Opini
Gaza Not For Sale, Trump Silahkan Terus Bermimpi

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang baru, kembali membuat pernyataan sensasional. Dalam penerbangan di Air Force One, ia menyatakan keinginannya untuk “membeli dan memiliki” Gaza. Sebuah ide yang, jika tidak begitu absurd, mungkin bisa dianggap lelucon terbaik tahun ini. Sayangnya, ini bukan komedi. Trump benar-benar mengira Gaza bisa diperjualbelikan seperti properti di Manhattan.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang akan menjual Gaza kepadanya? Apakah dia pikir Israel memiliki hak untuk menjual tanah yang mereka jajah dengan brutal? Atau apakah dia membayangkan rakyat Palestina akan membuka lelang untuk menjual tanah air mereka? Jika ya, mungkin Trump juga berpikir bahwa Gedung Putih bisa dibeli di Amazon.
Trump berbicara dengan percaya diri seolah-olah Gaza adalah properti yang bisa dibeli dari seorang pemilik sah. Kenyataannya, wilayah itu adalah rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang bertahan di tengah blokade, perang, dan kehancuran. Mereka tidak butuh pembeli, apalagi pembeli yang datang dengan tangan berlumuran kebijakan imperialis.
Klaim Trump semakin menggelikan saat ia menambahkan bahwa jika ia berhasil membeli Gaza, ia mungkin akan menyerahkannya kepada negara lain untuk membangunnya kembali. Seolah-olah tanah itu hanyalah lahan kosong yang siap dikembangkan menjadi resort atau pusat perbelanjaan. Sungguh, seorang kapitalis tulen yang melihat dunia dalam bentuk aset.
Yang lebih ironis, Trump berjanji akan “menjaga” warga Palestina agar hidup dalam “keharmonisan dan kedamaian.” Sebuah janji yang terdengar seperti seorang pencuri yang mengatakan akan memastikan rumah yang baru saja ia rampok tetap dalam keadaan rapi. Jika kepedulian Trump begitu besar, mengapa ia mendukung pasokan bom ke Israel yang menghancurkan Gaza tanpa henti?
Jika Gaza tidak bisa dibeli, akankah Trump dan sekutunya mencoba merampasnya? Sejarah kolonialisme mengajarkan bahwa ketika transaksi gagal, senjata yang berbicara. Dengan dukungan penuh AS, Israel telah lama berusaha melakukan pembersihan etnis di Gaza, mengusir penduduknya, dan mengubahnya menjadi wilayah kosong yang siap dikuasai.
Tidak sulit membayangkan skenario di mana AS mendukung penjajahan total Gaza. Mungkin dengan dalih “rekonstruksi,” mereka akan menempatkan pasukan, mendirikan proyek-proyek investasi, dan memaksa rakyat Palestina meninggalkan tanah mereka secara sistematis. Jika rencana ini terdengar familiar, itu karena metode yang sama digunakan di Irak dan Afghanistan.
Kekonyolan Trump tidak hanya ditertawakan di Palestina. Bahkan di Amerika sendiri, banyak yang skeptis. Sebuah survei CBS menunjukkan bahwa hampir setengah warga AS menganggap ide Trump sebagai “gagasan buruk.” Hanya 13 persen yang mendukungnya, kemungkinan besar mereka adalah fans beratnya yang percaya bumi itu datar.
Sementara itu, di Israel, Netanyahu menyebut rencana Trump “revolusioner dan kreatif.” Tentu saja, bagi Netanyahu, segala bentuk aneksasi adalah ide cemerlang. Israel telah membombardir Gaza selama 15 bulan, menewaskan puluhan ribu warga sipil, dan kini mencoba membersihkan jejak kejahatan perang mereka dengan dalih pembangunan ulang.
Palestina, tentu saja, menolak gagasan ini mentah-mentah. Hamas dan Otoritas Palestina dengan tegas menyatakan bahwa tanah mereka bukan untuk dijual. Mereka tidak butuh Trump atau siapapun untuk “membantu” dengan cara mencuri tanah mereka terlebih dahulu. Gaza bukanlah real estate yang bisa dinegosiasikan di meja perundingan Wall Street.
Pada akhirnya, pernyataan Trump hanya menambah daftar panjang absurditas politik internasional. Ia mungkin mengira dirinya seorang taipan yang bisa membeli apa saja, tetapi kenyataan berbicara lain. Gaza tidak untuk dijual, dan rakyat Palestina tidak akan menyerahkan tanah mereka begitu saja. Trump, silakan terus bermimpi.