Connect with us

Opini

Gaza, Laboratorium Kekejaman di Abad Modern

Published

on

Bayangkan sebuah tempat yang setiap hari menjadi headline, namun pada saat yang sama perlahan berubah menjadi sekadar latar belakang yang terbiasa. Gaza, yang dulunya hanya sebidang tanah sempit di peta, kini menjelma menjadi simbol paling nyata dari eksperimen kejam abad ini. Sebuah laboratorium terbuka di mana bukan tikus putih yang diuji, melainkan manusia yang bernapas, dengan segala kesedihannya, segala keberaniannya, dan segala keterbatasannya.

Laboratorium ini unik, karena para perancangnya bukan ilmuwan dengan jas putih, melainkan politisi ekstrem kanan dengan nafsu kuasa dan seragam militer yang siap melaksanakan perintah. Lihatlah bagaimana Bezalel Smotrich bisa dengan enteng berkata bahwa warga Gaza harus dibiarkan mati kelaparan. Kalimat itu tak lahir dari ruang bawah tanah propaganda, tetapi dari rapat resmi kabinet. Betapa absurd: keputusan yang akan menentukan hidup dan mati jutaan orang dibahas layaknya strategi bisnis.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang lebih mengejutkan bukan hanya isi kalimat itu, melainkan cara perdebatan berlangsung. Kepala staf militer, Eyal Zamir, bukannya menolak dengan alasan moral, tetapi hanya mengingatkan bahwa secara teknis mustahil untuk dilaksanakan cepat. Jadi bukan soal benar atau salah, melainkan soal praktis atau tidak. Inilah wajah telanjang dari eksperimen Gaza: nyawa manusia bukan nilai, melainkan variabel dalam kalkulasi dingin yang bisa dinegosiasikan.

Saya membayangkan jika ada papan tulis raksasa di ruang rapat itu. Di sana tertulis: “Hipotesis: Gaza akan menyerah jika dipaksa lapar.” Di bawahnya ada daftar langkah: blokade listrik, putuskan air, hancurkan rumah sakit, cegah bantuan makanan. Semua itu kemudian dieksekusi, lalu hasilnya dicatat: berapa orang mati, berapa yang menyerah, berapa yang masih bertahan. Betapa dingin, betapa sistematis, dan betapa jauh dari rasa kemanusiaan.

Netanyahu memilih untuk diam. Diam bukan berarti tidak setuju, melainkan bagian dari eksperimen politiknya. Ia membiarkan orang-orang seperti Smotrich dan Ben-Gvir berteriak, membiarkan militer tampak seolah lebih “rasional”, sementara dirinya berdiri di tengah sebagai oportunis ulung. Ia tahu Amerika sedang menekan, ia tahu dunia memperhatikan, maka diam menjadi strategi paling aman. Tapi dalam diam itulah, mesin eksperimen tetap berjalan.

Sejak Oktober 2023, lebih dari 62 ribu warga Gaza terbunuh. Angka ini sering disebut, tetapi kita jarang berhenti untuk merasakannya. Enam puluh dua ribu adalah stadion penuh manusia. Bayangkan kursi-kursi itu, lalu bayangkan semuanya kosong karena kematian. Tidak semua mati karena bom. Sebagian meninggal karena blokade, sebagian karena kelaparan, sebagian karena penyakit yang tak bisa diobati. Semua ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari desain. Gaza, dengan segala penderitaannya, adalah protokol percobaan yang dijalankan berulang kali.

Mereka yang mendukung kebijakan ini mungkin akan berkata: “Ini perang, bukan eksperimen.” Tapi coba renungkan: bukankah ada pola yang sangat menyerupai metodologi penelitian? Ada perancangan, ada uji coba, ada pengukuran hasil. Gaza diperlakukan sebagai simulasi besar untuk menguji sejauh mana penderitaan bisa memaksa sebuah masyarakat tunduk. Bedanya, penelitian ilmiah bertujuan menemukan obat, sementara penelitian ini bertujuan menemukan formula kehancuran.

Analoginya bisa kita tarik ke kehidupan sehari-hari. Ketika listrik mati satu jam saja, kita sudah mengeluh. Ketika air di rumah mati sehari, kita merasa seolah dunia berhenti. Itu baru satu jam, baru satu hari. Di Gaza, kondisi ini berlangsung berbulan-bulan. Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada akses pada makanan layak. Kita ribut di grup WhatsApp karena PDAM terlambat, mereka kehilangan anak karena tidak ada obat di rumah sakit. Jarak emosional ini memperlihatkan betapa kita sudah terbiasa menonton tanpa benar-benar merasakan.

Eksperimen ini bukan hanya menguji rakyat Gaza. Ia juga menguji dunia. Seberapa jauh dunia bisa menoleransi kebengisan? Sampai titik mana masyarakat internasional akan marah? Apakah cukup dengan resolusi PBB yang segera dilupakan? Ataukah dunia benar-benar sudah kehilangan nurani? Saya rasa, yang sedang diuji bukan hanya ketahanan Gaza, tapi juga batas kemunafikan global.

Ironisnya, eksperimen ini juga menguji kita, para penonton. Kita yang setiap hari membaca berita, menonton video, merasa marah sebentar lalu kembali sibuk dengan rutinitas. Ada bahaya besar di sini: tragedi berubah menjadi rutinitas, dan rutinitas berubah menjadi normal. Ketika penderitaan menjadi normal, eksperimen ini berhasil, bukan hanya di Gaza, tetapi juga di kepala kita. Normalisasi kebengisan adalah kemenangan paling berbahaya.

Dalam sejarah, laboratorium kejam semacam ini bukan hal baru. Dari kamp konsentrasi Nazi, hingga kamp kolonial di Afrika, selalu ada pihak yang menjadikan manusia sebagai objek uji coba. Bedanya, kali ini eksperimennya dilakukan di depan mata dunia, di era media sosial, di era di mana informasi bisa beredar dalam hitungan detik. Tidak ada lagi alasan untuk berkata “kami tidak tahu.” Semua orang tahu, hanya pilihan sikap yang membedakan.

Saya teringat satu kalimat yang sederhana: “Gaza adalah cermin.” Cermin yang memperlihatkan siapa sebenarnya kita. Jika kita hanya menonton, kita sedang melihat wajah kita sendiri yang memilih diam. Jika kita bersuara, meski kecil, kita sedang menunjukkan bahwa ada nurani yang masih tersisa. Gaza, dengan segala horornya, adalah ujian paling jujur bagi moralitas dunia.

Pada akhirnya, kita dipaksa untuk menjawab satu pertanyaan mendasar: apakah kita rela hidup di dunia di mana kelaparan bisa dijadikan senjata sah, di mana anak-anak dijadikan objek eksperimen, di mana penderitaan diperlakukan sebagai data statistik? Jawaban itu tidak bisa kita titipkan pada PBB atau ICC semata. Jawaban itu ada pada sikap kita, pada keberanian kita untuk menolak normalisasi kebengisan.

Jika Gaza hari ini adalah laboratorium, maka dunia adalah para saksi yang diam di balik kaca transparan. Kita melihat, kita mencatat, kita tahu persis apa yang sedang terjadi. Pertanyaannya: apakah kita akan terus diam sebagai penonton, ataukah kita berani mengetuk kaca itu dan menghentikan eksperimen? Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan hanya siapa pelakunya, tetapi juga siapa yang memilih bungkam ketika kemanusiaan diperlakukan sebagai objek percobaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer