Connect with us

Opini

Genosida Jenin: Dunia Diam, PA Berkhianat

Published

on

Wali Kota Jenin di Tepi Barat yang diduduki, Mamdouh Assaf, pada 17 Maret kemarin menyatakan bahwa kota itu nyaris rata dengan tanah akibat pengepungan dan serangan Israel yang telah berlangsung hampir dua bulan.

“Jenin telah sepenuhnya diduduki selama 56 hari, dan 3.200 rumah telah dikosongkan,” ujar Assaf. “Seluruh Kamp Pengungsi Jenin telah diratakan, dan 85 persen jalan di kota ini hancur.”

Sebuah Tragedi? Bukan, ini sudah lebih dari tragedi. Ini adalah penghancuran sistematis yang didukung oleh diamnya dunia. Dunia yang katanya peduli pada kemanusiaan, tetapi hanya jika korbannya bukan rakyat Palestina. Jika ini terjadi di Eropa, kutukan dan sanksi akan berhamburan seperti peluru di medan perang. Tapi karena yang hancur adalah rumah-rumah warga Palestina, dunia memilih menjadi buta, tuli, dan bisu. Mungkin dunia sedang terlalu sibuk mengurus “nilai-nilai demokrasi” yang artinya hanya berlaku untuk yang memiliki sekutu kuat.

Israel tidak hanya menghancurkan Jenin. Mereka menghapuskan kehidupan di sana. Ribuan warga terusir, ratusan bangunan rata dengan tanah, ekonomi lumpuh total, dan harapan mati perlahan. Tapi anehnya, bahkan setelah semua ini, dunia masih enggan menyebutnya dengan satu kata yang seharusnya paling tepat: genosida. Kata itu terlalu berat untuk diucapkan, bukan karena tidak sesuai, tetapi karena konsekuensinya terlalu besar. Jika ini benar genosida, maka dunia wajib turun tangan. Maka, solusinya? Jangan sebut ini genosida. Biarkan Israel terus melakukan apa yang mereka lakukan selama lebih dari tujuh dekade.

Dan peran Palestinian Authority (PA)? Ah, mereka adalah aktor tragis dalam sandiwara besar ini. Pemerintah yang seharusnya membela rakyatnya justru lebih sibuk menyenangkan majikan mereka di Tel Aviv dan Washington. Mereka bahkan membantu meredam perlawanan di Tulkarem dan Jenin, bukan untuk melindungi rakyat mereka, tetapi untuk menyenangkan para penguasa yang memberikan mereka cukup dana untuk bertahan sebagai pemerintahan yang kehilangan makna. PA dalam posisi dilematis? Tidak. Ini bukan dilema. Ini penghianatan terang-terangan. Tidak ada pilihan antara membunuh rakyat sendiri atau membela mereka. Kecuali memang mereka sudah gila.

PA bukan sekadar pengecut, mereka adalah kolaborator. Mereka menekan rakyat sendiri, menangkap para pejuang, dan menyerahkan mereka kepada Israel, seolah-olah mereka adalah kaki tangan penjajah. Tak heran jika banyak rakyat Palestina yang mulai melihat PA sebagai musuh kedua setelah Israel. Mereka memegang senjata bukan untuk melawan tentara pendudukan, tetapi untuk membungkam suara-suara perlawanan di antara saudara mereka sendiri. Ini bukan kepemimpinan, ini adalah subordinasi yang dipoles dengan nama pemerintahan.

Dan ketika Israel semakin brutal, PA semakin jinak. Sementara ribuan orang terusir dan puluhan terbunuh, pemimpin PA masih berpura-pura seolah bisa bernegosiasi dengan mesin pembunuh. Seolah ada kemungkinan bahwa Israel, negara yang sudah puluhan tahun tidak mengenal kata kompromi, akan tiba-tiba tergerak hatinya untuk memberi rakyat Palestina keadilan. Sebuah kebodohan atau memang kesengajaan? Mungkin PA sudah menyerah, atau lebih tepatnya, mungkin PA memang tak pernah benar-benar berjuang.

Di sisi lain, dunia terus memainkan peran pura-puranya. PBB mengeluarkan pernyataan “prihatin”, Uni Eropa mungkin akan memberi sanksi ringan yang hanya berlaku di atas kertas, dan AS tetap akan mengirim miliaran dolar untuk memastikan bom-bom Israel tetap bisa menghancurkan rumah-rumah di Jenin dan Tulkarem. Sungguh luar biasa bagaimana dunia bisa hidup damai di atas penderitaan bangsa yang terus dijajah.

Sementara itu, media mainstream terus membingkai narasi agar Israel tetap terlihat sebagai korban. Mereka akan menyebut ini sebagai operasi anti-teroris, bukan pembersihan etnis. Mereka akan mengutip sumber militer Israel dan mengabaikan suara rakyat Palestina. Mereka akan menghapus realitas yang ada dan menggantinya dengan propaganda yang nyaman bagi mereka yang berkuasa.

Jika Israel membombardir kamp-kamp pengungsi, itu disebut sebagai serangan defensif. Jika warga Palestina melawan dengan batu dan senjata seadanya, mereka disebut teroris. Dunia diprogram untuk menelan narasi ini tanpa berpikir. Padahal, jika ada keadilan, maka seluruh dunia akan melihat siapa sebenarnya yang menjadi agresor dan siapa yang berjuang untuk bertahan hidup.

Dan pertanyaannya sekarang, siapa yang masih memiliki nurani di dunia ini? Siapa yang masih berani mengutuk Israel dan PA atas genosida di Tepi Barat? Mungkin hanya mereka yang tidak punya kepentingan politik. Mungkin hanya rakyat biasa yang masih bisa merasakan perihnya ketidakadilan. Atau mungkin, tak ada yang benar-benar peduli, hanya tersisa teriakan di media sosial yang akhirnya tenggelam dalam tren-tren baru yang lebih menarik perhatian dunia.

Sementara rakyat Palestina terus berjuang, dunia memilih untuk melanjutkan bisnis seperti biasa. Negara-negara Arab sibuk dengan normalisasi hubungan, Barat sibuk dengan kepentingan geopolitik, dan organisasi internasional sibuk dengan prosedur tanpa tindakan.

Dan bagi Israel? Mereka tahu mereka bisa terus melakukan ini tanpa konsekuensi. Mereka tahu tidak ada yang akan menghentikan mereka. Mereka tahu bahwa selama dunia sibuk dengan kebohongan mereka, mereka bisa terus membunuh, mengusir, dan menghancurkan.

Jika ada yang berpikir ini semua akan berakhir dengan baik, mereka harus segera keluar dari khayalan mereka. Israel tidak akan berhenti. PA tidak akan bangkit. Dunia tidak akan bergerak. Dan rakyat Palestina? Mereka akan terus berjuang, meskipun harus melawan segalanya: tentara Israel, pengkhianatan PA, dan kebisuan dunia. Karena bagi mereka, menyerah bukanlah pilihan. Tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada.

Mungkin satu-satunya keadilan yang tersisa adalah sejarah. Sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi yang benar dan siapa yang membiarkan kejahatan ini terus berlangsung. Tapi bagi mereka yang saat ini kehilangan rumah, kehilangan keluarga, kehilangan tanah air mereka, sejarah tidaklah cukup. Mereka membutuhkan keadilan sekarang, bukan sekadar catatan untuk generasi mendatang.

Maka, pertanyaannya adalah: siapa yang akan bertindak sebelum terlambat? Atau memang semua sudah mati rasa, membiarkan satu bangsa dihancurkan tanpa konsekuensi?

Jika jawabannya adalah diam, maka dunia benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Dan genosida, yang katanya hanya ada di atas kertas, sedang berlangsung di depan mata kita semua.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *