Opini
Gaza Dibunuh Tak Hanya dengan Bom, Tapi Juga Berita

Di jantung ibu kota negara adidaya, di sebuah jalan bernama 400 North Capitol Street, manusia-manusia berbaris membawa spanduk yang tidak ramah pada kamera—spanduk yang tidak akan ditampilkan dalam siaran utama sore hari. “Stop media complicity in genocide,” begitu bunyinya. Di lain sisi, sebuah karton berwarna menyuarakan lebih lantang, “Media lies, Gaza dies.” Ini bukan puisi jalanan. Ini seruan yang lahir dari rasa frustasi dan rasa jijik terhadap kekuasaan yang berbaju jurnalistik.
Di depan gedung yang menaungi kantor-kantor berita raksasa seperti NBC, Fox News, MSNBC, dan The Hill, para demonstran berdiri melawan dingin, melawan bisu, melawan ingatan yang secara sistematis dibentuk oleh redaksi. Mereka bukan menuntut penambahan jam tayang, bukan juga menyoal hak siar. Mereka menuntut satu hal yang dulu dianggap sakral: kebenaran. Tapi siapa yang masih percaya bahwa kebenaran ada di layar kaca pukul enam sore?
Sudah lebih dari 22 bulan, Gaza dibombardir hingga tak ada lagi orientasi arah. Rumah sakit berubah jadi kuburan, sekolah jadi puing-puing, dan anak-anak tumbuh besar dalam daftar statistik kematian. Tapi yang lebih mengerikan bukan hanya deru jet tempur atau gemuruh tank. Yang lebih sunyi dan keji adalah bagaimana semua itu bisa tampak wajar, karena diberitakan dengan narasi steril: “people are starving,” (Orang-orang kelaparan) kata mereka, bukan “Israel is starving people” (Israel membuat orang-orang kelaparan). Ini bukan sekadar permainan kata, ini pembersihan dosa melalui tata bahasa.
Hazami Barmada, salah satu penggagas aksi, menyoroti titik ini. Ia bicara soal bagaimana bahasa media membunuh dua kali: pertama dengan menormalisasi kematian, kedua dengan menghapus pelaku. Di dunia yang diatur oleh headline, siapa yang disebut, siapa yang dihilangkan, menjadi soal hidup dan mati. Media besar itu bukan cuma penyampai kabar. Ia kini jadi arsitek kenyataan.
Lihatlah wajah-wajah yang memenuhi layar kita: jurnalis berdasi, pembaca berita yang tersenyum tipis saat menyebut “conflict in Gaza.” Tapi coba cari kata “genocide” di skrip mereka. Jarang. Kalaupun ada, itu pun setelah melewati ruang editing yang tebal dengan sensor diplomatik. Kata “Israel” pun kerap disisipkan hati-hati, nyaris tak menyentuh peluru, seolah hanya jadi penonton dalam pesta kematian yang disiarkannya sendiri.
Sementara itu, lebih dari 61.000 jiwa telah hilang di Gaza—mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Tapi media tak punya nyali menyebutnya sebagai pembantaian. Mereka memilih istilah netral, agar tampak objektif. Ironisnya, justru dalam kenetralan itulah keberpihakan mereka menemukan rumah. Karena dalam kondisi ini, netralitas bukanlah posisi tengah—ia adalah bentuk pembiaran. Bahkan bisa jadi, bentuk kolaborasi.
Bayangkan jika jumlah itu terjadi di kota lain. Katakanlah, Paris atau Boston. Apakah narasinya akan sama? Ataukah kamera akan dipasang 24 jam nonstop, dengan presenter berkabung memakai pakaian gelap, dan headline berdurasi seminggu penuh? Kita tahu jawabannya. Dunia punya kelas dalam menangis. Tidak semua nyawa setara di layar.
Dan dalam dunia yang katanya modern ini, nyawa bisa dijual per kata. Dalam konferensi redaksi, satu editor bisa menghapus krisis kemanusiaan hanya dengan mengubah “massacre” menjadi “clash,” atau “children killed” menjadi “fatalities reported.” Seperti sulap. Hanya saja kali ini, yang menghilang bukan kelinci dalam topi, tapi tubuh manusia dalam puing-puing.
Yang menarik, kritik pedas ini justru datang dari kalangan Yahudi sendiri. Di New York, kelompok anti-okupasi IfNotNow turun ke jalan. Mereka bilang, “Trump: Jews Say No More.” Dengan membawa nilai-nilai Yudaisme, mereka justru menolak kekerasan yang dilakukan atas nama mereka. Momen langka. Ketika iman tidak lagi dipakai untuk membenarkan penindasan, tapi justru untuk melawannya. Mungkin ini bisa jadi pelajaran di sini juga: bahwa keberanian melawan ketidakadilan tidak selalu datang dari lawan, kadang ia muncul dari dalam rumah sendiri.
Sementara itu, di dunia lain yang lebih senyap, jurnalis-jurnalis yang jujur terpaksa hengkang dari media arus utama. Mereka tahu bahwa idealisme tak punya tempat di ruang redaksi yang dikendalikan oleh iklan, rating, dan relasi diplomatik. Kaidah jurnalistik dikubur pelan-pelan di bawah breaking news. Dan mereka yang tetap mencoba jujur? Banyak yang akhirnya dibungkam, didepak, atau dipaksa bicara dalam bahasa yang bukan miliknya.
Di titik ini, kita bisa berkata bahwa Gaza tidak hanya dibunuh oleh roket dan senjata. Ia juga dibunuh oleh mikrofon, oleh suntingan berita, oleh pemilihan kata yang menyesatkan. Gaza dibunuh oleh mereka yang memakai jas, duduk nyaman di studio, dan berkata: “kami netral.” Padahal di luar sana, darah belum sempat mengering dari tubuh anak-anak yang tertimpa reruntuhan.
Ada ironi yang pahit di sini. Dunia yang mengaku bebas dan demokratis ternyata tak punya ruang untuk narasi dari korban. Mereka yang mencoba membawa suara dari Gaza kerap dituduh ekstremis, atau lebih halusnya: tidak seimbang. Seolah-olah kebenaran itu harus datang dalam dua sisi yang sama besar. Padahal, dalam pembantaian, tidak ada dua sisi. Hanya ada pelaku dan korban.
Kalau ini terjadi di negeri kita, mungkinkah kita akan bereaksi berbeda? Atau apakah kita akan belajar dari cara para media di sana menyusun dusta dengan estetika yang halus? Di Indonesia, kita punya sejarah yang panjang dengan bahasa sebagai alat kekuasaan. Kita tahu bagaimana kata bisa menyelamatkan atau membinasakan. Maka kita seharusnya lebih peka ketika bahasa mulai menjadi topeng.
Kita juga mesti jujur. Banyak media kita hari ini hanya mengulang narasi dari kantor berita asing, terutama Barat, tanpa daya kritis. Mereka ambil berita, salin, tayang, dan merasa sudah memberitakan. Padahal yang mereka lakukan hanyalah memperpanjang daur kebohongan. Dalam kasus Gaza, kita tidak bisa lagi membiarkan diri jadi penonton yang patuh. Kita harus memilih: ikut melanggengkan keheningan, atau mulai bicara.
Tapi bicara yang bagaimana? Mungkin tidak cukup hanya dengan menulis. Mungkin perlu protes, mural, musik, film, doa, apa pun yang bisa menggugah. Karena di zaman ketika kebenaran dikompromikan demi kenyamanan, menjadi bising adalah bentuk keberanian. Dan siapa tahu, dari kebisingan itu, akan lahir narasi baru—yang tidak hanya adil, tapi juga jujur.
Maka ketika kita melihat spanduk di Washington bertuliskan “Media lies, Gaza dies,” jangan buru-buru menyebut itu berlebihan. Bisa jadi, itu satu-satunya kalimat yang benar-benar jujur hari itu.