Connect with us

Opini

Gaza Tanpa Rumah Sakit, Dunia Masih Diam?

Published

on

Setidaknya sepuluh rumah sakit dan klinik di Jalur Gaza hancur atau lumpuh akibat serangan Israel dalam sepekan terakhir. Laporan Haaretz ini mengguncang nurani siapa pun yang membacanya. Bayangkan: ratusan ribu jiwa—tepatnya 400.000 orang—kini terputus dari layanan medis. Mereka terjebak dalam derita tanpa obat, tanpa dokter, tanpa harapan. Tempat yang seharusnya menjadi perlindungan kini justru menjadi sasaran, menyisakan puing-puing dan keputusasaan.

Salah satu titik awal dari babak kekerasan terbaru ini adalah serangan terhadap Rumah Sakit Eropa di Khan Younis pada Mei 2025. Serangan ini menandai dimulainya Operasi Gideon Chariots, sebuah operasi militer yang disetujui oleh Kabinet Keamanan Israel pada 4 Mei dan resmi diluncurkan pada 18 Mei. Ini bukan sekadar angka dalam laporan berita—ini adalah jeritan nyata dari manusia yang kehilangan segalanya.

Sistem kesehatan Gaza yang sebelumnya sudah rapuh kini nyaris runtuh total. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 28 serangan terhadap fasilitas medis dalam sepekan terakhir saja. Jumlah ini menyumbang 4% dari total serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak konflik kembali memanas pada Oktober 2023. Dari 36 rumah sakit yang ada, hanya 19 yang masih beroperasi—dan itu pun dalam kondisi yang jauh dari memadai, dengan peralatan seadanya dan tenaga medis yang kewalahan. Empat rumah sakit utama, termasuk Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara, terpaksa ditutup akibat serangan berulang, perintah evakuasi, dan pertempuran yang tak kunjung reda.

Bayangkan para dokter yang harus memilih: menyelamatkan pasien atau menyelamatkan diri mereka sendiri. Bayangkan para pasien yang tergeletak di lorong-lorong rumah sakit yang gelap—tanpa listrik, tanpa air, tanpa harapan.

Israel berdalih bahwa Hamas bersembunyi di rumah sakit—sebuah klaim yang terus diulang. Namun benarkah demikian? Bukti konkret sulit ditemukan, bahkan menurut laporan WHO dan sejumlah sumber Palestina. Padahal, hukum humaniter internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa sangat jelas: rumah sakit adalah objek yang dilindungi, kecuali jika terbukti digunakan untuk kepentingan militer. Tanpa transparansi dan bukti yang sahih, serangan ini layak dipertanyakan. Dan dampaknya? Terlalu mengerikan untuk diabaikan. Ratusan ribu orang—anak-anak, lansia, perempuan—kini hidup tanpa akses medis yang layak.

Kita di Indonesia tahu betul betapa berharganya rumah sakit, terutama saat krisis. Ingat ketika pandemi melanda dan rumah sakit kita nyaris lumpuh? Sekarang bayangkan hal itu, tapi dengan ledakan bom, suara drone, dan puing-puing sebagai pengganti tenda darurat.

Blokade bantuan sejak 2 Maret 2025 kian memperparah penderitaan. Banyak pengamat menyebutnya sebagai bentuk “kelaparan sistematis”. Satu dari lima warga Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan serius. Sejak awal tahun, lebih dari 9.000 anak dirawat karena malnutrisi akut. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah wajah-wajah kecil yang pucat, perut-perut buncit karena lapar, dan tangis ibu-ibu yang tak mampu memberi makan anaknya.

PBB mencatat bahwa hanya 98 truk bantuan yang masuk ke Gaza dalam dua hari, 20–21 Mei—jumlah yang sangat jauh dari cukup untuk dua juta penduduk. Kita di Indonesia pun pernah mengalami sulitnya distribusi logistik pascabencana, seperti saat tsunami di Aceh atau gempa di Palu. Tapi yang terjadi di Gaza adalah krisis yang diciptakan secara sengaja, bukan bencana alam.

Di tengah penderitaan ini, kecaman dari dunia mulai bermunculan. Indonesia bersuara keras, mengecam serangan terhadap Rumah Sakit Indonesia pada 20 Mei sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Inggris, Kanada, dan Prancis mengeluarkan pernyataan bersama pada 19 Mei, menentang operasi militer Israel dan mengancam sanksi jika blokade tak segera dicabut. Inggris bahkan menangguhkan pembicaraan perdagangan—sebuah langkah yang jarang dilakukan. Uni Eropa pun mulai meninjau perjanjian perdagangannya dengan Israel, meskipun langkah ini terhambat veto dari salah satu negara anggota.

Namun, apakah itu cukup? Sanksi nyata belum terlihat. Amerika Serikat—sekutu utama Israel—hanya mendesak akses bantuan, tanpa diiringi tindakan tegas. Ironis, bukan? Dunia berteriak, tetapi Gaza terus berdarah.

Padahal hukum perang sangat tegas: rumah sakit bukan target. Pasal 8 Konvensi Jenewa melindungi fasilitas kesehatan, dan pengecualian hanya berlaku jika ada bukti kuat penggunaannya untuk kegiatan militer. Tanpa bukti itu, serangan terhadap 10 rumah sakit—termasuk Rumah Sakit Indonesia yang terbakar—adalah pelanggaran terang-terangan. WHO telah menyerukan investigasi independen. Tapi pertanyaannya: siapa yang akan menjalankannya? Dewan Keamanan PBB, dengan hak veto yang sering membuatnya lumpuh, tampak tak berdaya. Kita di Indonesia, yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, mungkin bertanya-tanya: sampai kapan dunia hanya akan menonton?

Refleksi ini mengantar kita pada pertanyaan yang menggelisahkan: jika dunia tahu, mengapa tindakan nyata begitu lambat? Inggris memang telah menangguhkan perundingan perdagangan. Uni Eropa telah bicara soal sanksi. Indonesia bersuara lantang soal gencatan senjata. Tapi Gaza tetap hancur, dan rakyatnya tetap lapar.

Solidaritas di Indonesia memang besar. Kita melihatnya dalam bentuk donasi, aksi damai, hingga khutbah Jumat yang menyuarakan pembelaan terhadap Palestina. Tapi apakah semua itu cukup jika tidak diikuti dengan tekanan global yang nyata dan terukur?

Krisis ini tidak lagi semata soal Gaza—ini adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Ketika rumah sakit diserang, ketika anak-anak kelaparan, dan ketika dunia hanya mengecam tanpa menghentikan, tidakkah kita semua ikut bertanggung jawab?

Laporan terbaru dari Haaretz menyebut 94% rumah sakit di Gaza kini rusak atau hancur. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret kegagalan kolektif dunia. Bayangkan seorang ibu di Gaza, memeluk anaknya yang terluka, tanpa tempat berlindung, tanpa bantuan medis. Kita tahu betapa pentingnya RSUD dan puskesmas di tengah situasi darurat. Bagaimana jika itu semua direnggut dari kita?

Tekanan dunia memang ada, tetapi belum cukup kuat. Inggris, Kanada, dan Prancis baru sebatas ancaman. Spanyol mengusulkan embargo senjata, namun hanya sebatas mosi tidak mengikat. PBB dan WHO bersuara keras soal perlindungan rumah sakit, tapi tak punya kuasa eksekusi. Sementara itu, 53.000 nyawa telah melayang sejak Oktober 2023—mayoritas perempuan dan anak-anak.

Pertanyaannya terus menggantung: jika hukum internasional sudah jelas, mengapa rumah sakit masih jadi target? Jika dunia mengecam, mengapa Gaza tetap dibiarkan menderita? Kita bisa saja menunjuk Israel. Tapi bagaimana dengan AS yang terus memberi dukungan? Bagaimana dengan PBB yang terhalang veto? Dan bagaimana dengan kita sendiri—yang menonton berita ini sambil menyeruput kopi?

Solidaritas memang penting. Tapi dalam situasi seperti ini, solidaritas tanpa tindakan hanya akan menjadi gema kosong.

Mungkin inilah saatnya untuk bertanya lebih dalam: apa yang sebenarnya bisa kita lakukan agar dunia tidak hanya mengecam, tapi juga bertindak? Sanksi ekonomi, embargo senjata, tekanan diplomatik yang lebih keras—semuanya mungkin jalan. Tapi selama veto di Dewan Keamanan masih jadi tameng, dan sekutu besar Israel tetap bungkam, harapan itu terasa jauh.

Gaza bukan sekadar soal politik. Ini soal nyawa, soal nilai kemanusiaan yang sedang diuji. Rumah sakit yang hancur bukan hanya bangunan—ia adalah simbol dari harapan yang kini runtuh.

Dan kita, di ujung dunia, perlu bertanya pada diri sendiri: sampai kapan kita hanya menonton, mengecam, lalu melanjutkan hidup seperti biasa?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *