahun lebih konflik, dengan blokade dan bombardemen tanpa henti, Israel masih tak punya peta jalan untuk misi yang mereka klaim penting: memulihkan tawanan. Apakah ini soal kelemahan strategi atau prioritas yang bergeser? El-Nounou menuding Benjamin Netanyahu sengaja memperpanjang perang untuk bertahan secara politik. “Netanyahu akan dikenang sebagai penjahat terbesar dalam sejarah,” katanya. Tuduhan itu tajam, tapi tak sepenuhnya kosong. Di Indonesia, kita paham bagaimana politik bisa mengorbankan rakyat—lihat saja drama korupsi yang tak kunjung usai.

Di sisi lain, Hamas tak kalah keras. Mereka menolak kesepakatan bertahap, tak mau bicara soal perlucutan senjata atau pengusiran pemimpin mereka. “Kami tak akan terima perjanjian yang terbagi-bagi,” tegas el-Nounou. Ini prinsip, tapi juga risiko. Dengan rumah sakit lumpuh dan kelaparan merajalela, berapa lama lagi warga Gaza bisa bertahan? Mahmoud Mardawi, pejabat Hamas lain, bilang negosiasi Doha punya momentum karena tak ada syarat awal. Tapi, kebuntuan tetap mengintai. Israel ingin tawanan pulang tanpa mengakhiri perang; Hamas ingin perang berhenti sepenuhnya. Di tengah ini, AS terlibat, berdialog langsung dengan Hamas—langkah langka, menurut Reuters dan AFP. Ini menandakan tekanan global, tapi el-Nounou skeptis: “Jika AS serius, mereka punya alat untuk tekan Israel.” Benarkah? Atau ini cuma permainan diplomasi di atas penderitaan rakyat?

Saya teringat diskusi di kampus dulu, saat teman-teman di Jakarta berdebat soal konflik Palestina. Ada yang bilang ini soal agama, ada yang bilang politik, tapi semua setuju: warga sipillah yang selalu jadi korban. Operasi Gideon’s Chariots, dengan segala kemegahannya, tampak seperti taruhan besar Israel untuk mendominasi militer sambil memaksa Hamas di meja perundingan. Tapi, laporan Al Mayadeen menunjukkan sebaliknya. Hamas tak goyah, malah menuduh Israel sengaja membantai warga saat negosiasi untuk menaikkan “harga darah”. Taktik ini, kalau benar, keji. Tapi efektifkah? Setelah setahun lebih perang, Hamas masih berdiri, negosiasi masih buntu, dan Gaza kian hancur. Di warung tadi, seorang bapak tua bilang, “Perang itu cuma untungkan yang di atas.” Mungkin dia tak salah.

Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam. Apa yang dicari Israel dengan operasi ini? Kekuatan? Kontrol? Atau sekadar kelangsungan politik Netanyahu, seperti tuduhan Hamas? Dan Hamas, dengan keteguhannya, apakah mereka memikirkan warga yang kelaparan, yang tak punya obat? Di Indonesia, kita sering bicara solidaritas untuk Palestina—di masjid, di media sosial, di demonstrasi. Tapi, apa artinya solidaritas kalau dunia tak bisa hentikan mesin perang ini? Laporan Al Mayadeen menyebut rumah sakit di Gaza utara kini nol, semua lumpuh. Ambulans tak bergerak, anak-anak mati di puing. Ini bukan sekadar konflik; ini krisis kemanusiaan yang menampar muka kita semua.

Di Doha, harapan tipis masih ada. Negosiasi berlanjut, dengan AS, Qatar, dan pihak lain mencoba menjembatani. Tapi, seperti kata Mardawi, hasilnya tergantung “keseriusan Israel”. Sementara itu, bom masih jatuh, dan warga Gaza masih lari. Kita bisa bertanya: apakah kemenangan militer layak atas harga ini? Atau, seperti yang dikatakan pejabat Israel itu, akankah negosiasi jadi satu-satunya jalan untuk bawa pulang tawanan—dan, mungkin, damai? Saya menutup ponsel, menatap kopi yang sudah dingin. Di luar, Jakarta bergerak seperti biasa. Tapi di Gaza, waktu terasa berhenti, terkunci dalam siklus yang tak kunjung usai.

Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–announces-gaza-ground-invasion-amid-doha-talks

https://english.almayadeen.net/news/politics/gaza-genocide-worsens–hospitals-shut-down—150-martyrs-in

https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–commits-massacres-during-talks-to-pressure-hamas–o

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *