Opini
Gejolak Eropa: Migrasi Jadi Titik Rawan Baru

Geert Wilders bukan sekadar tokoh kontroversial dalam politik Belanda. Keputusannya keluar dari koalisi pemerintahan baru-baru ini menggambarkan sesuatu yang lebih besar dari dinamika dalam negeri—ia membuka jendela pada sebuah gejolak laten yang menghantui seluruh benua: krisis migrasi yang belum selesai, ketegangan sosial yang mengeras, dan politik yang semakin terpolarisasi.
Wilders memang dikenal dengan retorika kerasnya. Namun ketika ia memutuskan untuk menarik Partai untuk Kebebasan (PVV) dari koalisi pemerintahan hanya tiga minggu menjelang KTT NATO, bukan hanya Den Haag yang terguncang. Dunia melihat bagaimana salah satu negara paling demokratis di Eropa pun tak lepas dari tekanan isu migrasi. Dalam pernyataannya, Wilders menyebut, “Saya mendaftar untuk kebijakan suaka terketat, bukan kehancuran Belanda.” Ucapan ini, meski ekstrem, mencerminkan sentimen yang meluas di banyak negara Eropa lainnya.
Eropa saat ini berada di bawah tekanan berlapis. Persoalan migrasi yang terus berdatangan dari kawasan konflik, kelaparan, dan ketidakstabilan di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan telah menjadi bahan bakar bagi munculnya kembali politik identitas, nasionalisme sempit, dan bahkan xenofobia. Isu migrasi tidak lagi sekadar soal pengelolaan perbatasan atau distribusi pengungsi, tapi telah masuk ke jantung perdebatan tentang siapa yang “layak” disebut sebagai bagian dari Eropa.
Ketika Migrasi Menjadi Sumbu Ketegangan
Data dari Frontex mencatat sekitar 330.000 penyeberangan perbatasan ilegal di tahun 2022, jumlah tertinggi sejak 2016. Jumlah ini hanya sebagian dari cerita. Tahun 2025, Komisi Eropa menyebut sekitar 90.000 migran masih tertahan di Libya—menunggu kesempatan menyeberangi Laut Tengah ke Eropa. Rute-rute lama, seperti Laut Aegea dan Balkan Barat, kembali ramai. Negara-negara seperti Italia, Yunani, dan Siprus menjadi barisan depan dari sebuah krisis yang seharusnya dibagi secara merata.
Namun kenyataannya, solidaritas Eropa kembali diuji. Jerman menerima sekitar 25% dari seluruh permohonan suaka di Uni Eropa, sementara negara-negara seperti Hungaria dan Polandia secara terang-terangan menolak menerima kuota pengungsi, bahkan setelah keputusan pengadilan Uni Eropa. Di Prancis, ketegangan migrasi tak jarang bermuara pada bentrokan sosial yang berujung pada rusuh. Di Swedia dan Denmark, partai-partai kanan konservatif mulai memasukkan isu migran sebagai prioritas utama dalam kampanye mereka.
Isu ini tak hanya menciptakan tekanan politik, tetapi juga memecah masyarakat. Di beberapa wilayah, warga lokal merasa tersisih dari pelayanan publik karena anggaran diarahkan untuk mendukung integrasi imigran. Di sisi lain, para migran hidup dalam kondisi yang menyedihkan di pusat-pusat penampungan yang penuh sesak, sering kali tanpa kepastian status hukum.
Fragmentasi Politik dan Polarisasi yang Meningkat
Fenomena yang terjadi di Belanda hanyalah puncak dari gelombang politik yang mengguncang Eropa. Hampir di semua negara Uni Eropa, partai-partai kanan populis mencatat peningkatan suara. Di Jerman, Alternative für Deutschland (AfD) memenangkan kursi-kursi penting di wilayah timur. Di Prancis, Marine Le Pen terus mengukuhkan kekuatannya sebagai pesaing utama Presiden Macron. Di Italia, Giorgia Meloni kini memimpin pemerintahan dengan platform nasionalis yang juga keras terhadap migran.
Ketika solidaritas sosial diuji, politik cenderung mencari kambing hitam. Dan migran, sayangnya, menjadi target yang paling mudah disalahkan. Munculnya kembali narasi “Eropa untuk orang Eropa” mencerminkan ketakutan yang dalam: bahwa globalisasi, integrasi, dan migrasi telah menggerus identitas nasional dan keamanan domestik.
Di Balik Migrasi: Ketimpangan dan Ketidakpastian
Namun apakah semua ini semata karena migrasi? Sebenarnya tidak. Ketimpangan sosial di Eropa sendiri telah lama menjadi bom waktu. Laporan terbaru dari FEANTSA menunjukkan hampir 900.000 orang di Uni Eropa hidup tanpa tempat tinggal yang layak setiap malam. Di Madrid, misalnya, ratusan tunawisma menggunakan bandara sebagai tempat tidur karena harga sewa yang melambung. Di Paris dan Berlin, antrean dapur umum tak lagi hanya dipenuhi pendatang, tapi juga warga lokal yang kesulitan menutupi biaya hidup.
Belanja sosial Uni Eropa memang besar—antara €3,6 hingga €3,8 triliun per tahun—namun sebagian besar diarahkan ke pensiun dan layanan kesehatan, bukan ke akar permasalahan seperti perumahan atau pekerjaan untuk kelompok rentan. Krisis ini diperburuk oleh inflasi pasca-pandemi dan dampak perang Ukraina yang membuat harga energi dan bahan pokok melonjak drastis.
Perang, Energi, dan Ketegangan Global
Konflik di Ukraina menjadi tekanan tambahan yang kompleks. Sejak 2022, Uni Eropa telah mengucurkan lebih dari €146 miliar untuk bantuan ke Ukraina. Sebagian besar digunakan untuk militer, bantuan keuangan, dan bantuan kemanusiaan. Namun komitmen ini datang dengan harga: anggaran domestik menyusut, cadangan energi berkurang, dan ketegangan geopolitik meningkat.
Sanksi terhadap Rusia menyebabkan Eropa harus mencari alternatif energi, mengakibatkan biaya hidup melonjak, terutama di musim dingin. Di Jerman dan Austria, protes terhadap tarif energi menjadi headline di media. Di sisi lain, pertahanan dan keamanan menjadi justifikasi penguatan NATO, yang ironisnya makin memperkuat ketakutan akan konflik terbuka yang lebih besar.
Kemanusiaan di Persimpangan Jalan
Apakah semua ini hanya soal kebijakan migrasi yang buruk? Tidak juga. Di balik angka dan kebijakan, Eropa sedang mengalami krisis makna. Benua yang dahulu menjadi simbol harapan, pengungsi, dan integrasi kini dipertanyakan komitmennya terhadap nilai-nilai dasar: solidaritas, kebebasan, dan hak asasi manusia.
Tantangan ini bukan hanya milik mereka. Kita di Indonesia juga mengenal konflik kemanusiaan. Ribuan pengungsi dari Timur Tengah dan Asia Selatan transit di Aceh, Medan, dan Jakarta. Pemerintah daerah kewalahan. Warga lokal kadang menunjukkan empati, tapi sering juga mengusir karena merasa terancam atau terbebani.
Fenomena ini menunjukkan bahwa isu migrasi dan kemanusiaan bukan hanya soal siapa yang datang dan siapa yang menerima, tetapi bagaimana kita mendefinisikan diri: sebagai masyarakat terbuka yang peduli, atau sebagai benteng yang tertutup dan curiga.
Belajar dari Guncangan
Apa yang terjadi di Belanda—ketika Wilders menarik dukungan dan koalisi pemerintahan terancam runtuh—adalah gejala dari guncangan yang jauh lebih besar. Krisis ini bukan hanya soal politik domestik, tapi soal identitas Eropa itu sendiri, dan bagaimana benua itu merespons dunia yang berubah cepat.
Migrasi hanyalah pintu masuk. Di dalamnya ada ekonomi, keamanan, iklim, dan—yang paling penting—kemanusiaan. Apakah Eropa akan kembali menemukan kekuatannya dalam solidaritas? Atau akan terjebak dalam spiral perpecahan?
Kita di Indonesia mungkin jauh dari Brussels, Paris, atau Amsterdam. Tapi kita punya alasan untuk peduli. Karena badai yang sama—badai ketimpangan, pengungsian, perubahan iklim, dan konflik—juga mengetuk pintu kita.
Dan mungkin, dari krisis di Eropa, kita bisa belajar satu hal: bahwa kekuatan sejati bukan pada seberapa ketat kita menutup gerbang, tapi seberapa luas kita membuka hati.