Connect with us

Opini

Gaza: Genosida dalam Diam, Apakah Kita Bersalah?

Published

on

Di sebuah sudut Gaza, seorang ibu memeluk anaknya yang kelaparan, matanya kosong menatap dinding tenda pengungsian yang compang-camping. Di dekatnya, suara gemuruh perut menggantikan tawa anak-anak yang dulu mengisi udara. Laporan Amnesty International baru-baru ini menyingkap luka yang lebih dalam: blokade Israel telah menciptakan neraka kelaparan, krisis air, dan kematian yang merayap perlahan. Mereka menyebutnya genosida—tindakan yang dirancang untuk memusnahkan warga sipil. Apakah dunia, dalam diamnya, turut bersalah?

Laporan itu bukan sekadar kertas bertinta; ia adalah jeritan 2,3 juta jiwa di Gaza, terkunci dalam penjara terbuka selama 19 bulan terakhir. Amnesty mendokumentasikan bagaimana Israel, melalui blokade total, menghalangi masuknya makanan, air bersih, dan obat-obatan—kebutuhan dasar yang dijamin oleh Konvensi Jenewa. Testimoni dari 35 pengungsi di Gaza City dan enam warga Beit Lahia menggambarkan krisis yang mengerikan: 92% ibu hamil dan menyusui kekurangan nutrisi, menurut OCHA. Anak-anak “memudar,” kata dokter, tubuh mereka layu karena malnutrisi.

Blokade ini bukan sekadar kebijakan; ia adalah senjata. Amnesty menyebutnya hukuman kolektif, kejahatan perang, dan genosida, merujuk pada Konvensi Genosida PBB 1948 yang mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang sengaja menciptakan kondisi untuk menghancurkan suatu kelompok. Dengan memutus listrik ke instalasi desalinasasi utama Gaza pada 9 Maret, Israel membuat warga meminum air laut—tindakan yang, menurut laporan, melanggar putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang memerintahkan akses bantuan kemanusiaan. Ini adalah krisis yang disengaja, bukan kecelakaan.

Seorang nelayan di Gaza, yang kisahnya dicatat Amnesty, berlayar di bawah ancaman peluru Israel demi menangkap ikan untuk keluarganya. “Kami tidak punya pilihan,” katanya, “kelaparan lebih menakutkan daripada kematian.” Namun, 70% wilayah Gaza kini berada di bawah perintah evakuasi dan zona larangan, memutus akses ke sumber makanan. Petani tak bisa menanam, nelayan tak bisa melaut tanpa risiko nyawa. Harga ikan dan daging melonjak, menjadi kemewahan yang tak terjangkau bagi kebanyakan warga.

Di pasar Gaza, kelaparan dimanfaatkan. Laporan Amnesty mengungkap praktik penimbunan dan penjualan bahan pokok dengan harga selangit, sementara krisis uang tunai membuat biaya penarikan mencapai 30%. Warga bergantung pada dapur umum yang penuh sesak, sering hanya mendapat satu porsi makanan sehari. Seorang ibu berkata, “Kami tidak peduli apakah makanan itu bergizi, asal anak-anak tidak mati kelaparan.” Ini bukan sekadar krisis; ini adalah penghancuran martabat manusia.

Sistem kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran. Rumah Sakit Anak Al-Rantissi, yang sempat dibuka kembali selama gencatan senjata singkat, kehabisan alat dialisis untuk anak-anak. Seorang dokter melaporkan kekurangan AV fistula, alat penting untuk pasien dialisis, akibat blokade bantuan. Tanpa insulin, pasien diabetes meninggal perlahan. Bayi kekurangan susu formula, dan malnutrisi parah merenggut nyawa anak-anak. Laporan menyebutkan serangan militer Israel dan pembatasan bantuan sebagai penyebab utama kolaps ini.

Air, hak dasar manusia, menjadi barang langka. Ketika Israel memutus listrik ke instalasi desalinasasi, warga Beit Lahia bertahan lima hari tanpa air. Beberapa terpaksa membakar plastik dan kayu untuk memasak, menghirup asap beracun yang menyebabkan penyakit pernapasan, terutama pada wanita. Seorang warga berkata, “Kami mengirim anak-anak mengambil air di tengah bom.” Ini bukan sekadar kekurangan; ini adalah pengingkaran hak hidup yang sistematis.

Amnesty menegaskan bahwa blokade ini melanggar hukum internasional, termasuk putusan ICJ yang berulang kali memerintahkan Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan. Namun, laporan demi laporan—dari Amnesty, Human Rights Watch, hingga PBB—terus diabaikan. Erika Guevara Rosas, Direktur Senior Amnesty, menyebut kegagalan negara-negara ketiga untuk menghentikan pelanggaran Israel sebagai “memalukan.” Budaya impunitas, yang telah berlangsung selama dekade, memungkinkan krisis ini berulang tanpa akuntabilitas.

Dunia menyaksikan, tetapi tidak bertindak. Sekutu Israel, seperti Amerika Serikat, terus memberikan dukungan militer dan diplomatik, meskipun laporan menunjukkan pelanggaran yang jelas. Veto di Dewan Keamanan PBB menghambat resolusi yang mengikat, sementara investigasi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) berjalan lambat. Media Barat sering kali meminimalkan krisis ini, memprioritaskan narasi keamanan Israel daripada penderitaan warga sipil. Dalam diamnya, dunia menjadi penutup mata bagi genosida yang merayap.

Namun, apakah hanya negara-negara besar yang bersalah? Setiap individu yang memilih mengalihkan pandang dari laporan ini, yang menutup telinga dari jeritan Gaza, turut berkontribusi pada kebisuan. Media sosial dipenuhi tren dan hiburan, tetapi berapa banyak yang membagikan kisah nelayan yang mempertaruhkan nyawa demi ikan? Berapa banyak yang menyerukan keadilan untuk anak-anak yang “memudar”? Ketidakpedulian kita, meski kecil, adalah batu bata dalam tembok impunitas ini.

Laporan Amnesty bukan sekadar dokumentasi; ia adalah cermin. Ia memaksa kita menatap kebenaran: bahwa genosida tidak selalu berupa pembantaian massal, tetapi bisa berwujud kelaparan yang dirancang, air yang dicuri, dan nyawa yang dibiarkan memudar. Konvensi Genosida PBB menyebutkan bahwa menciptakan kondisi yang menghancurkan suatu kelompok adalah genosida. Gaza, dengan 92% ibu hamil kekurangan nutrisi dan anak-anak tanpa obat, adalah bukti hidup definisi itu.

Kita tidak bisa mengubah Gaza sendirian, tetapi kita bisa memilih untuk tidak diam. Menyebarkan laporan ini di platform seperti X, menulis kepada pejabat pemerintah, atau mendukung organisasi kemanusiaan adalah langkah kecil yang menolak kebisuan. Amnesty menyerukan embargo senjata terhadap Israel dan kerja sama dengan ICC—tuntutan yang harus didengar oleh negara-negara. Namun, perubahan dimulai dari kesadaran, dan kesadaran dimulai dari kita.

Seorang warga Gaza, dalam laporan Amnesty, berkata, “Kami hanya ingin mengebumikan yang mati dengan damai, memulai hidup tanpa bayang kematian.” Harapan sederhana itu direnggut oleh blokade, oleh impunitas, oleh diamnya dunia. Jika kita terus menutup mata, anak-anak Gaza akan terus memudar, dan darah mereka akan menodai tangan kita semua. Akankah kita tetap diam, atau akhirnya menjadi suara bagi mereka yang telah kehilangan segalanya?

Sumber:

  1. Amnesty International, “Gaza Siege Further Evidence of Israel’s Genocidal Intent,” Al Mayadeen, diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/gaza-siege-further-evidence-of–israel-s–genocidal-intent
  2. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida PBB, 1948.
  3. Data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA)

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *