Opini
Gaza: Ketika Kelaparan Jadi Senjata Politik

Di sebuah kota yang dulu penuh riuh kehidupan, kini terdengar hanya rintihan perut kosong dan batuk anak-anak yang tubuhnya semakin kurus. Kota Gaza, dengan ratusan ribu penduduknya, resmi disebut mengalami kelaparan oleh otoritas dunia yang paling dihormati dalam urusan krisis pangan, Integrated Food Security Phase Classification (IPC). Famine, kata mereka. Sebuah istilah dingin yang dalam kenyataan berarti bayi-bayi berhenti menangis karena sudah terlalu lemah, dan orang tua menatap kosong saat tak mampu lagi memberi sesuap makanan pada anaknya. Ironisnya, laporan ini bukan datang dari negara miskin yang terisolasi bencana alam, melainkan dari sebuah wilayah yang kelaparan itu diproduksi—sengaja, sistematis, dan terencana.
Israel, tentu saja, menolak. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu buru-buru menyebut laporan itu sebagai “kebohongan terang-terangan.” Tidak ada kelaparan, katanya. Barangkali ia lupa, kelaparan bukanlah retorika yang bisa dibantah dengan pernyataan politik. Kelaparan hadir dalam wajah pucat seorang anak yang kehilangan tiga puluh persen berat badannya, dalam tubuh seorang remaja yang seharusnya tumbuh tapi justru menyusut, dalam suara seorang ayah yang berkata “saya tak bisa menyediakan protein, daging, atau ikan bagi putri saya.” Lantas, siapa yang bisa membantah kesaksian tubuh manusia yang meranggas?
Lebih ironis lagi ketika Amerika Serikat ikut bermain dalam simfoni penyangkalan ini. Washington dengan fasih berkata situasi kemanusiaan di Gaza memang serius, tapi lalu menuding Hamas dan para penjarah yang menyebabkan distribusi bantuan macet. Retorika lama yang berulang: salahkan korban, salahkan pihak lain, asal jangan sentuh akar persoalan—yakni blokade yang menutup jalur masuk makanan, obat, dan barang esensial. Padahal, laporan IPC jelas menyebutkan bahwa faktor penentu kelaparan adalah kombinasi antara serangan militer, blokade, dan hancurnya produksi pangan lokal. Tetapi memang begitulah, ketika politik bicara, fakta sering diusir dari panggung.
Mari kita tengok angka-angka. Setengah juta orang di Gaza kini berada di ambang kematian akibat kelaparan. Itu seperempat dari seluruh populasi. Bayangkan seperempat warga Jakarta—katakanlah seluruh penduduk Jakarta Barat—dipaksa hidup tanpa makanan cukup selama berbulan-bulan. Lalu setiap hari dua orang dewasa atau empat anak kecil mati hanya karena perutnya kosong. Itu bukan sekadar angka statistik, itu tragedi kolektif yang disulap menjadi strategi militer. Dan dunia? Dunia masih sibuk berdebat tentang definisi kelaparan, seakan menunda pengakuan bisa memperlambat kematian.
Israel mengklaim sudah memasukkan lebih dari 100 ribu truk bantuan sejak perang dimulai. Terdengar megah, seakan puluhan ribu kendaraan penuh pangan meluncur ke Gaza. Namun jika dihitung, angka itu tak sebanding dengan kebutuhan riil. Apalagi sempat ada periode ketika seluruh impor makanan dan obat dihentikan total, dari Maret hingga Mei. Satu bulan blokade penuh sudah cukup untuk membuat stok pangan menguap, lalu tubuh-tubuh kecil mulai layu. Jadi, klaim truk bantuan hanyalah angka kosong tanpa konteks. Bagaikan mengatakan sudah menyalurkan air ke sebuah kota, padahal kran-kran sengaja dipersempit sehingga hanya tetesan yang sampai ke gelas warga.
Saya rasa, inilah absurditas terbesar: sebuah negara dengan teknologi militer canggih, yang bisa melacak ponsel setiap pejuang Hamas hingga ke dalam terowongan, tiba-tiba mengaku tidak tahu-menahu soal kelaparan massal di depan matanya. Dunia disuguhi drama denial. Bahkan ketika foto anak-anak kurus kering beredar, tetap saja disebut “propaganda.” Maka, apakah kita sedang menyaksikan tragedi kemanusiaan atau sandiwara politik? Atau justru keduanya, di mana manusia menjadi latar belakang muram bagi panggung politik yang terus berjalan?
