Opini
Gaza, Inggris, dan Tragedi Dunia yang Dipertontonkan

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sibuk dengan urusannya masing-masing, kabar dari Gaza datang seperti tamparan keras: ancaman kelaparan membayangi warga sipil, sandera Israel dalam risiko yang semakin mencekam, dan bencana kemanusiaan yang kian meruncing. David Lammy, Menteri Luar Negeri Inggris, berdiri di hadapan House of Commons dan menyebut situasi ini “tak tertahankan” dan “mengerikan.” Seolah baru terbangun dari tidur panjang, Lammy kini berbicara tentang penderitaan Gaza dengan nada penuh keprihatinan.
Rakyat Gaza, terjepit di antara puing-puing perang, menanti truk bantuan yang tak kunjung tiba, sementara dunia—termasuk kita—mengintip dari kejauhan, seolah menonton tragedi di layar bioskop. Lammy, dengan nada yang seolah baru tersadar dari tidur panjang, menyebut situasi ini “tak tertahankan” dan “mengerikan.” Tapi, benarkah Inggris tiba-tiba jadi penutur nurani global? Atau ini cuma drama politik, seperti teman lama yang mendadak telepon, tapi kita tahu dia pasti mau minta sesuatu.
Bayangkan absurditasnya: hanya kurang dari sepuluh truk bantuan masuk ke Gaza kemarin, padahal PBB bilang butuh 600 truk sehari untuk sekadar menahan kelaparan. Sepuluh truk! Itu seperti menawarkan setetes air ke tengah gurun, lalu bilang, “Nah, ini cukup buat bertahan hidup.” Lammy menuding pemerintahan Netanyahu, yang katanya sengaja mendorong warga Gaza ke sudut selatan Jalur Gaza, memberikan “cukup bantuan” agar tak kelaparan—tapi tak lebih. Ini bukan kebaikan hati; ini perhitungan dingin. Netanyahu sendiri yang bilang, “cukup untuk mencegah kelaparan.” Ironis, bukan? Seolah kelaparan adalah garis merah yang bisa diatur dengan takaran sendok teh, sementara anak-anak Gaza, seperti yang dilaporkan UNICEF, menghadapi risiko malnutrisi akut. Ada 14.000 bayi di sana, dan dunia masih sibuk berdebat soal siapa yang salah.
Lalu, Inggris membuat gebrakan: menangguhkan pembicaraan perdagangan bebas dengan Israel, memanggil duta besar mereka, Tzipi Hotovely, ke Kantor Luar Negeri, dan menjatuhkan sanksi pada tiga individu serta empat entitas yang terkait dengan gerakan pemukim di Tepi Barat. Lammy bilang tindakan ini “diperlukan” karena pemerintahan Netanyahu telah merusak citra Israel di mata dunia. Tapi, mari kita jujur: apakah ini benar-benar tentang kemanusiaan, atau cuma Inggris yang ingin tampil sebagai pahlawan di panggung global? Seperti teman yang tiba-tiba muncul di reuni, berpakaian necis, tapi kita tahu dia cuma ingin pamer. Data dari YouGov bulan lalu menunjukkan 56% warga Inggris mendukung gencatan senjata di Gaza. Jadi, mungkin ini cara Partai Buruh, yang baru berkuasa, untuk menyenangkan publik di rumah sambil mengangguk-angguk ke arah PBB.
Tapi, tunggu dulu—apakah langkah ini benar-benar mengubah apa pun? Penangguhan pembicaraan perdagangan tak menyentuh perjanjian yang sudah ada, yang masih memungkinkan barang mengalir antar kedua negara. Sanksi pada pemukim? Hanya segelintir orang dan entitas, seperti menampar nyamuk di tengah badai. Ini seperti menyanyikan lagu kemanusiaan dengan nada sumbang—kedengarannya bagus, tapi tak mengubah irama perang. Lammy bilang, “Perang ini merusak hubungan kami dengan Israel.” Tapi, hubungan itu sudah rapuh sejak lama, sejak Inggris menorehkan Deklarasi Balfour di lembar sejarah, menabur benih konflik yang kini kita saksikan. Kini, mereka seolah bangun dari tidur panjang, menggosok mata, dan berkata, “Wah, ini keterlaluan!” Kita di Indonesia, yang pernah merasakan getirnya kolonialisme, tahu betul bahwa “kepedulian” dari kekuatan besar sering datang dengan bumbu kepentingan.
Israel, tentu saja, tak tinggal diam. Juru bicara luar negeri mereka, Oren Marmorstein, menanggapi dengan nada sinis di X: “Kalau Inggris mau merusak ekonominya sendiri karena obsesi anti-Israel, itu hak mereka.” Dia juga menyinggung soal korban terorisme, seperti Tzeela Gez, yang tewas dalam perjalanan ke ruang bersalin, meninggalkan bayi yang kini dirawat di rumah sakit. Ini adalah narasi Israel: mereka sedang berjuang untuk bertahan hidup, dan tekanan luar seperti sanksi Inggris hanya akan memperkuat tekad mereka. Ironi yang getir di sini adalah kedua belah pihak mengklaim moralitas. Inggris bicara soal kemanusiaan, Israel soal keamanan. Sementara itu, rakyat Gaza terjebak di tengah, seperti penonton yang lupa jalur keluar dari teater yang terbakar.
Mari kita membumi sebentar. Di Indonesia, kita tahu betul bagaimana rasanya jadi penutup telinga dunia saat konflik meletus—pikirkan Aceh atau Timor Leste dulu. Kita juga tahu bahwa “kepedulian” internasional sering datang terlambat, atau dengan agenda. Inggris, dengan sejarah panjangnya sebagai pemain global, bukan malaikat yang tiba-tiba turun dari langit. Langkah mereka ini, meski disambut sorak-sorai oleh sebagian kita yang muak dengan penderitaan Gaza, terasa seperti setengah hati. Lammy bilang akan ada “tindakan lebih lanjut” jika Israel terus melancarkan serangan dan memblokir bantuan. Tapi apa artinya ancaman itu tanpa tindakan nyata? Mengirim kapal bantuan? Menekan gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB? Atau sekadar menggoyang jari sambil berkata, “Jangan begitu, Netanyahu”?
Ada sesuatu yang nyaris lucu—tapi tragis—dalam cara dunia menangani krisis ini. Inggris, yang pernah menggambar peta Timur Tengah dengan tangan besi, kini berbicara soal moralitas seolah mereka tak punya andil dalam kekacauan ini. Sementara itu, Israel, yang lahir dari trauma sejarah, menjadikan keamanan sebagai tameng untuk membenarkan segala tindakan. Dan Gaza? Gaza adalah cermin yang memantulkan kegagalan kolektif kita. Menurut laporan OCHA, lebih dari 43.000 orang tewas di Gaza sejak Oktober 2023, dengan 70% di antaranya perempuan dan anak-anak. Angka itu bukan sekadar statistik; itu nyawa, cerita, dan mimpi yang terkubur di bawah reruntuhan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan, dari sini, dari Indonesia? Kita bisa berteriak di media sosial, mengutuk keras, atau mengirim doa—tapi itu semua terasa seperti melempar batu ke lautan. Mungkin kita perlu melihat cermin itu sendiri, bertanya: apakah kita juga ikut menutup mata? Ketika Inggris membuat gebrakan, kita bersorak, tapi kita tahu di hati kecil kita bahwa ini bukan akhir cerita. Ini seperti drama sinetron yang tak pernah selesai: tiap episode ada konflik baru, tapi solusinya selalu ditunda ke minggu depan. Kita ingin Inggris, dan dunia, tak cuma berhenti di kata-kata manis atau sanksi simbolis. Kita ingin truk-truk bantuan itu mengalir, rumah-rumah dibangun kembali, dan anak-anak Gaza bisa tidur tanpa suara bom.
Jadi, ya, Inggris mungkin sedang menginjakkan kaki di sisi sejarah yang benar, tapi kakinya masih ragu-ragu, seperti penari yang lupa langkah. Kita, sebagai penonton, tak bisa cuma bertepuk tangan atau mencemooh. Kita harus bertanya: apa berikutnya? Karena, kalau cuma ini, maka Gaza akan tetap jadi panggung tragedi, dan kita semua—Inggris, Israel, kita di Indonesia—hanyalah penonton yang lupa cara keluar dari teater ini.