Opini
Genosida di Gaza dan Laba Global yang Mengalir

Ketika Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, menyampaikan laporannya di Dewan HAM PBB, dunia seharusnya berhenti sejenak. Tidak hanya karena kata-katanya tajam dan menohok, tetapi karena ia menyibak sesuatu yang selama ini dibungkam oleh kekuasaan dan dibutakan oleh keuntungan: bahwa genosida di Gaza bukan sekadar tindakan kekerasan militer, melainkan ekonomi yang dibangun di atas reruntuhan nyawa manusia. “Israel’s genocide continues,” (genosida di Israel terus berlanjut) tulis laporan itu, “because it is lucrative for many” (karena menguntungkan banyak pihak).
Pernyataan ini bukan sekadar pengulangan retorika perlawanan. Ini adalah tudingan serius, berdasarkan data dan investigasi selama 630 hari, bahwa sistem global saat ini—dari pabrik senjata hingga bank investasi, dari produsen makanan hingga perusahaan perangkat lunak—turut menopang mesin penghancur yang bekerja siang dan malam di Gaza dan Tepi Barat. Ketika lebih dari 56.000 orang Palestina terbunuh, ketika 80% bangunan hancur, ketika air, makanan, dan tempat berlindung dijadikan alat penekan, ada korporasi di luar sana yang menghitung laba.
Laporan ini seperti merobek tirai yang selama ini membungkus kekejaman dalam bahasa diplomatik. Ia menyebut nama-nama: Lockheed Martin, Palantir, Volvo, BNP Paribas, Vanguard, Pimco. Ia mengurai peran mereka dalam menyuplai bom, perangkat lunak, buldoser, hingga pembiayaan yang membuat ekonomi perang Israel tetap hidup bahkan di tengah resesi dan krisis. Bahkan ketika Israel menjual surat utang negara untuk menutup defisit akibat perang, perusahaan-perusahaan keuangan global dengan mudah membelinya. Dengan satu klik investasi, mereka ikut menopang kematian.
Kita hidup di zaman ketika teknologi bukan hanya alat bantu, tapi sudah jadi bagian dari algoritma kematian. Palantir, perusahaan asal Amerika Serikat, disebut menjalin kemitraan strategis dengan militer Israel, menyuplai sistem analitik dan kecerdasan buatan untuk mendukung “misi-misi perang”. Mereka menyangkal terlibat langsung dalam sistem identifikasi target seperti Lavender dan Gospel, namun tetap menyatakan bangga mendukung misi pertahanan Israel. Kita tahu bahwa sistem-sistem ini, berdasarkan laporan lainnya, digunakan untuk melakukan serangan presisi yang ternyata lebih sering menghancurkan keluarga, sekolah, dan tempat ibadah dibanding target militer yang sebenarnya.
Di Indonesia, kita sering berbicara soal tanggung jawab sosial perusahaan dan pentingnya investasi etis. Tapi apakah kita tahu ke mana dana pensiun kita diinvestasikan? Apakah lembaga keuangan lokal memiliki portofolio saham atau obligasi di perusahaan-perusahaan yang disebut dalam laporan Albanese? Apakah pemerintah Indonesia—yang secara resmi mendukung kemerdekaan Palestina—juga mengimpor produk dari perusahaan yang disebut berkontribusi pada genosida? Ini bukan sekadar pertanyaan teknis. Ini adalah soal konsistensi moral.
Di balik data dan grafik, ada tubuh-tubuh yang terkubur di reruntuhan Khan Younis dan Jabalia. Ada keluarga yang kehilangan segalanya, bukan karena gempa, bukan karena bencana alam, tetapi karena keputusan-keputusan bisnis yang dibuat di ruang rapat steril ribuan kilometer jauhnya. Ketika Lockheed Martin menyuplai pesawat F-35 dalam “beast mode” dengan muatan bom 18.000 pound, mereka tidak sedang membuat cerita superhero. Mereka menjual kematian. Dan laporan ini menyebut bahwa pesawat itu, bersama lebih dari 1.600 kontraktor dari delapan negara, digunakan pertama kali oleh Israel dalam konteks “beast mode”.
Apa artinya semua ini bagi kita, yang setiap hari menyaksikan kehancuran di Gaza hanya lewat layar ponsel? Apakah cukup dengan menyumbang, menyebar doa, atau menulis status belasungkawa? Laporan ini menunjukkan bahwa perang di Gaza tidak bisa berlangsung tanpa dukungan global—bukan hanya politik, tapi ekonomi. Maka perlawanan juga harus bersifat global, dan ekonomi pula. Boikot, divestasi, dan sanksi bukan lagi slogan aktivis, tapi keharusan moral yang didasarkan pada data dan kesaksian hukum internasional.
Kita juga harus bertanya: sampai kapan PBB hanya bisa mengeluarkan laporan, tapi tak bisa menindak? ICJ, Mahkamah Internasional, memang sedang mengkaji dugaan genosida terhadap Israel, tapi proses itu lambat. Albania mengatakan bahwa tidak perlu menunggu pengadilan untuk menyimpulkan apa yang telah terjadi. “You just need to connect the dots,” ujarnya. Dan kita tahu, titik-titik itu sudah terlalu banyak: angka korban, penghancuran sistematis, penolakan bantuan kemanusiaan, bahkan serangan terhadap rumah sakit dan fasilitas air bersih.
Ironisnya, beberapa negara yang paling vokal soal HAM dan demokrasi justru menjadi pemasok utama alat perang. Inggris, misalnya, terus mengekspor suku cadang F-35 ke Israel, dan pengadilan tinggi mereka bahkan menyatakan bahwa ini “sah secara hukum”, meski mengakui bahwa komponen tersebut mungkin digunakan dalam pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Ini seperti mengizinkan pembunuhan, selama dilakukan dengan cara yang legal secara teknis.
Laporan ini juga menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan agrikultur menjual produk dari permukiman ilegal di Tepi Barat. Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Tapi lagi-lagi, pasar tetap menerima. Rantai pasokan tetap berjalan. Tidak ada pengawasan yang cukup kuat untuk menghentikannya. Sementara itu, warga Palestina kehilangan lahan, rumah, dan hak hidup. Semua karena kebijakan ekonomi yang dipoles dengan jargon kemitraan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Bagi masyarakat sipil, ini saatnya bergerak lebih sistematis. Mendorong audit publik terhadap investasi lembaga negara, menuntut kampus-kampus tidak menjalin kerja sama dengan perusahaan yang terlibat dalam okupasi, menekan perusahaan lokal agar tidak bermitra dengan entitas yang terlibat dalam sistem apartheid. Ini bukan soal politik identitas atau semata solidaritas agama, tapi soal keberpihakan pada nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Karena jika kita tak mampu marah pada realitas ini, maka kita sedang terbiasa dengan normalisasi kejahatan. Jika kita tetap diam, maka kita memberi ruang pada mesin ekonomi yang menganggap nyawa manusia sebagai angka dalam laporan triwulan. Dunia tidak berubah dengan retorika, ia berubah karena keberanian kolektif untuk menarik garis. Dan laporan Albanese memberi kita peta di mana garis itu harus digambar.
Seperti disebut dalam penutup laporan, dunia pernah mengadili korporasi besar dalam pengadilan Nuremberg. Dunia juga pernah memaksa perusahaan-perusahaan di Afrika Selatan untuk bertanggung jawab atas apartheid. Maka kini, dunia harus berani mengulanginya. Bukan hanya demi Palestina, tapi demi masa depan etika global yang tak menjual keadilan kepada penawar tertinggi.