Opini
Getaran Rudal Yaman ke Jantung Israel

Sirene meraung di malam yang kelam, mengguncang wilayah luas di tanah yang dikuasai Israel, dari Tel Aviv hingga permukiman-permukiman di selatan Tepi Barat. Selasa malam itu, seperti dilaporkan sejumlah media Israel, lebih dari 139 titik didera kepanikan saat rudal balistik meluncur dari Yaman, menargetkan Bandara Ben Gurion.
Bandara itu bukan sekadar terminal internasional. Ia adalah simbol konektivitas, bukti keterhubungan Israel dengan dunia luar. Malam itu, simbol itu runtuh sementara. Operasional bandara lumpuh, penerbangan dialihkan, dan jutaan warga terpaksa berlarian mencari perlindungan. Bayangkan, di tengah tidur lelap, sirene memekik tajam, memaksa keluarga-keluarga terbangun dan berdesakan di bunker dengan detak jantung yang tak beraturan. Dan ini bukan kali pertama—dalam 24 jam, ini adalah serangan kedua yang mengguncang kota dan warganya.
Kenyataan ini menyisakan kegelisahan besar. Sebuah negara yang selama ini dikenal dengan sistem pertahanan canggihnya kini terlihat rentan oleh serangan dari negeri ribuan kilometer jauhnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Yaman, melalui pernyataan resmi Angkatan Bersenjata-nya, mengklaim serangan tersebut sebagai bagian dari “operasi militer kualitatif.” Mereka menyebut penggunaan rudal hipersonik “Palestine-2” yang diarahkan secara presisi ke Bandara Ben Gurion sebagai respons atas apa yang mereka sebut “genosida” yang dilakukan Israel di Gaza.
Dalam laporan yang dikutip oleh media Al Mayadeen, klaim itu disampaikan dengan penuh keyakinan. Rudal dikatakan tepat sasaran, memaksa evakuasi massal dan mengacaukan aktivitas bandara hingga menyebabkan pesawat kargo militer AS batal mendarat selama dua hari berturut-turut.
Namun di sisi lain, media Israel seperti Channel 12 memberikan narasi berbeda. Menurut mereka, rudal berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara, meski puing-puing dari intersepsi itu jatuh di berbagai wilayah dan memicu peringatan tambahan di kawasan utara.
Siapa yang benar? Bisa jadi keduanya benar—dalam versinya masing-masing. Yang tak terbantahkan adalah kenyataan bahwa gangguan ini nyata: Bandara Ben Gurion lumpuh, warga berhamburan ke tempat perlindungan, dan Israel terlihat tertekan, bukan hanya oleh kerusakan fisik, tapi oleh getaran psikologis yang terus-menerus menggoyang rasa aman mereka.
Sejak 18 Maret 2025, laporan menunjukkan bahwa Yaman telah meluncurkan sedikitnya 44 rudal balistik dan 10 drone ke arah wilayah pendudukan Israel. Angka ini bukan hanya statistik dingin, melainkan cerminan dari keteguhan militer Yaman—yang didukung oleh kelompok Ansarullah—untuk terus menekan meskipun banyak dari proyektil tersebut gagal mencapai target utamanya.
Brigadir Jenderal Yahya Saree, juru bicara militer Yaman, dalam salah satu pernyataannya menyebut serangan rudal Zulfiqar “tepat sasaran,” mengacaukan aktivitas bandara dan memaksa jutaan warga Israel mencari perlindungan. Klaim ini tentu bisa diperdebatkan dan mungkin dibesar-besarkan. Namun, dampak psikologisnya sulit diabaikan.
Bayangkan warga Tel Aviv, yang selama ini hidup dengan kepercayaan penuh terhadap Iron Dome dan sistem pertahanan Arrow. Kini, mereka harus berulang kali turun ke bunker. Ketegangan itu bukan lagi soal teknologi, tetapi soal ketahanan mental yang perlahan-lahan terkikis oleh ketidakpastian yang tak kunjung usai.
Apa yang sedang kita saksikan bukan hanya konfrontasi militer, tapi juga sebuah bentuk dari perang asimetris. Di mana satu pihak, dalam hal ini Israel, harus mengeluarkan biaya luar biasa besar untuk mempertahankan wilayahnya, sementara pihak lain cukup dengan rudal-rudal berbiaya lebih rendah untuk menciptakan kepanikan dan ketidakstabilan.
Satu rudal sistem Arrow Israel, misalnya, dikabarkan bisa menelan biaya jutaan dolar. Sementara rudal-rudal yang dikembangkan oleh Ansarullah, yang kemungkinan besar mendapat dukungan teknis dari Iran, memiliki biaya produksi jauh lebih rendah. Dengan logika sederhana, Ansarullah tak perlu menang secara militer. Mereka cukup membuat kekacauan, mengganggu penerbangan, menutup bandara, dan menanam rasa takut ke dalam masyarakat sipil Israel.
Menteri Pertahanan Yaman, Mohammad Nasser al-Atifi, bahkan menyatakan bahwa kemampuan ofensif mereka terus meningkat—baik dari segi jangkauan maupun akurasi. Jika klaim penggunaan rudal hipersonik benar adanya, ini menjadi penanda bahwa teknologi militer Iran mulai memberi tantangan serius terhadap supremasi teknologi Barat yang selama ini menjadi tulang punggung kekuatan militer Israel.
Mahdi al-Mashat, Ketua Dewan Politik Tertinggi Yaman, juga mengeluarkan pernyataan yang semakin mempertegas ancaman ini. Ia menyatakan bahwa rute udara dan laut yang digunakan oleh Israel kini dianggap sebagai “zona berbahaya.” Pernyataan ini bukan gertakan semata. Sebab serangan udara Israel ke Bandara Sanaa beberapa hari sebelumnya justru memicu peringatan keras dari al-Mashat: “Bunker tak lagi aman.”
Di titik ini, kita bisa melihat bahwa konflik ini tak lagi dibatasi oleh garis pertempuran konvensional. Ini adalah perang lintas batas, lintas zona waktu, dan lintas arena: dari darat hingga udara, dari ruang tempur hingga psikologi warga sipil.
Di Indonesia, kita mungkin bisa membayangkan seperti apa rasanya hidup dengan ancaman serangan berulang, meskipun konteksnya sangat berbeda. Saat Gunung Agung meletus pada 2017, Bandara Ngurah Rai ditutup, ribuan wisatawan terlantar, dan warga lokal hidup dalam kecemasan akan letusan susulan.
Namun perbedaan pentingnya: ancaman di sana berasal dari alam. Sedangkan yang terjadi di Israel adalah akibat konflik politik dan militer dengan dimensi ideologis yang jelas. Ansarullah tidak hanya meluncurkan rudal. Mereka juga menyampaikan pesan: ini adalah bentuk solidaritas terhadap Palestina, sebagai kecaman atas kelaparan di Gaza, penodaan terhadap Masjid Al-Aqsa, dan “kejahatan kemanusiaan” yang diklaim dilakukan Israel.
Serangan ini telah menggema hingga ke komunitas Muslim internasional, termasuk di Indonesia, yang dalam beberapa bulan terakhir rutin menggelar aksi solidaritas untuk Palestina. Ada resonansi emosional yang menyatu antara dunia Muslim dan konflik di Timur Tengah, bahkan jika aksi yang dilakukan Houthi kadang dipertanyakan dalam hal taktik dan legitimasi hukumnya.
Namun, mari kita tarik napas sejenak dan bertanya: apakah serangan ini benar-benar mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan?
Secara militer, Israel masih memiliki keunggulan. Sistem pertahanan udara mereka—Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow—mampu menahan sebagian besar ancaman. Namun biaya menjaga “rasa aman” itu semakin tinggi. Dan perang tidak hanya dimenangkan di medan laga. Ia juga dimenangkan dalam benak masyarakat, dalam keyakinan akan superioritas, dan dalam ketahanan menghadapi gempuran yang terus-menerus.
Inilah medan tempur yang mulai dikuasai oleh pihak seperti Ansarullah: mereka menciptakan gangguan, menyusup ke relung psikologis, dan menanamkan ketidakpastian sebagai senjata utama.
Jika hari ini Tel Aviv terhuyung oleh rudal dari Sanaa, apa jaminan bahwa kota-kota lain di dunia akan selalu aman dari ancaman serupa? Kita bisa membayangkan dampaknya seandainya, misalnya, pelabuhan Tanjung Priok atau Bandara Soekarno-Hatta diserang secara tiba-tiba. Seluruh roda logistik nasional bisa lumpuh, ekonomi terguncang, dan masyarakat berada dalam kepanikan massal.
Apa yang terjadi di Timur Tengah bukanlah cerita yang jauh dan terpisah dari kita. Ia adalah cerminan dunia yang berubah, dunia yang semakin kompleks, dunia di mana rasa aman bisa dibuyarkan dari ribuan kilometer jauhnya—tanpa peringatan.
Dan kita, sebagai bangsa yang pernah merasakan trauma konflik dan krisis, harus terus waspada. Bukan untuk meniru, tapi untuk belajar: bahwa dalam dunia baru ini, keunggulan bukan hanya soal senjata, tapi juga tentang kesiapsiagaan, ketahanan psikologis, dan kebijakan luar negeri yang cerdas.