Opini
Gaza Masih Melawan: Ketika Tanah Terjajah Menolak Diam

Sudah 21 bulan Gaza digempur, dan belum juga dunia berhenti sejenak untuk mendengar jeritannya. Dalam bayang-bayang kehancuran dan debu reruntuhan, suara ledakan kembali terdengar dari Khan Younis, bukan dari pesawat tempur zionis, tapi dari bawah tanah yang digali harapan: pejuang Al-Quds Brigades meledakkan kendaraan tempur musuh, dengan alat peledak hasil racikan sendiri dan pengintaian berminggu-minggu. Di situ, di tanah yang tak henti dibakar, perlawanan tak pernah mati.
Sebuah kendaraan lapis baja milik pasukan pendudukan zionis dihantam ledakan di Abasan al-Kabira. Bukan peristiwa luar biasa dalam perang yang tak masuk akal ini—tapi detilnya mencerminkan sesuatu yang lebih dalam. Ledakan itu adalah hasil observasi panjang, detil, dan penuh risiko. Para pejuang menanam alat peledak “Barq” di jalur yang telah mereka hafal, bukan karena peta satelit, tapi karena tanah itu adalah tubuh dan napas mereka sendiri. Mereka paham di mana roda baja akan menginjak dan kapan waktu yang tepat untuk menyentuh pemicunya.
Namun serangan itu tak berjalan mulus. Tank-tank musuh lainnya datang cepat, memberondong area itu dengan peluru dan mortir. Seorang pejuang gugur, seorang tentara zionis tewas. Angka itu kecil, bila dibaca dalam kacamata statistik militer. Tapi dalam konteks kemanusiaan, satu nyawa, siapa pun itu, seharusnya sudah cukup untuk mengguncang nurani siapa pun. Namun dunia terlalu senyap. Seolah tak lagi terusik oleh pembantaian yang telah berlangsung hampir dua tahun.
Perlawanan seperti ini tidak sekali ini terjadi. Di tengah kecamuk dan blokade total yang bahkan menutup akses air bersih, Al-Quds Brigades tetap menunjukkan kemampuan taktis yang terus berkembang. Dalam sepekan terakhir, mereka mengklaim berhasil meledakkan satu lagi kendaraan zionis di dekat Universitas Islam Ma’an dengan alat peledak tong—barrel bomb—yang dirakit dan ditanam secara manual. Satu lagi kendaraan dilaporkan hancur pada 10 Juli di Shujaiya, lewat alat peledak berkekuatan tinggi hasil reverse engineering. Bukan saja berhasil meledakkan kendaraan baja, tapi juga berhasil menghancurkan ilusi bahwa Gaza sudah dikendalikan penuh.
Video-video serangan mereka dirilis ke publik. Ada 107mm roket, ada mortir, ada drone pengintai zionis yang berhasil mereka tangkap. Di tengah wilayah yang terkepung dan terus digempur udara, fakta bahwa mereka bisa merebut drone adalah peristiwa strategis. Bukan hanya mempermalukan pasukan yang mengandalkan superioritas teknologi, tapi juga memperlihatkan betapa kecanggihan tak selalu cukup untuk menang dalam konflik yang akar persoalannya begitu dalam.
Dan di balik semua itu, terselip satu pesan: Palestina belum menyerah. Gaza belum mati. Perlawanan bukan hanya soal peluru dan ranjau, tapi soal martabat yang dipertahankan dengan segala cara. Maka, siapa kita yang jauh dari Gaza, duduk di kafe dengan jaringan internet lancar dan udara bersih, yang bisa mengabaikan ini semua? Di Indonesia, negeri yang sering mengklaim solidaritasnya kepada Palestina, adakah refleksi yang benar-benar menyentuh pada tingkat kebijakan? Atau kita hanya berhenti di titik “dukung Palestina” tanpa keberanian menantang relasi dagang atau diplomasi yang masih terlalu ramah pada mereka yang terus mendukung penjajahan?
Perlawanan bersenjata mungkin bukan jalan yang dipilih semua orang, dan memang tak harus begitu. Tapi penting untuk diingat bahwa bentuk perlawanan itu muncul bukan karena pilihan bebas, melainkan karena semua jalan lain telah diblokir. Blokade, kelaparan, serangan udara tanpa henti, rumah sakit yang dihancurkan, dan air yang diracun—semua itu bukan konteks, tapi penyebab. Tak ada ruang netral di antara penindas dan yang tertindas. Maka, ketika satu brigade Palestina meledakkan kendaraan musuh, mereka sebenarnya sedang berkata, “Kami masih ada.”
Pertanyaan yang menyakitkan adalah: berapa lama lagi dunia akan mengabaikan? Apakah kita menunggu semua generasi muda Gaza habis dulu baru menyadari bahwa ini bukan hanya perang, tapi genosida perlahan yang berlangsung di siang bolong, di depan mata seluruh umat manusia? Laporan ini bukan sekadar berita tempur. Ini adalah sinyal bahwa perlawanan tetap bertahan dalam situasi yang hampir tak mungkin. Dan ketika kita membaca laporan seperti ini dengan cepat lalu berpindah ke notifikasi media sosial, adakah ruang dalam hati kita untuk sedikit berhenti, berpikir, dan bertanya: apa yang telah kita lakukan?
Dalam peristiwa kecil seperti penangkapan drone, sesungguhnya terjadi pergeseran penting. Pasukan zionis tak lagi merasa aman bahkan di langit Gaza. Intelijen mereka yang selama ini dianggap tak tertandingi kini tak lagi mutlak. Bahwa sekelompok pemuda dalam keterbatasan bisa membalikkan alat pengintai menjadi alat informasi mereka sendiri, menunjukkan bahwa kekuatan bukan hanya ada pada senjata, tapi pada kesungguhan bertahan. Ini bukan glorifikasi kekerasan, melainkan refleksi bahwa ketimpangan kekuatan tak selalu menjamin kemenangan.
Dan kita, yang hidup di Indonesia dengan warisan penjajahan yang panjang, seharusnya paling paham arti perlawanan. Kita punya sejarah gerilya, punya kenangan tentang keterbatasan logistik tapi tetap tak tunduk. Bukankah mestinya itu membentuk empati kolektif yang lebih dalam terhadap rakyat Palestina? Bukankah mestinya itu jadi alasan untuk lebih lantang mengecam mereka yang secara terang-terangan membiayai perang zionis atas nama keamanan?
Laporan dari Al-Mayadeen ini menyuguhkan satu wajah dari konflik yang jauh dari titik akhir. Perlawanan di Khan Younis hanyalah satu titik di peta penderitaan yang luas. Tapi ia menyala terang. Seperti api kecil yang menolak padam, meski angin datang dari segala penjuru. Dan jika dunia terus menutup mata, maka sejarah akan mencatat bukan hanya tentang siapa yang menindas dan siapa yang dilawan, tapi juga siapa yang diam. Dalam konteks itu, netralitas bukanlah kebajikan, melainkan ketundukan terselubung pada status quo.
Maka saat membaca laporan ini, jangan hanya melihat angka dan kronologi. Lihatlah ia sebagai pengingat, bahwa di suatu tempat di dunia, seseorang tengah kehilangan nyawa demi mempertahankan hak hidup yang paling dasar. Bahwa seorang ibu di Gaza mungkin harus menjelaskan pada anaknya mengapa suara ledakan terdengar setiap malam, sementara dunia seperti sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Dan bahwa di balik setiap kendaraan tempur yang meledak, ada kisah tentang ketidakadilan yang belum juga selesai.
Barangkali, itulah yang mestinya terus kita ingat. Sebab jika kita berhenti merasa terganggu oleh penderitaan orang lain, maka kemanusiaan itu sendiri sedang dalam keadaan darurat.