Connect with us

Opini

Gaza dan The Hunger Games: Siapa yang Duduk di Kursi Penonton?

Published

on

Di Gaza selatan, di sebuah jalanan Khan Younis yang berdebu, tubuh-tubuh tergolek tak bernyawa. Puluhan orang yang hanya ingin sekantung tepung atau sepotong roti kini berubah menjadi angka-angka dingin: 59 tewas, 220 luka-luka. Tangan mereka tak menggenggam senjata, hanya harapan. Harapan agar anak di rumah bisa makan malam ini, atau setidaknya bertahan hidup sampai besok pagi. Tapi harapan itu dipatahkan dengan dentuman tank, dengan proyektil yang dikirim dari luar logika dan nurani.

“Semua disuruh maju, lalu peluru-peluru itu berdatangan,” kata seorang korban selamat. Kalimat yang terdengar seperti adegan film distopia. Tapi ini bukan film. Ini kenyataan yang terjadi saat kamu sedang menggulirkan layar ponselmu, menonton video-video yang lebih nyaman, lebih lucu, lebih jauh dari kematian.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dan di sinilah absurditasnya: banyak yang menyamakan Gaza dengan The Hunger Games. Bukan karena dramanya, tapi karena kemiripannya yang menyeramkan. Orang-orang dikumpulkan dalam barisan lapar, lalu ditembaki. Bukan untuk hiburan elite seperti dalam film, tapi entah untuk apa—karena alasan “keamanan” sudah lama kehilangan maknanya. Mereka hanya ingin makanan. Tapi rupanya, di dunia hari ini, lapar pun bisa dianggap ancaman.

Sejak akhir Mei, hampir 400 orang Palestina terbunuh hanya karena mencoba mendapatkan bantuan makanan. Dan lebih dari 3.000 orang lainnya terluka. Ini bukan statistik biasa. Ini adalah data yang menyatakan dengan terang bahwa dunia sedang menyaksikan orang-orang dibunuh karena ingin hidup. Betapa mengerikannya ketika sebuah sistem menghukum orang karena lapar. Bukankah itu salah satu ciri utama dari masyarakat distopia?

Yang lebih mengerikan lagi adalah kita—penonton global—yang menyaksikan semua ini tanpa reaksi sepadan. Seperti warga Capitol dalam The Hunger Games, yang menonton pertarungan maut sambil bersolek dan bersorak, kita pun menonton Gaza lewat ponsel pintar kita, mungkin dengan ekspresi iba, mungkin juga sambil menyeruput kopi. Gaza terbakar, tapi algoritma terus berjalan, dan kita terus menggulir layar.

Ada satu bagian dalam film The Hunger Games yang paling mengusik saya: saat Katniss sadar bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi tentang bagaimana sistem mengatur siapa yang layak hidup dan siapa yang harus mati. Bukankah itu yang sedang terjadi hari ini? Dunia diam bukan karena tidak tahu, tapi karena diam dianggap lebih menguntungkan. Diam itu strategis. Diam itu netral. Diam itu aman.

Tapi kita tahu: netralitas dalam situasi ketidakadilan hanyalah bentuk lain dari keberpihakan terhadap penindas.

Dan siapa yang diuntungkan dari semua ini? Siapa yang memproduksi senjata? Siapa yang mengeruk laba dari blokade? Siapa yang menjual ide bahwa “ini adalah hak bela diri”? Dan lebih penting lagi: siapa yang membeli semua itu dengan kesadarannya?

Sementara itu, di tempat lain, UNRWA berteriak meminta bantuan. Bayi-bayi mati karena susu tidak tersedia. Empat anak meninggal karena kelaparan dalam satu hari. Gaza sedang dikuliti hidup-hidup. Tapi sebagian besar dunia masih memilih menonton daripada bertindak. Mungkin karena kematian massal kini telah menjadi tontonan. Atau mungkin karena rasa kemanusiaan kita sudah kehilangan sensitivitasnya.

Saya teringat satu kutipan lama yang masih berlaku hari ini:

“Kematian satu orang adalah tragedi. Kematian jutaan orang adalah statistik.”

Dan Gaza, tampaknya, sedang dijadikan statistik oleh mereka yang tidak ingin melihatnya sebagai tragedi.

Dalam konteks Indonesia, kita pun tak kebal dari ironi ini. Di negeri dengan slogan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tak semua orang marah terhadap kebiadaban yang terjadi di Gaza. Bahkan ada yang sibuk membahas perdebatan di media sosial soal siapa yang boleh pakai istilah “jihad”, atau siapa yang lebih dulu mengklaim Palestina sebagai isu. Kita suka membungkus kepedulian dalam identitas, dalam bendera, dalam retorika. Tapi terkadang lupa bahwa sebelum semua itu, ada anak kecil di Rafah yang meninggal kelaparan.

Bayangkan jika yang terjadi di Khan Younis hari ini terjadi di Bekasi, atau Solo, atau Makassar. Orang-orang antre sembako, lalu disuruh maju, dan setelah itu tank menembakkan peluru ke kerumunan. Apakah kita masih akan bilang, “mereka berhak mempertahankan diri”? Apakah kita akan diam karena takut dituduh “berpihak”?

Hari ini Gaza. Besok bisa jadi siapa saja. Termasuk kita.

Karena kekejaman yang dibiarkan tak akan berhenti pada satu titik. Ia akan merembet, membesar, menjalar ke tempat-tempat yang paling tak kita sangka. Dan ketika itu terjadi, jangan berharap ada yang akan bersuara untuk kita. Karena kita sendiri sudah memberi contoh: bahwa diam adalah pilihan.

Gaza bukan hanya tentang Palestina. Ini tentang kemanusiaan. Tentang bagaimana sistem dunia bisa memproduksi kekejaman dengan kemasan “perdamaian”, “bantuan”, “hak untuk membela diri”. Ini tentang bagaimana media bisa membingkai penjajahan sebagai “konflik dua pihak”. Ini tentang kita semua, dan keberanian untuk menyebut kejahatan dengan namanya yang sebenarnya.

Mereka yang membunuh warga Gaza adalah pelaku. Tapi mereka yang menonton sambil diam—atau sibuk mencari dalih untuk tidak peduli—adalah bagian dari sistem yang memungkinkan pembantaian ini terus berlangsung.

Hari ini Gaza. Besok bisa jadi Jakarta.

Atau kotamu.

Atau keluargamu.

Dan waktu itu datang, barangkali hanya akan tersisa satu pertanyaan:

Kamu sedang duduk di kursi penonton, atau berdiri di sisi kemanusiaan?

Dan sebelum menjawabnya, barangkali kamu perlu menutup ponselmu sejenak dan bertanya:

Apa yang lebih lapar dari tubuh-tubuh di Gaza?

Barangkali: nurani kita. Yang lama tak diberi makan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer