Opini
Gaza Diserang, Poros Perlawanan Siap Bertindak

Pemimpin Ansarallah, Abdul Malik al-Houthi, dalam pidatonya 11 Februari lalu dengan tegas menyatakan bahwa mereka siap melanjutkan operasi militer jika gencatan senjata di Gaza gagal. Bukan sekadar ancaman kosong, selama ini mereka telah membuktikan bahwa kata-kata mereka selalu diiringi tindakan. Sementara itu, Benjamin Netanyahu, dengan senyum liciknya, terus bermanuver di balik bayang-bayang Washington. Seperti biasa, ada sponsor utama di balik kejahatan Israel.
Netanyahu tahu dia bisa berbuat semaunya, karena ada Amerika Serikat yang akan selalu memegang payung perlindungan untuknya. Apalagi dengan kembalinya Donald Trump ke panggung politik, strategi gila yang sebelumnya sempat tertunda kini bisa dieksekusi tanpa hambatan. Pertemuan Netanyahu dan Trump bukan sekadar basa-basi diplomasi, melainkan pertemuan para dalang perang yang sudah siap memainkan bidak perangnya.
Poros perlawanan tidak akan tinggal diam. Gaza bukan hanya sekadar wilayah yang bisa dibombardir sesuka hati, tetapi simbol perlawanan yang telah menginspirasi seluruh dunia Islam. Jika Netanyahu berpikir bahwa serangan brutalnya akan berjalan tanpa konsekuensi, maka dia sedang berada dalam delusi yang menyenangkan. Ansarallah, Hizbullah, dan seluruh jaringan perlawanan telah bersiap menyambut pesta perang yang dipaksakan oleh Israel.
Ketika misil Ansarallah mulai jatuh di Tel Aviv, ketika drone-drone Hizbullah mulai menjelajahi langit Israel, dan ketika pangkalan-pangkalan AS di Timur Tengah mulai merasakan panasnya ledakan, mungkin baru saat itu mereka akan menyadari bahwa perlawanan bukan sekadar slogan. Tapi tentu saja, Netanyahu tetap bisa berharap pada mukjizat: mungkin Amerika bisa mengirimkan lebih banyak kapal perang ke Laut Merah untuk dihancurkan oleh rudal Yaman.
Gagasan Trump untuk mengambil alih Gaza dan mengusir penduduknya adalah bentuk kegilaan imperialis yang bahkan membuat para pemimpin Arab harus berpikir dua kali. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara normalisasi lainnya kini berada dalam posisi yang sulit. Mereka ingin tetap bermain aman, tapi tekanan dari rakyat mereka sendiri semakin membesar. Mereka tahu bahwa berdiri bersama Israel saat ini sama saja dengan bunuh diri politik.
Poros perlawanan tidak akan menunggu restu dari penguasa-penguasa Arab yang hanya bisa menggelar konferensi kosong dan pernyataan retorik. Jika Israel terus menggempur Gaza, maka mereka tahu apa yang harus dilakukan. Seperti yang pernah dikatakan oleh pemimpin Hizbullah, jika Gaza jatuh, maka selanjutnya adalah perang regional. Perlawanan tidak akan berhenti pada perbatasan Gaza saja.
Amerika dan Israel boleh saja merasa jumawa dengan teknologi militernya, tetapi mereka lupa satu hal: semangat perlawanan tidak bisa dibunuh dengan drone dan misil pintar. Mereka bisa menghancurkan bangunan, tetapi mereka tidak bisa menghancurkan tekad. Netanyahu bisa bersembunyi di balik tembok beton, tetapi dia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perlawanan sudah mengepungnya dari segala arah.
Trump dan Netanyahu mungkin berpikir bahwa mereka bisa mengontrol segalanya, tetapi sejarah menunjukkan bahwa kekuatan yang melawan kezaliman selalu menemukan jalannya sendiri. Perlawanan bukan tentang senjata semata, tetapi tentang keberanian, tentang keyakinan bahwa tidak ada penjajahan yang akan bertahan selamanya. Jika mereka tetap memaksakan kehendak mereka, maka mereka akan mendapatkan jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata: mereka akan mendapatkan perlawanan yang nyata.
Gaza diserang, tapi perlawanan tidak pernah mati. Setiap serangan hanya akan melahirkan lebih banyak pejuang. Setiap rudal yang jatuh di tanah Palestina hanya akan semakin menguatkan tekad mereka. Dan setiap kebrutalan yang dilakukan Israel hanya akan semakin mendekatkannya pada kehancurannya sendiri. Dunia boleh saja terus berpura-pura buta, tetapi sejarah tidak akan pernah melupakan siapa yang benar-benar berdiri melawan kezaliman.