Opini
GHF: Jebakan Maut Israel Dibalut Skema Bantuan

Malam itu, Gaza tak bersuara, tapi jeritannya menembus langit. Di antara tenda-tenda pengungsian di Khan Younis, di bawah langit yang telah terlalu sering menyaksikan kilatan rudal dan peluru, tubuh-tubuh kecil tergeletak tak bernyawa. Enam di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun. Mereka bukan pejuang. Mereka bukan ancaman. Mereka adalah anak-anak yang tidur dalam pelukan ibunya, berharap malam itu bisa tenang, seperti anak-anak lain di dunia. Tapi di Gaza, tidur pun bisa membawa maut.
Seorang ibu bernama Intisar Abu Assi memeluk jenazah anak-anaknya, mengguncang tubuh mereka yang tak lagi bernyawa, memanggil dengan tangis, “Anakku… anakku… kekasihku…” Tapi tak ada jawaban. Tak akan pernah ada.
Di tengah reruntuhan yang dulunya adalah kamp pengungsian, 13 anggota keluarganya tewas dalam satu serangan. Dalam satu hembusan roket, satu keluarga lenyap. Dunia mencatat itu sebagai statistik. Tapi di Gaza, itu adalah sejarah trauma yang hidup di dada ribuan orang lainnya. Hari ini keluarga Abu Assi, besok keluarga siapa lagi?
Ketika rasa lapar membunuh lebih cepat daripada peluru, kita tahu bahwa perang ini telah berubah bentuk. Serangan udara dan tembakan Israel yang menewaskan 94 warga Palestina, 45 di antaranya saat sedang mencari bantuan kemanusiaan, adalah tanda paling nyata dari kebrutalan yang telah menjelma menjadi rezim kelaparan. Mereka mati bukan karena mengangkat senjata, tetapi karena mengangkat tangan memohon sebutir roti. Dan bagi mereka yang masih hidup, hidup kini seperti berjalan di ladang ranjau: tak ada tempat aman, tak ada waktu tenang, tak ada jaminan esok hari.
Anak kecil bernama Heba Abu Etiwi, usianya enam tahun, tewas saat sebuah serangan menghantam sebuah kedai kecil penjual falafel. Kakaknya memeluk tubuhnya di kamar mayat, mengelus wajahnya yang pucat, mencoba menyambung kembali kehangatan yang telah dicuri oleh api dan logam. Dunia melihat ini sebagai “efek samping” dari konflik. Tapi bagi mereka, itu adalah pusat dunia yang runtuh. Heba tidak pernah tahu kenapa ia harus mati.
Ironisnya, banyak dari mereka tewas saat mencoba mengakses bantuan makanan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah organisasi yang katanya dibentuk untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, tetapi kenyataannya lebih sering menjadi ladang pembantaian. Bayangkan ini: seseorang berdiri dalam antrean, di tengah panas yang membakar dan debu yang menyesakkan, hanya untuk mendapatkan sekotak makanan. Lalu peluru menghantam dadanya. Bayangkan itu terjadi bukan sekali, tapi ratusan kali.
Lebih dari 500 warga Palestina tewas sejak sistem distribusi GHF diberlakukan. Amnesty International menyebut sistem ini sebagai “jebakan mematikan”, dan Israel, menurut mereka, “menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.” Ini bukan tuduhan kosong. Ini adalah realitas yang bisa disaksikan setiap hari dari rekaman video warga, laporan rumah sakit, dan jeritan di kamar mayat.
Israel membela diri, mengatakan bahwa mereka hanya menembakkan “tembakan peringatan”. Tapi bagaimana bisa ada tembakan peringatan yang menembus dada? Bagaimana bisa peluru diarahkan ke kerumunan orang lapar dan disebut “pengendalian massa”? Dan lebih buruk lagi, organisasi ini dijaga oleh kontraktor militer Amerika Serikat. Bantuan yang mestinya menjadi jembatan hidup kini dikawal oleh senapan laras panjang.
GHF mengklaim telah membagikan lebih dari 52 juta porsi makanan. Tapi apa artinya angka itu jika sebagian besar rakyat Gaza tak pernah merasakannya? Di pasar-pasar, bantuan itu dijual kembali dengan harga yang melambung tinggi. Yang kuat mengambil dua, tiga, lima kotak. Yang lemah pulang dengan tangan kosong—atau tak pulang sama sekali. Sistem ini bukan hanya gagal, ia menjadi alat pendisiplinan yang kejam: lapar atau mati.
Padahal sebelum GHF, ada jaringan bantuan kemanusiaan PBB yang relatif berjalan. Tapi Israel membatasinya dengan dalih “Hamas menyalahgunakan bantuan”. Bahkan jika itu benar, apakah jawabannya adalah menggantinya dengan sistem yang membunuh warga sipil? Membakar sekolah? Menembaki orang-orang yang berdiri di depan truk bantuan?
Israel dan sekutunya terus menolak tuduhan genosida. Tapi mari kita sebut ini sebagaimana adanya. Apa yang terjadi di Gaza adalah penghukuman kolektif terhadap seluruh bangsa. Lebih dari 57.000 orang tewas sejak perang dimulai Oktober 2023, dan lebih dari separuhnya adalah perempuan dan anak-anak. Sembilan puluh persen penduduknya telah mengungsi. Rumah, sekolah, rumah sakit, masjid—semua jadi sasaran. Kota berubah jadi puing. Anak-anak kehilangan masa depan sebelum sempat bermimpi.
Pemerintah Israel mengatakan bahwa Hamas adalah ancaman karena beroperasi di kawasan sipil. Tapi jika alasan itu cukup untuk melegalkan pembunuhan massal, maka seluruh konsep hukum perang dan hak asasi manusia menjadi tidak relevan. Jika memburu musuh berarti menghancurkan seluruh kota, maka kita telah kembali ke zaman barbar.
Dan dunia? Dunia menonton. Dunia berunding. Dunia mengutuk, lalu melupakan. AS mengusulkan gencatan senjata 60 hari. Trump bilang sudah waktunya Hamas menyerah, seolah-olah penghancuran total Gaza bukanlah bentuk penyerahan yang dipaksakan. Gencatan senjata bukan lagi soal damai, tetapi soal waktu: waktu untuk bernapas sebelum pembantaian berikutnya dimulai lagi.
Setiap kali Israel dihentikan, mereka berjanji akan “memfasilitasi lebih banyak bantuan.” Tapi truk-truk bantuan yang masuk hanya sekitar 28 per hari—padahal dibutuhkan ratusan. Gaza adalah penjara terbuka terbesar di dunia, dan truk-truk itu seperti tetesan air di tengah padang pasir. Cukup untuk membuat hidup tetap ada, tapi tidak cukup untuk membuatnya layak.
Kita tidak bisa lagi menyebut ini sebagai “konflik”. Kata itu terlalu netral, terlalu halus. Ini adalah penjajahan modern yang memakai bahasa kemanusiaan sebagai kamuflase. Ini adalah bentuk genosida yang berlangsung di hadapan kamera, di abad informasi, dengan narasi yang dikontrol oleh mereka yang kuat. Gaza adalah luka terbuka di wajah dunia, dan setiap hari kita melihatnya menganga lebih lebar.
Apa gunanya dunia jika ia tak mampu menyelamatkan seorang anak dari kelaparan? Apa gunanya hukum internasional jika tak bisa menghentikan sebuah rezim yang menembaki anak-anak yang mengantre makanan?
Gaza bukan sekadar korban perang. Gaza adalah cermin dari dunia yang telah kehilangan nurani.
Dan ketika kita diam, kita pun ikut berdosa.