Connect with us

Opini

Gaza di Meja Tawar: Omong Kosong Para Penguas

Published

on

Mantan Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu, tiba-tiba muncul dengan ide cemerlangnya: referendum di Gaza untuk menjadikannya wilayah otonom Turki sampai negara Palestina berdiri. Seolah-olah rakyat Gaza yang telah berlumuran darah dan hidup di bawah reruntuhan menunggu Turki sebagai penyelamat. Bagaimana tidak? Turki, sang pewaris Kesultanan Utsmaniyah, datang membawa janji nostalgia.

Lucunya, ide ini muncul setelah Gaza dibombardir habis-habisan oleh zionis. Di mana Turki saat itu? Mengecam keras, mengutuk habis-habisan, tapi tetap berdagang dengan Israel. Jutaan dolar transaksi ekonomi berjalan lancar, sementara anak-anak Palestina dikubur di bawah puing-puing. Kini, Davutoglu berlagak pahlawan, ingin menawarkan solusi yang tak diminta siapa pun.

Mungkin Davutoglu masih bermimpi hidup di masa lalu, di mana Turki adalah pusat kekuasaan dunia Islam. Ia lupa bahwa rakyat Palestina bukan budak Kesultanan yang bisa diklaim sesuka hati. Mereka berjuang untuk kemerdekaan, bukan untuk dipelihara oleh negara lain dengan alasan sejarah yang dipelintir demi kepentingan politik.

Turki bukan pemain baru dalam sandiwara politik Timur Tengah. Setiap kali Palestina dihancurkan, Erdogan dan kroni-kroninya sibuk berpidato heroik di panggung internasional. Tapi apa yang terjadi di balik layar? Hubungan diplomatik tetap erat, kapal dagang Turki tetap merapat di pelabuhan Haifa, dan bisnis terus berjalan seperti biasa.

Sementara Davutoglu berkhayal tentang referendum, Trump datang dengan rencana yang lebih brutal. Ia ingin “mengambil alih” Gaza dan menjadikannya “Riviera Timur Tengah.” Caranya? Mengusir semua rakyat Palestina dan mendirikan kompleks wisata mewah di atas tanah yang penuh darah. Tentu saja, bagi Trump, kemanusiaan hanyalah sekadar angka dalam laporan bisnisnya.

Trump, dengan wajah tanpa malu, berbicara tentang pemindahan paksa. Ia ingin “menyebarkan” orang-orang Palestina ke Mesir dan Arab Saudi. Bagi Trump, orang-orang Palestina hanyalah penghalang bagi proyek impiannya. Ia lupa, atau lebih tepatnya sengaja melupakan, bahwa pengusiran massal adalah kejahatan perang, sesuatu yang bahkan dunia internasional tak bisa abaikan.

Tak tanggung-tanggung, Trump pun berbincang dengan Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, membahas nasib Gaza seolah mereka sedang membagi-bagi lahan kosong. Sementara itu, rakyat Gaza hanya bisa menonton dari kejauhan, tanpa suara, tanpa hak menentukan masa depan mereka sendiri.

PBB pun angkat bicara, menyebut rencana Trump sebagai bentuk pembersihan etnis. Tapi siapa yang peduli? Amerika Serikat sudah terlalu lama kebal dari konsekuensi hukum internasional. Trump hanya tertawa mendengar kecaman itu, karena ia tahu, pada akhirnya, tak ada yang benar-benar bisa menghentikan ambisinya.

Mesir, setidaknya, mencoba bermain di jalur yang lebih masuk akal. Mereka mengusulkan rekonstruksi Gaza tanpa pemindahan paksa. Tapi siapa yang bisa percaya sepenuhnya pada Mesir, yang selama bertahun-tahun ikut bersekongkol dalam blokade Gaza? Apakah ini langkah tulus atau hanya strategi untuk menghindari kegaduhan internasional?

Jadi, di satu sisi kita punya Davutoglu yang ingin mencaplok Gaza demi kejayaan Ottoman yang sudah mati, dan di sisi lain ada Trump yang ingin menjadikan Gaza resor mewah setelah membersihkannya dari rakyatnya sendiri. Keduanya berbicara soal masa depan Gaza, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar peduli dengan kehendak rakyat Palestina.

Inilah dunia tempat kita hidup, di mana para pemimpin besar berbicara tentang “menyelamatkan” Gaza, tapi yang mereka maksud adalah mengatur Gaza sesuai dengan kepentingan mereka. Rakyat Palestina tetap menjadi pion di papan catur geopolitik, terjebak di antara nostalgia kekaisaran dan keserakahan kapitalisme. Mereka yang mati, mereka yang menderita, sementara para pemimpin terus bermain dengan nasib mereka.

Mungkin sudah waktunya dunia berhenti berpura-pura bahwa ada kepedulian sejati terhadap Palestina. Davutoglu, Trump, Netanyahu, bahkan sebagian besar pemimpin Arab—semuanya hanya aktor dalam pertunjukan besar. Dan selama rakyat Palestina tidak benar-benar diberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri, Gaza akan tetap menjadi alat tawar-menawar di meja negosiasi yang tak pernah benar-benar berpihak pada mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *