Opini
Gaza Lapar, Dunia Diam: Saat Nurani Tak Lagi Peka

Gaza telah resmi masuk ke dalam apa yang disebut sebagai “worst-case scenario of famine.” Begitulah kata IPC IPC (Integrated Food Security Phase Classification), badan global paling kredibel dalam soal keamanan pangan. Tapi di balik bahasa teknokratis yang terdengar steril itu, ada makna yang jauh lebih brutal: anak-anak tinggal tulang, orang dewasa rebah karena lapar, dan kematian menjelma menjadi rutinitas seperti azan Magrib di ujung senja. Dan semua itu terjadi bukan karena bencana alam, melainkan karena keputusan manusia—lebih tepatnya, kejahatan yang dipresentasikan dalam format diplomatik.
IPC menyebutkan bahwa situasi ini “belum pernah kita saksikan dalam abad ini.” Pernyataan itu mungkin terasa seperti hiperbola, sampai Anda melihat gambar-gambar bocah Gaza yang sekarat di pelukan ibunya, tak berdaya, matanya cekung, bibirnya pecah, dan tubuhnya menyerah pelan-pelan. Lalu Anda sadar: ini bukan hiperbola, ini adalah kenyataan yang tidak bisa lagi dilukis dengan metafora. Bahkan Dante pun mungkin akan menulis ulang Inferno-nya jika ia sempat melihat Gaza hari ini.
Sudah dua tahun Gaza berada di tepi jurang kelaparan. Tapi beberapa pekan terakhir, jurang itu tidak lagi menganga—ia telah melahap. “Blockade semakin ketat,” kata IPC. Kalimat yang terdengar seperti laporan mingguan, padahal maknanya adalah: orang-orang tidak bisa makan karena truk bantuan diparkir di perbatasan, bukan di dapur mereka. Bahkan bantuan udara pun—yang lebih mirip pertunjukan kembang api amal itu—dikecam oleh warga Gaza sendiri sebagai “aerobatik kemanusiaan.” Karena bagaimana mungkin Anda melemparkan makanan dari langit, lalu menghalangi jalan masuk ke bumi?
Hamas—yang entah sejak kapan jadi referensi logika akal sehat—mengatakan, “Kami tidak butuh pesawat, kami butuh jalur darat yang terbuka.” Dan untuk pertama kalinya, ucapan mereka diamini oleh nurani dunia. Bahkan Prancis, Jepang, dan Kanada—negara-negara yang biasanya hanya mengangkat alis saat ada krisis di Timur Tengah—kali ini ikut bersuara. Mereka menyebut apa yang terjadi sebagai pelanggaran hukum kemanusiaan. Tapi, seperti biasa, suara itu hanya menggema di konferensi, bukan di medan nyata.
Sementara itu, di rumah-rumah sempit Gaza, seorang anak meninggal karena lapar setiap 80 menit. Bukan karena perang, bukan karena peluru, tapi karena roti tak kunjung tiba. Angka kematian akibat kelaparan kini telah mencapai 147 jiwa, termasuk 88 anak. Tapi angka-angka itu, seberapa tragis pun, masih kalah dari kekuatan visual satu foto: seorang anak kurus kering, duduk memeluk lututnya, matanya menatap kosong ke kamera, seolah berkata, “Apalagi yang harus aku hilangkan agar dunia percaya aku sedang sekarat?”
Lucunya, atau ironisnya, media-media besar seperti AFP, Reuters, AP, dan BBC kini merasakan penderitaan yang mereka liput. Para jurnalisnya tak lagi bisa makan, bahkan tak mampu memberi makan keluarganya sendiri. Kita akhirnya sampai pada titik di mana penyaksi kelaparan pun ikut lapar. Dunia benar-benar terbalik. Kamera yang dulu jadi alat untuk menggambarkan penderitaan, kini mungkin akan dipertukarkan dengan sekerat roti.
Dan sementara dunia bingung bagaimana cara mengirim makanan ke Gaza, Israel sibuk merancang alasan untuk menolak semua jalur bantuan. Mereka menyebut keamanan, mereka menyebut logistik, mereka menyebut terorisme—tapi tak satu pun yang menjelaskan mengapa seorang bayi harus mati karena susu formula tidak sampai. Kalau ini bukan kejahatan yang terencana, maka semesta sedang bermain ironi yang paling busuk.
Beberapa pejabat dunia masih terlihat santai, seolah kelaparan di Gaza adalah film dokumenter yang bisa ditunda dengan remote control. Tapi di wilayah kami, di Indonesia, yang konon negeri dengan Pancasila di dada dan “kemanusiaan yang adil dan beradab” di lambang negara, suara kita pun tak kalah lemah. Kita sibuk berdebat soal mana yang halal atau tidak di warung kopi, sementara warga Gaza bahkan tak bisa membedakan antara lapar dan sakit—karena dua-duanya terasa sama, dan dua-duanya membunuh pelan-pelan.
Lembaga-lembaga internasional terus mengadakan sidang, diskusi, seminar. Ada yang menyebut pentingnya menjaga keseimbangan geopolitik, ada yang takut intervensi militer, ada pula yang terlalu khawatir menyebut nama zionis karena bisa mengganggu mitra dagang. Sungguh lucu: anak-anak mati karena roti, sementara orang dewasa mati-matian menjaga kata-kata.
Pernahkah kita bertanya, bagaimana jika yang terjadi di Gaza itu terjadi di Bandung? Atau di Surabaya? Bayangkan jika setiap 80 menit, satu anak Indonesia mati kelaparan karena akses makanan diblokir oleh kekuatan bersenjata. Apakah kita akan tetap tenang, tetap sopan dalam diplomasi, tetap menyebut semuanya sebagai “situasi kompleks”? Tidak. Tapi Gaza bukan Bandung, bukan Surabaya. Ia terlalu jauh, terlalu Arab, terlalu Muslim, terlalu Palestina—terlalu segalanya yang membuat dunia merasa nyaman untuk tidak peduli.
Sementara itu, influencer kita sibuk membuat konten lucu, selebriti membahas skincare, dan pembuat undang-undang sibuk mengesahkan RUU yang tak jelas fungsinya. Gaza mungkin akan lenyap sebelum jadi trending topic. Tapi kita akan tetap merasa baik-baik saja, karena toh kita sudah donasi Rp10.000 lewat aplikasi e-wallet. Nurani kita sudah kita outsource-kan.
Yang menyedihkan bukan hanya fakta bahwa Gaza sedang sekarat. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa kita tahu, dan tidak berbuat banyak. Kita punya waktu untuk menyusun doa, tapi tak punya keberanian untuk menyusun tekanan. Kita bicara soal solidaritas, tapi hanya sebatas caption Instagram. Kita mengutuk genosida, tapi enggan menyebut siapa pelakunya.
Masih ada wilayah di mana anak-anak mati bukan karena peluru, tetapi karena perut kosong yang dipaksa tak terisi. Dan kita semua—dengan segala ceramah kemanusiaan yang kita sampaikan hingga berbusa-busa—tetap tak mampu untuk memaksa blokade terhadap Gaza dibuka. Kita bersuara, tapi tak bersikap. Kita tersentuh, tapi tak bergerak. Kita tahu, tapi tetap diam.
Jika ini yang disebut peradaban, maka barangkali Gaza bukan hanya sedang dihancurkan, tapi sedang memperlihatkan pada dunia bahwa peradaban itu sendiri telah usang. Dan jika kita tetap menonton semua ini dengan tenang, maka bukan hanya rakyat Gaza yang mati—kita pun, sebagai manusia, sedang membusuk pelan-pelan dalam kemasan kemunafikan global.