Connect with us

Opini

Gaza Dibom, Dunia Berdiplomasi dengan Dua Wajah

Published

on

Di tengah reruntuhan Gaza yang tak henti ditimpa ledakan dan kelaparan, di sela-sela suara tangis anak-anak yang kehilangan orang tua sebelum sempat menyebut kata “damai”, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi tampil gagah dalam pernyataan diplomatiknya. Ia, seperti biasa, menyampaikan “penolakan total” terhadap segala bentuk pemindahan paksa rakyat Palestina dari tanahnya. Kata-kata itu terdengar indah—begitu indah, bahkan bisa menjadi kutipan kartu pos jika saja tidak lahir dari mulut yang mengunci perbatasan Rafah, satu-satunya pintu keluar masuk Gaza yang bisa menyelamatkan nyawa.

Betapa dunia ini penuh dengan kalimat manis yang pahit. Sisi, dalam nada serius khas pidato kenegaraan, berbicara tentang pentingnya rekonstruksi Gaza—seolah bangunan bisa dibangun ulang sebelum jenazah diangkat, seolah semen bisa menambal trauma kolektif yang dilahirkan dari bom-bom buatan Amerika. Ia menegaskan pentingnya hukum internasional dan perlindungan terhadap misi diplomatik. Tentu saja, hukum internasional selalu penting… kecuali jika yang melanggar adalah zionis dan yang dilanggar adalah Palestina.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pada saat yang sama, dari Washington dan Tel Aviv terdengar kabar lain—kabarnya mereka menarik delegasi dari perundingan damai di Doha. Alasannya? Hamas, katanya, “tak serius”. Alasan yang terasa seperti lelucon buruk dari naskah drama murahan. Padahal, menurut Khalil al-Hayya dari Hamas, justru pihaknya telah menyetujui sebagian besar proposal dari mediator, termasuk Mesir sendiri. Tapi tentu saja, di dunia yang dijaga oleh “nilai-nilai Barat”, fakta tak lebih penting dari narasi, dan narasi tak lebih penting dari siapa yang menyuarakannya.

Ironis memang, ketika kekuatan kolonial modern mengajari dunia tentang moral. Israel, yang dengan penuh percaya diri menyebut dirinya satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, secara aktif membombardir rumah sakit, sekolah, dan masjid, lalu berkata pada dunia: “kami hanya membela diri.” Amerika Serikat, yang konon adalah pelindung hak asasi manusia, terus mengirim triliunan dolar dalam bentuk senjata, peluru, dan veto di PBB. Dan ketika dunia mulai tak nyaman, mereka mengundurkan diri dari meja perundingan, menyalahkan korban karena tak bersedia menyerah total sambil tersenyum.

Mesir, negara dengan sejarah panjang perlawanan dan diplomasi, memilih memainkan dua peran sekaligus: pengamat dan penyelamat. Tapi sayangnya, tak bisa menjadi keduanya sekaligus. Di satu sisi, mereka tampak aktif dalam mendorong gencatan senjata. Di sisi lain, mereka membiarkan satu-satunya pintu harapan tertutup rapat, dijaga ketat, dan dipolitisasi. Rafah bukan sekadar perbatasan, ia adalah palang pintu antara hidup dan mati. Dan Mesir, dengan alasan “stabilitas nasional”, memilih untuk mengawasi penderitaan dari kejauhan sambil terus menjual narasi diplomasi di panggung internasional.

Sementara itu, rakyat Palestina terus bertahan. Di bawah langit yang penuh drone, di tanah yang bahkan tak memberi ruang untuk kuburan baru, mereka masih berbicara tentang martabat. Mereka, yang disebut “teroris” karena menolak untuk menghilang. Mereka yang disebut “radikal” karena ingin hidup di tanah mereka sendiri. Dunia menuntut mereka bersikap “rasional”, padahal apa yang lebih irasional daripada meminta orang yang rumahnya dihancurkan untuk bersikap tenang dan kooperatif?

Lihatlah betapa absurd realitas ini. Para pemimpin dunia berbicara tentang “proses damai” sambil mengirim senjata. Mereka menuntut penghentian kekerasan sambil menghalangi bantuan kemanusiaan. Mereka membicarakan solusi dua negara sambil mendukung aneksasi de facto. Bahkan saat para mediator mengumumkan adanya “kemajuan” dalam perundingan, tak satu pun langkah konkret diumumkan. Seperti biasa, diplomasi menjadi panggung untuk mempertontonkan kepalsuan yang dibungkus bahasa tinggi.

Dalam kondisi ini, bisa dipahami jika Khalil al-Hayya merasa cukup. Ia menyebut perundingan sebagai tak lebih dari “teater absurd”, dan menolak cara-cara konyol seperti bantuan yang dijatuhkan dari udara, seperti melempar roti ke kandang. Ia tahu, dan dunia tahu, bahwa Gaza tak butuh sandiwara kemanusiaan. Gaza butuh keadilan. Dan keadilan tidak datang dari langit dengan parasut.

Dalam konstelasi inilah, Amerika Serikat dan Israel tak hanya menjadi pihak yang bersalah, tetapi juga pihak yang secara sadar mempermainkan penderitaan jutaan manusia demi kepentingan geopolitik dan agenda elektoral. AS, dalam senyum diplomatiknya, terus melindungi zionis dari kecaman dunia. Mereka menormalisasi kelaliman, melukisnya dengan warna kebebasan. Dan Israel, dalam keangkuhan kolonialnya, menganggap penderitaan Palestina sebagai harga yang layak dibayar demi keamanan nasional yang dibangun di atas reruntuhan dan genosida.

Dan Mesir? Ia tetap berdiri di tengah, bermain aman, berdiplomasi dengan dua wajah. Di satu sisi menolak pemindahan warga Palestina, di sisi lain menutup pintu penyelamatan. Ia mengingatkan kita pada pepatah lama: “Jika tak bisa membantu, setidaknya jangan menjadi bagian dari masalah.” Sayangnya, Mesir kini menjadi keduanya—tak membantu dan menjadi bagian dari masalah.

Barangkali kita tak perlu terkejut. Dunia ini memang terbiasa membungkus kekejaman dengan diplomasi. Yang membuat kita mual bukan hanya karena anak-anak Gaza meninggal setiap hari, tetapi karena dunia seolah tak melihatnya. Atau lebih parah: melihat dan memilih diam.

Dan di Indonesia, dari tempat kita duduk dan membaca berita sambil menyeruput kopi, kita hanya bisa mengerutkan kening, menyalakan solidaritas digital, dan berharap entah kepada siapa agar semua ini berhenti. Tapi barangkali, harapan itu terlalu murah. Palestina tak butuh empati kosong atau tagar temporer. Mereka butuh kejelasan posisi, ketegasan sikap. Butuh suara-suara yang tak segan menyebut zionis sebagai penjajah dan menyebut AS sebagai pendukung utama genosida ini—bukan sebagai “mitra strategis” yang hanya keliru membaca situasi.

Gaza bukan sekadar konflik. Gaza adalah cermin: siapa kita sebenarnya, apa yang kita bela, dan sampai di mana kita bersedia bersuara. Dunia mungkin terus memainkan drama dengan aktor-aktor lama: AS sebagai dalang, Israel sebagai algojo, Mesir sebagai penjaga gerbang, dan PBB sebagai komentator pasif. Tapi rakyat Palestina adalah satu-satunya yang tetap menjadi pemeran utama dalam tragedi ini, dan juga satu-satunya yang tetap mempertahankan martabat di tengah kehancuran.

Kita bisa memilih untuk terus menjadi penonton yang sopan, atau mulai bersuara—setidaknya agar dunia tahu, bahwa kita tahu, siapa yang sebenarnya sedang memainkan peran paling kotor dalam lakon kemanusiaan ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer