Opini
Gencatan Senjata: Kemenangan Tak Terucap bagi Hizbullah

Di satu sudut, di Lebanon, rakyat berlari pulang ke rumah mereka, seolah-olah mereka baru saja dibebaskan dari belenggu ketakutan. Bendera Hizbullah berkibar di setiap sudut, simbol kebanggaan dan kemenangan yang terpatri di hati mereka. Di sisi lain, pemukim Israel yang tinggal di utara masih terjebak dalam ketidakpastian, tak bisa kembali ke rumah mereka karena ancaman yang terus menghantui. Rakyat Lebanon kembali ke kehidupan mereka yang sederhana, sementara mereka yang dulunya merasa aman di tanah mereka sendiri di Israel, masih harus menunggu untuk kembali ke pemukiman mereka yang kosong. Ini bukan hanya kisah perbedaan geografi, ini adalah cerita tentang siapa yang benar-benar menang dan siapa yang hanya bertahan hidup.
Keputusan Israel untuk menerima gencatan senjata dengan Hizbullah, meski dipandang sebagai upaya meredakan ketegangan, jelas menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam — kegagalan besar sebuah negara dengan semua kekuatan militer yang dimilikinya. Setelah hampir sebulan penuh serangan balasan dan serangan udara, Israel akhirnya terpaksa berhenti. Dan siapa yang mendikte itu? Bukan sekadar suara perdamaian internasional, tetapi tekanan yang lebih besar lagi: Amerika Serikat yang ingin agar ini tidak menjadi bahan perbincangan panjang di meja makan saat Thanksgiving nanti. Israel mungkin ingin berpura-pura bahwa mereka masih dalam posisi yang kuat, namun kenyataan berkata lain. Mereka lebih memilih untuk menerima kenyataan itu dan duduk di meja negosiasi, walau dengan kepala tertunduk.
Sementara itu, Hizbullah, dengan segala keterbatasan dan reputasinya yang disalahpahami, memetik hasil dari strategi yang lebih cerdik. Serangan mereka pada Oktober lalu ke Israel bukan hanya tentang melawan agresi terhadap Gaza, tetapi tentang mempertahankan harga diri, menunjukkan bahwa Lebanon bukanlah negeri yang bisa dipandang sebelah mata. Dan kini, saat gencatan senjata ini diumumkan, Hizbullah mendapat apa yang mereka inginkan: bukan hanya pengakuan internasional, tetapi lebih dari itu, kemenangan moral. Rakyat Lebanon bisa kembali ke rumah mereka tanpa rasa takut, dengan bendera Hizbullah sebagai lambang keberanian mereka.
Mungkin tak banyak yang menyadari, namun Israel kini menghadapi kenyataan pahit: mereka yang menganggap diri mereka sebagai goliath di Timur Tengah, ternyata harus berlutut dan menerima gencatan senjata yang disodorkan oleh lawan yang tak mereka anggap serius. Selama ini mereka selalu berbicara tentang keunggulan militer mereka, tentang kekuatan udara dan pertahanan canggih yang katanya tak bisa ditembus. Namun, apa artinya semua itu ketika rakyat mereka sendiri tak bisa kembali ke rumah? Apa artinya semua teknologi canggih ketika kamu terpaksa menyebut “kemenangan” sebuah gencatan senjata yang datang bukan karena pilihan, tetapi karena tekanan?
Di dalam Israel sendiri, reaksi terhadap keputusan ini lebih mirip sebuah drama internal. Menteri-menteri, jenderal-jenderal, hingga ahli strategi mereka kini harus menghadapinya dengan rasa malu. Keputusan untuk menerima gencatan senjata ini mendapat kritik keras dari banyak pihak di dalam negeri mereka. Apakah Israel benar-benar memenangkan pertempuran ini? Atau apakah mereka hanya mencoba untuk menutupi kekalahan mereka dengan sebuah kata: gencatan senjata? Bahkan orang dalam pun tak bisa lagi membantah bahwa Israel, yang dulu dianggap tak tergoyahkan, kini harus menerima kenyataan bahwa mereka bukanlah satu-satunya pemain besar di Timur Tengah.
Sementara itu, Hizbullah, meskipun tak mengalahkan Israel secara langsung dengan serangan militer besar-besaran, berhasil meraih kemenangan yang jauh lebih signifikan — kemenangan politik. Mereka menunjukkan bahwa keberanian dan tekad lebih berharga dari segala macam senjata. Mereka tidak hanya memperjuangkan Gaza, tetapi mereka memperjuangkan sebuah narasi yang jauh lebih besar: kebanggaan bangsa mereka, kebebasan tanah mereka, dan keadilan yang mereka rasakan. Mereka berhasil mengubah kekalahan menjadi sebuah simbol kemenangan yang lebih dari sekedar pertempuran fisik.
Israel mungkin bisa mengabaikan realitas ini, atau menyembunyikannya di balik kehebatan sistem pertahanan mereka, namun pada akhirnya yang akan bertahan bukanlah siapa yang memiliki senjata paling canggih, melainkan siapa yang memiliki hati dan tekad yang lebih kuat. Dan untuk kali ini, Hizbullah telah menunjukkan siapa yang benar-benar punya ketahanan. Israel, meski dengan segala kekuatan mereka, harus menerima kenyataan pahit: dalam permainan ini, mereka kalah.