Connect with us

Opini

Gencatan Senjata ala Israel: Diplomasi Dengan Bom di Tangan 

Published

on

Dunia menyaksikan sebuah ironi baru: gencatan senjata diumumkan, tetapi pemboman meningkat. Israel, dengan penuh ketekunan, memastikan setiap detik sebelum gencatan senjata diberlakukan dimanfaatkan untuk menorehkan lebih banyak luka di Gaza. Apakah ini strategi baru untuk menciptakan perdamaian? Atau sekadar alasan untuk memperpanjang daftar korban?

Sejak pengumuman gencatan senjata pada 15 Januari, setidaknya 71 warga Gaza tewas. Dalam 24 jam terakhir, delapan keluarga dimusnahkan dalam apa yang disebut Israel sebagai “upaya melindungi diri.” Menarik sekali, karena sulit membayangkan bagaimana membom rumah, sekolah, dan tempat berlindung bisa dianggap sebagai bentuk perlindungan.

Lihat saja keahlian Israel dalam memainkan narasi. Ketika bom mereka menghantam sebuah sekolah yang penuh pengungsi, mereka menyebutnya sebagai “kesalahan teknis.” Empat orang tewas, puluhan terluka. Apakah kita harus percaya bahwa teknologi canggih yang mereka banggakan tiba-tiba menjadi serampangan? Atau ini hanya dalih untuk membenarkan kekejaman?

Lebih provokatif lagi, Netanyahu menuduh Hamas sebagai penghalang perdamaian. Ia menolak mengesahkan kesepakatan yang diumumkan Qatar dan AS, dengan alasan Hamas “bermain curang.” Hebat sekali, sebuah negara yang membombardir wilayah sipil berbicara tentang keadilan dan integritas. Seolah-olah, mereka yang mengubur anak-anak Gaza punya hak moral untuk menuding pihak lain.

Diplomasi ala Israel ini bukan hanya soal kekerasan fisik. Mereka telah mengubah gencatan senjata menjadi alat untuk merusak harapan. Sebelum kesepakatan berlaku pada 19 Januari, mereka memastikan jumlah korban meningkat drastis. Pesan mereka jelas: Gaza tidak berhak merasakan kedamaian, bahkan untuk sejenak.

Gaza bukan hanya menjadi tempat pembantaian, tetapi juga medan eksperimen untuk menguji sejauh mana dunia bisa diam. Ketika 30 orang tewas hanya dalam satu jam, suara protes global tetap lemah. Di mana para pemimpin dunia yang berbicara lantang tentang hak asasi manusia? Apakah darah Palestina kurang merah dibanding darah lainnya?

Qatar dan AS, sebagai mediator, seolah bermain peran figuran dalam drama ini. Mereka mengumumkan kesepakatan dengan penuh kebanggaan, tetapi gagal memastikan penghormatan terhadap nyawa manusia. Apakah tugas mereka hanya sebatas membaca naskah di podium? Atau mereka memang sengaja menutup mata terhadap kekejaman yang terus berlangsung?

Israel tidak hanya membunuh tubuh; mereka membunuh moralitas dunia. Dalam setiap serangan, mereka mengingatkan kita bahwa mereka bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. Apakah ini wujud supremasi modern? Sebuah negara yang mendikte apa itu “damai” sambil menghancurkan rumah-rumah, sekolah, dan kehidupan.

Bagi rakyat Gaza, setiap pengumuman gencatan senjata lebih mirip ancaman ketimbang harapan. Mereka tahu, di balik janji perdamaian, ada malam-malam panjang penuh ledakan dan jeritan. Bagaimana mungkin sebuah kesepakatan di atas meja bisa menghentikan bom yang sudah dijatuhkan di kepala mereka?

Ketika gencatan senjata resmi berlaku, 19 Januari nanti, dunia akan melanjutkan rutinitasnya. Namun, Gaza akan tetap menjadi simbol ketidakadilan. Israel mungkin akan berhenti membom untuk sementara, tetapi trauma yang mereka tinggalkan akan terus menghantui generasi mendatang.

Kita, sebagai manusia, harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan terus menjadi penonton dalam tragedi ini? Atau kita akan bersuara, meskipun hanya untuk mengingatkan dunia bahwa apa yang dilakukan Israel adalah puncak kebiadaban? Pilihan ada di tangan kita, tetapi ingatlah, diam berarti menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *