Opini
Gaza Tidak Butuh Doa Kosong, Tapi Perlawanan

Di Deir al-Balah, sebuah kota yang mungkin tak tercetak di banyak peta pelancong dunia, satu pemandangan terjadi: anak-anak kelaparan yang mengantre untuk sebutir harapan, dihantam rudal dari langit. Tak ada peringatan. Tak ada negosiasi. Hanya ledakan yang menyisakan potongan tubuh kecil berserakan di jalan. Seorang ibu terkapar sambil menggenggam botol susu yang belum sempat diberikan pada bayinya. Tapi ini bukan mimpi buruk—ini berita terkini.
Apa nama yang tepat untuk aksi semacam itu? Perang? Kesalahan operasional? Kolateral? Dunia suka memberi nama yang terdengar steril agar bisa tidur nyenyak. Tapi mari kita jujur: itu pembantaian. Dan tidak hanya terjadi sekali. Deir al-Balah hanya satu titik merah di peta luka yang membentang dari Khan Younis hingga Jabalia. Bahkan al-Bashir—yang dulunya hanya tempat laundry biasa—kini dikenal karena satu hal: darah.
Sementara itu, di ruang-ruang ber-AC gedung PBB, perdebatan berjalan lancar. Delegasi-delegasi saling mengangguk sambil menyesap espresso, membahas “kesedihan mendalam” dan “kekhawatiran bersama” atas situasi Gaza. Bahasa-bahasa manis yang sengaja dikeringkan dari makna. Sementara di lapangan, peluru tidak berdiskusi; ia menembus daging. Anak-anak tidak berdebat; mereka dikafani. Dan Palestina? Mereka menunggu, bukan keadilan, tapi jeda.
Gaza hari ini bukan hanya tentang kematian. Ia adalah sinyal paling nyaring dari kegagalan moral global. Ketika 50.000 perempuan hamil dan menyusui di Gaza belum makan selama berhari-hari, ketika susu bayi langka seperti emas, dan bayi-bayi lahir terlalu kecil untuk menangis, dunia masih sibuk berdebat tentang definisi antisemitisme. Katakan Israel dengan nada kritis, dan Anda mungkin dicap ekstrem. Tapi ledakkan sekolah atau rumah sakit? Itu pertahanan diri, tentu saja.
Francesca Albanese, pelapor khusus PBB, mencoba membuka tabir itu. Ia menulis, bersuara, mengungkap. Hasilnya? Sanksi dari Amerika Serikat. Dunia ini memang unik—mereka yang membunuh mendapat perlindungan, sementara mereka yang melapor disingkirkan. Jadi jika ada yang masih bertanya “kenapa rakyat Palestina tidak percaya pada PBB?” barangkali perlu diperiksa bukan hanya hatinya, tapi logikanya juga.
Israel—atau lebih tepatnya, entitas zionis yang kini mencomot nama suci nabi—sudah lama tidak menyembunyikan niatnya. Mereka tidak lagi berpura-pura. Penembakan tenda-tenda pengungsi? Biasa. Penghancuran rumah? Rutin. Serangan ke ambulans dan rumah sakit? Taktik. Ini bukan perang, ini pembersihan. Bukan konflik, tapi kolonialisme gaya baru. Dan ironisnya, semua ini terjadi dengan dukungan dana, senjata, dan veto dari negara-negara yang mengklaim sebagai pelindung demokrasi dan hak asasi manusia.
Mari kita berbicara tentang “hak hidup”. Istilah itu sering terdengar dalam pidato-pidato pemimpin dunia. Tapi rupanya hak hidup itu bersifat selektif. Seorang anak di Sderot dianggap pantas hidup. Anak yang sama usianya di Rafah? Bisa ditabrak tank, lalu masuk berita sebagai angka statistik. Hak hidup menjadi privilege yang ditentukan oleh koordinat GPS dan afiliasi politik orang tuanya.
Dan dunia Arab? Ah, yang satu ini lucu kalau tidak menyedihkan. Para pemimpin yang dulu berteriak “kita bersama Palestina,” kini diam dalam bisnis normalisasi, tersenyum di foto-foto bersama para penjajah yang dulu mereka kecam. Mereka menjual kehormatan atas nama stabilitas. Konferensi demi konferensi digelar, tapi yang datang ke Gaza bukan bantuan, melainkan pecahan rudal dan reruntuhan janji.
Tentu saja, ada juga kita—yang menyaksikan ini semua dari kejauhan. Kita berkabung di media sosial, mengganti foto profil, membagikan tagar, menyumbang beberapa ribu rupiah. Lalu tidur, makan siang di kafe, dan kembali ke rutinitas. Dunia ini begitu nyaman melupakan, asalkan darah tidak tumpah di trotoar kotanya sendiri. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, yang ditarget bukan lagi Gaza—karena sistem ketidakadilan yang dibiarkan hari ini bisa menjelma monster yang akan menggigit siapa saja besok.
Tapi Gaza tak butuh simpati yang hanya berakhir di unggahan Instagram. Mereka tak meminta air mata kita, tak menunggu duka semu. Yang mereka butuhkan adalah solidaritas yang menjelma aksi. Doa yang disertai keberanian menolak, membongkar, melawan. Mereka yang tertindas tidak pernah diselamatkan oleh kepedihan diam—hanya oleh suara dan sikap yang berpihak.
Palestina bukan hanya soal tanah yang direbut. Ia adalah wajah kemanusiaan yang dirusak. Ia adalah pertanyaan kepada kita semua: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya bertahan sebagai penonton? Karena ketika bayi yang lahir di Gaza langsung menghadapi kelaparan, ketika keluarga mereka dibunuh sambil menunggu bantuan yang tak pernah datang, dan ketika itu semua dianggap wajar oleh sebagian besar dunia, maka yang sedang sekarat bukan hanya Gaza—tapi nurani umat manusia.
Dan jika hari ini kita masih bisa menyaksikan semua itu tanpa kemarahan, tanpa rasa ingin menghentikan, maka mungkin kita bukan hanya diam—kita sudah mati. Tapi bukan mati syahid. Hanya mati rasa.
Gaza telah mengajarkan pada kita banyak hal. Tentang keberanian, tentang kesetiaan, dan tentang harapan yang tumbuh bahkan di tengah kehancuran. Mereka, yang kehilangan segalanya, masih memilih untuk berdiri. Sementara kita, yang punya segalanya, masih sibuk mencari alasan untuk tidak peduli.
Maka bila Anda merasa terganggu oleh tulisan ini, bagus. Itu berarti ada yang masih hidup dalam dada Anda. Jangan matikan itu. Jangan biarkan dunia ini terus berjalan seperti biasa, seolah-olah pembantaian adalah bagian dari rutinitas. Karena ketika dunia menjadi tempat di mana kebenaran dipenjara dan penjajah diberi panggung, maka tak ada lagi peradaban—yang ada hanya panggung sandiwara berdarah.
Dan jika sejarah nanti menilai siapa yang berdiri dan siapa yang bungkam, semoga nama kita tidak tertulis di antara para pengecut yang berdalih demi stabilitas dan netralitas. Karena pada akhirnya, dalam pembantaian seperti ini, netralitas bukan pilihan. Ia adalah keberpihakan terselubung. Gaza tidak butuh doa kosong, tapi perlawanan. Sekarang. Bukan nanti. Sebelum yang tersisa dari Gaza hanyalah puing, dan kenangan.