Ada satu hal yang sering kita lupakan: kelaparan bukan sekadar rasa perut kosong. Ia adalah penghancuran pelan-pelan. Anak-anak yang menderita malnutrisi hari ini akan menanggung kerusakan otak dan fisik permanen. Generasi Gaza yang selamat, kelak, mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya pulih. Mereka akan tumbuh dengan tubuh lemah, dengan daya tahan rendah, dengan trauma berlapis. Israel mungkin berhasil menguasai wilayah, tapi dengan harga menciptakan sebuah generasi yang terbelenggu kerusakan sejak dalam rahim ibunya. Inilah perang dalam bentuk paling keji—perang yang tidak hanya membunuh hari ini, tapi juga mencuri masa depan.
Namun, absurditas itu menemukan lawannya dalam ironi lain. Dunia internasional baru “terbangun” setelah IPC berani menyebut kata famine (kelaparan massal). Seolah-olah selama ini kelaparan belum cukup nyata sebelum ada label resmi. Alex de Waal, penulis buku Mass Starvation, berkata: sering kali para ahli harus berteriak “famine!” agar dunia menoleh, dan saat itu sudah terlambat. Apakah kita benar-benar perlu label akademis untuk mengakui kenyataan tubuh-tubuh kurus yang sudah lama terhampar? Tidakkah kita menjadi terlalu birokratis bahkan dalam urusan penderitaan manusia?
Bagi orang Indonesia, bayangan ini mestinya sangat membekas. Kita pernah punya sejarah kelaparan di masa penjajahan, ketika pangan dijadikan alat kontrol politik. Kita tahu bagaimana nasi bukan sekadar makanan, tapi simbol keberlangsungan hidup. Maka, ketika Gaza dipaksa kelaparan, itu seakan mengulang luka lama manusia: pangan dijadikan senjata, roti dijadikan peluru. Saya membayangkan, kalau anak-anak kita sendiri yang tiba-tiba kehilangan tiga puluh persen berat badannya, apakah kita masih sempat berdebat soal definisi dan statistik?
Israel menegaskan bahwa operasi militer tetap harus dilanjutkan demi membebaskan sandera dan menghancurkan Hamas. Tetapi jika strategi itu dibayar dengan setengah juta nyawa yang terancam kelaparan, bukankah itu pengorbanan yang absurd? Apakah dunia benar-benar percaya bahwa memaksa anak-anak mati kelaparan akan membuat Hamas menyerah? Logika ini tak hanya bengkok, tapi sepenuhnya runtuh. Kelaparan tidak pernah melahirkan perdamaian; ia hanya melahirkan dendam yang diwariskan lintas generasi.
Saya pikir, inilah wajah kegagalan moral global. Sekjen PBB sudah menyebutnya sebagai “kegagalan kemanusiaan itu sendiri.” Dan kita semua, yang menyaksikan dari jauh, ikut terseret dalam kegagalan itu. Kita bisa saja menonton gambar dari layar ponsel, mengernyitkan dahi, lalu melanjutkan hidup. Tetapi setiap kali kita makan siang dengan kenyang, ada ironi pahit yang tak bisa dihapus: di Gaza, seorang ayah sedang menatap putrinya yang kehilangan hampir separuh berat badannya, dan ia tak bisa berbuat apa-apa.
Pada akhirnya, kelaparan di Gaza bukan sekadar soal pangan. Ia adalah cermin yang menyoroti wajah dunia: penuh retorika, miskin tindakan. Dunia seakan rela membiarkan sebuah generasi dikorbankan demi kompromi politik. Dan kita, mau tak mau, ikut menjadi bagian dari absurditas itu—baik dengan diam, dengan penyangkalan, atau dengan sekadar berharap tanpa bertindak. Saya rasa, sejarah kelak akan menulis bab ini dengan tinta yang sangat gelap, dan kita semua tahu siapa yang akan berdiri di sisi yang salah dari catatan itu.
Pingback: Gaza Jadi Laboratorium Kekejaman Abad Modern
Pingback: Manual Pembelaan Israel: Hamas dan Antisemitisme.