Opini
Gencatan Senjata: Israel dan Janji yang Terlupakan

Israel kembali menegaskan komitmennya terhadap gencatan senjata, namun kenyataannya, janji tersebut hanya tinggal kata-kata. Setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, ribuan warga Palestina terjebak di Netzarim, tidak bisa kembali ke utara Gaza. Israel menunda penarikan pasukannya dengan alasan yang terkesan sepele: satu tawanan yang tak kunjung dibebaskan. Janji perdamaian Israel semakin kehilangan maknanya, tergerus oleh tindakan yang justru terus memperpanjang penderitaan.
Ketika Israel berbicara tentang gencatan senjata dan keamanan nasional, kenyataannya mereka terus menunda pelaksanaan janji tersebut. Ribuan warga Palestina yang berharap bisa kembali ke rumah mereka kini hanya bisa menunggu di selatan Gaza. Mereka telah terpisah dari tanah mereka selama berbulan-bulan, namun Israel terus menghalangi mereka dengan dalih yang semakin kabur. Gencatan senjata yang seharusnya mengakhiri penderitaan justru menjadi penghalang untuk kembali ke kehidupan normal.
Israel tak pernah benar-benar berniat mengakhiri konflik dengan cara yang adil. Mereka terus mencari alasan untuk memperpanjang status quo dan menunda penarikan pasukan dari Gaza. Menurut mereka, alasan tersebut selalu berkaitan dengan “keamanan”, meski tidak ada bukti nyata yang mendasarinya. Namun alasan yang lebih tampak adalah ketakutan Israel untuk melihat proses rekonstruksi di Gaza berjalan lancar. Itu akan mencoreng citra mereka sebagai negara yang mengklaim memiliki hak untuk menjaga “keamanan nasional” dengan cara yang sewenang-wenang.
Di sisi lain, Israel tampaknya malu dengan kenyataan yang terjadi di utara Gaza. Pemukim Israel yang sempat mengungsi dari wilayah utara kini enggan kembali ke rumah mereka setelah selama ini menjadi sasaran serangan Hizbullah. Mereka lebih memilih tinggal di tempat yang aman, bahkan setelah gencatan senjata disepakati. Sebaliknya, warga Palestina di Gaza yang telah lama terpinggirkan berani kembali ke rumah mereka, meskipun mereka tahu ancaman dari Israel masih mengintai. Ironisnya, Israel seolah berharap warga Gaza dan Lebanon merasa takut untuk kembali ke rumah mereka, sama seperti pemukim di utara Israel yang masih enggan pulang. Namun kenyataannya, warga Gaza dan Lebanon justru berani kembali meski dihadapkan dengan ancaman.
Pemukim Israel sendiri tidak percaya bahwa pasukan mereka bisa menjamin keselamatan mereka di wilayah utara yang rawan serangan. Ini menimbulkan pertanyaan: mengapa Israel begitu takut untuk membiarkan warga Gaza dan Lebanon kembali ke tanah mereka sendiri? Kenapa mereka enggan menghadapi kenyataan bahwa warga yang mereka anggap terpinggirkan justru menunjukkan keberanian yang jauh lebih besar daripada mereka?
Ironisnya, ini bukan hanya masalah Gaza. Kisah serupa terjadi di Lebanon, di mana Israel kembali menunda penarikan pasukannya, meskipun ada kesepakatan internasional yang jelas tentang batas waktu. Warga Lebanon yang sudah lama mengungsi kini mencoba kembali ke rumah mereka, tetapi Israel malah membalas dengan tembakan. Sekitar 15 orang Lebanon tewas dan lebih dari 80 orang lainnya terluka ketika mereka berusaha kembali ke rumah mereka di selatan Lebanon. Menghadapi tembakan Israel, mereka tidak mundur. Mereka berani kembali meski tahu bahwa ancaman Israel tetap ada. Israel beralasan bahwa penundaan penarikan pasukannya di Lebanon berkaitan dengan kebutuhan untuk menertibkan situasi, tetapi pada kenyataannya ini lebih mencerminkan ketakutan mereka terhadap pengembalian wilayah yang pernah mereka kuasai.
Jika kita mencermati dengan seksama, kita bisa melihat pola yang sama di Gaza dan Lebanon: Israel enggan memenuhi kesepakatan yang telah dibuat, baik itu terkait dengan penarikan pasukan atau pengembalian warga yang terpaksa mengungsi. Israel lebih tertarik untuk mempertahankan status quo dan memanipulasi persepsi dunia internasional mengenai niat baik mereka, alih-alih benar-benar mengimplementasikan gencatan senjata yang nyata. Gencatan senjata bagi Israel tampaknya hanya menjadi alat untuk mengulur waktu pendudukan lebih lama, bukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengakhiri kekerasan.
Israel terus mengklaim bahwa mereka menjaga “keamanan” dan “stabilitas”, namun kenyataannya mereka lebih tertarik untuk menunda perdamaian yang sesungguhnya. Ketika gencatan senjata gagal memenuhi ekspektasi dan warga yang terpinggirkan tak diberi hak untuk kembali ke rumah mereka, jelaslah bahwa Israel tidak benar-benar menginginkan perdamaian yang adil. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan ketidakpastian dan ketakutan sebagai alasan untuk melanggengkan kontrol mereka atas wilayah yang sudah lama mereka kuasai.
Pada akhirnya, janji Israel tentang gencatan senjata menjadi kosong dan tak berarti. Mereka hanya terus mencari alasan untuk menunda perdamaian dan menggantungkan nasib ribuan orang Palestina di tengah ketidakpastian. Gencatan senjata mereka hanyalah sebuah permainan waktu untuk melanjutkan status quo, bukan langkah menuju perdamaian yang sesungguhnya. Perdamaian hanya akan tercapai ketika Israel bersedia mengakhiri segala bentuk penindasan dan memenuhi janji mereka dengan sungguh-sungguh. Tapi hingga saat itu tiba, janji Israel akan tetap terlupakan begitu saja.